Geliat Panglima Gatot

23 April 2018 9:09 WIB
comment
5
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
ADVERTISEMENT
Gatot Nurmantyo mengosongkan agenda sepekan penuh sepulangnya dari Eropa. Ajudannya berkata, mantan Panglima TNI itu ingin istirahat total setelah dua minggu berkeliling Inggris, Denmark, dan Belanda--lawatan pascapensiun 1 April 2018 yang, menurut Gatot, untuk berpamitan dengan para kolega militernya di Benua Biru.
ADVERTISEMENT
Tentu ‘istirahat’ buat Gatot bukan tidur-tiduran saja. Jumat (20/4), misalnya, ia diam-diam bertemu Kivlan Zen, purnawirawan Angkatan Darat yang kini mendukungnya maju ke Pemilihan Presiden 2019.
“Saya bertemu Pak Gatot satu jam yang lalu,” ujar Kivlan kepada kumparan beberapa waktu usai salat Jumat, tanpa menyebut spesifik lokasi pertemuan.
Menurut mantan Kepala Staf Kostrad itu, Gatot cuma punya satu pesan dalam pertemuan dengan dia: supaya umat bersatu dalam menunjuk pemimpin bangsa.
ADVERTISEMENT
Pertemuan antara Kivlan dan Gatot itu tak dihadiri oleh para relawan Gatot. Mereka punya peran masing-masing dan tak mesti saling berhubungan langsung. Namun, bila Gatot hendak bergerak di permukaan, ia hampir pasti akan menghubungi Relawan Selendang Putih Nusantara (RSPN), kelompok pendukung utamanya.
Kivlan, meski tak berkomunikasi dengan RSPN, mengaku kerap bertemu Gatot. “Kami sering (bertemu), tukar pikiran soal bangsa dan negara yang sekarang kacau-balau.”
Ia optimistis Gatot punya peluang besar dalam Pilpres 2019. Sang mantan panglima yang disebut relawannya sebagai “jenderal yang tahajudnya tak pernah putus” itu diyakini mampu menarik ceruk massa Islam yang terbentuk usai Aksi 212--unjuk rasa ribuan orang pada 2 Desember 2016 untuk menuntut Basuki Tjahaja Purnama (Ahok) nonaktif dari jabatannya kala itu sebagai Gubernur DKI Jakarta karena terjerat kasus dugaan penistaan agama.
ADVERTISEMENT
“Yang diharapkan Gatot, suara-suara 212 ini suara umat bersatu. Maksudnya, yang NU struktural dan Muhammadiyah struktural--organisasi resmi--kan tidak mendukung 212. Nah, 212 ini organisasi tidak resmi yang (menampung) banyak orang Muhammadiyah dan NU lepasan,” klaim Kivlan.
Jenderal Santri
Lipsus - Jokowi dan Gatot di Aksi Bela Islam. (Foto: TRIBUNNEWS/HERUDIN)
Geliat Gatot meraih hati umat mulai kencang sejak Aksi Bela Islam 411 dan 212. Ia ‘mencuri’ panggung ketika mendampingi Jokowi dan Jusuf Kalla ke Lapangan Monas untuk menemui demonstran. Saat itu, Gatot mengenakan seragam dinas tentara dan kopiah putih seperti mayoritas pengunjuk rasa. Dia juga menegaskan demo umat bukanlah makar.
“Itu baru langkah awal. Kalau nggak populis seperti itu, siapa yang mau nengok. Gatot kelihatan mulai menanjak di 411, 212, lalu ia diberhentikan, diputus (dari jabatan Panglima TNI), tidak ditunggu sampai purnabakti (pensiun). Sekarang sudah pensiun, keleluasaan untuk menokohkan Gatot semakin kuat dari masyarakat,” kata pengamat politik LIPI Siti Zuhro, Selasa (17/4).
ADVERTISEMENT
Memasuki 2017, Gatot terus dekat dengan kelompok Islam. Ia rajin datang ke majelis zikir di beberapa daerah.
“TNI tidak sanggup mengalahkan musuh dan mempertahankan Negara Kesatuan Republik Indonesia tanpa dukungan ulama, kiai, dan santri,” ucap Gatot di mimbar masjid, seperti diunggah akun Instagram Pusat Penerangan TNI, 5 Agustus 2017.
Jenderal Gatot Nurmantyo ceramah di tengah hujan. (Foto: Instagram @puspentni)
Pada 22 Juni 2017, Gatot mengundang para ulama ke acara Safari Ramadan di Markas Brigade Infanteri Raider 13/Galuh Kostrad Tasikmalaya. Di sana, ia menyampaikan ceramah di tengah hujan, membuat foto ‘jenderal hujan’ viral di media sosial.
Gatot terus lekat dengan nuansa keagamaan. Pada hari kemerdekaan pun, 17 Agustus 2017, ia menggelar zikir massal 171717 secara serentak di seluruh markas TNI di Indonesia. Dia pun mengimbau agar masyarakat membaca doa selama satu jam dari pukul 17.00 WIB hingga 18.00 WIB.
ADVERTISEMENT
Berikutnya, menjelang peringatan G30S, Gatot mengeluarkan perintah wajib bagi seluruh anggota TNI untuk nonton bareng film lawas G30S/PKI yang sejak Orde Baru runtuh tak lagi diputar karena, antara lain, kandungan kekerasan di dalamnya.
Tak cuma itu, pada waktu berimpitan, Gatot membuat geger karena mengaku menerima laporan intelijen tentang impor 5000 senjata ilegal, membangkitkan ingatan orang akan Angkatan Kelima-nya PKI, dan memicu ketakutan masyarakat soal ‘kebangkitan komunis’.
ADVERTISEMENT
Heboh ucapan Gatot ketika itu akhirnya diredam Menko Polhukam. Menurut Wiranto, geger soal 5000 senjata itu adalah miskomunikasi. Wiranto berujar, jumlah persisnya 500 pucuk, bukan 5000. Dan senjata-senjata laras pendek itu adalah buatan Pindad yang ditujukan untuk sekolah intelijen BIN.
Manuver Gatot Nurmantyo (Foto: Basith Subastian/kumparan)
Gatot kerap berada di pusaran kontroversi. Ia menjelma sosok populis, dan pada sejumlah kesempatan bahkan mengesankan berseberangan dengan pemerintah. Namanya terus melambung, sampai ia dicopot dari jabatan Panglima TNI pada 8 Desember 2017 meski masa pensiunnya baru mulai 1 April 2018.
Begitu pensiun, Gatot tak malu-malu kucing. Ia secara gamblang menyatakan siap maju sebagai calon presiden.
ADVERTISEMENT
Wajah politis Gatot sesungguhnya telah terbaca sejak pertengahan 2016, saat ia menyinggung wacana untuk mengembalikan hak politik anggota TNI. Menurut dia, ketiadaan hak politik itu membedakan tentara dengan warga kebanyakan dan membuat TNI “seperti orang asing”. Namun, wacana itu tak berlanjut.
“Gaya militer selalu seperti itu, tanpa tedeng aling-aling. Siap ya siap. Apalagi (Gatot) sekarang sudah tidak ada beban lagi,” kata Siti Zuhro.
Hal lain, menurut Direktur Eksekutif Median Rico Marbun, pemberhentian Gatot empat bulan sebelum memasuki masa pensiun justru meningkatkan simpati terhadapnya.
“Efeknya persis seperti waktu Pak SBY dulu mau maju capres, saat dia berseteru dengan (almarhum) Pak Taufiq Kiemas dan dibilang ‘jenderal kekanak-kanakan’. Itu mendatangkan efek simpati,” ujar Rico.
Lipsus Menerka Langkah Gatot (Foto: Antara/Saiful Bahri)
Bahkan ketika masih menjabat Panglima TNI, nama Gatot telah masuk survei Pilpres. Dalam survei yang digelar sepanjang 2017, ia menempati peringkat lima besar kandidat capres potensial, bersaing dengan Joko Widodo dan Prabowo Subianto.
ADVERTISEMENT
SMRC yang menggelar survei 7-13 Desember 2017 mencatat elektabilitas Gatot 2,3 persen, sedangkan Indo Barometer yang melakukan survei 23-30 Januari 2018 menempatkan Gatot di posisi ketiga dengan 2,7 persen suara setelah Jokowi dan Prabowo.
Elektabilitas Gatot itu memang jauh lebih kecil dibanding petahana, Jokowi, yang meraup 40 persen, dan Prabowo yang di atas 20 persen. Namun angka kecil itu ia raih sebelum berkampanye formal, tak seperti dua lainnya (Jokowi dan Prabowo) yang sudah pernah berkampanye dan bertarung di Pilpres.
Lipsus Menerka Langkah Gatot (Foto: Joko Widodo/kumparan/Puti Cinintya, Gatot Nurmantyo/Istimewa, Prabowo/Antara/Muhammad Adimaja)
Tak heran Gatot kerap dianggap sebagai kuda hitam di antara Jokowi dan Prabowo. Ia tengah memanen apa yang ditanam selama menjabat sebagai Panglima TNI.
Elektabilitas Gatot Nurmantyo (Foto: Putri S. Arifira/kumparan)
Pondasi Keumatan
Tak banyak jenderal aktif yang bisa melewati peralihan kekuasaan eksekutif dengan gemilang. Sudah rahasia umum, hubungan presiden dan para jenderal itu cocok-cocokan. Yang tak kooperatif atau tak pas chemistry-nya bisa tersingkir.
ADVERTISEMENT
Gatot adalah ‘warisan’ Susilo Bambang Yudhoyono. Karier militernya menanjak selama periode kedua kekuasaan SBY. Sebelum itu, pada 2010-2011, Gatot yang masih berpangkat mayor jenderal menjabat Panglima Kodam V/Brawijaya. Lalu tahun 2014, ia jadi Panglima Kostrad--jabatan strategis yang biasa jadi as menuju posisi puncak kepemimpinan TNI AD.
Benar saja, Gatot kemudian diangkat SBY sebagai KSAD. Pengangkatannya hanya berjarak beberapa bulan sebelum SBY turun, yaitu 21 Juli 2014.
Lipsus - Jokowi dan Gatot tinjau Jalan Trans-Papua (Foto: Antara/Iwan Adisaputra)
Ketika Jokowi menduduki Istana pada 20 Oktober 2014, Gatot tak ‘disingkirkan’. Pada 20 Juli 2015, Jokowi justru mengajukan Gatot sebagai calon tunggal Panglima TNI untuk menggantikan Jenderal Moeldoko.
Keputusan tersebut sempat memicu kritik karena Moeldoko dan Gatot sama-sama berasal dari Angkatan Darat. Secara tradisi, biasanya setelah AD, giliran jatuh ke Angkatan Udara. Namun pemerintah berkukuh pada pilihannya.
ADVERTISEMENT
Gatot pun melenggang dengan rekam jejak panjangnya sebagai perwira militer.
Saat baru lulus dari Akademi Militer, Gatot menjadi ajudan Pangdam III/Siliwangi Mayjen Edi Sudradjat. Ia kemudian terlibat dalam operasi militer di Timor Timur selama 12 tahun, lanjut ke daerah-daerah konflik lain seperti Aceh dan Papua.
Gatot lalu sempat menjadi Sekretaris Pribadi Wakil KSAD Letjen Kiky Syahnakri, eks Panglima Penguasa Darurat Militer Timor Timur yang kini menjabat Komisaris Utama Bank Artha Graha milik Tomy Winata di masa pensiunnya.
Soal Gatot, juniornya di militer yang pernah membantu dia, Kiki tutup mulut. Ia hanya mau bicara dalam kapasitas sebagai Ketua Persatuan Purnawirawan Angkatan Darat (PPAD) untuk menghindari konflik kepentingan.
ADVERTISEMENT
Lipsus Menerka Langkah Gatot (Foto: Dok. Istimewa)
Gatot tak hanya sering bertemu ‘umat’, tapi juga mahasiswa yang notabene kelompok milenial. Ia aktif keliling kampus untuk berdiskusi soal perang proksi (proxy war), yakni perang modern yang bukan lagi berupa konfrontasi terbuka, melainkan melibatkan pihak ketiga dengan ideologi sebagai senjata.
Menurut Gatot, Indonesia rentan perang proksi karena memiliki sumber daya alam yang kaya dan diincar asing. Demi membangun kewaspadaan pemuda itulah, ia menyambangi antara lain Universitas Indonesia, Universitas Gadjah Mada Yogyakarta, Universitas Pattimura Ambon, Universitas Brawijaya Malang, dan Universitas Sumatera Utara di Medan.
Ancaman perang proksi, lebih jauh lagi, membawa Gatot bicara tak sebatas militer, tapi juga masalah pangan, energi, dan ekonomi.
Gatot juga jadi pembicara di Simposium Nasional Mengamankan Pancasila dari Ancaman Kebangkitan PKI dan Ideologi Lain, Juni 2016, yang dihadiri antara lain oleh Letjen (Purn) Kiky Syahnakri, Mayjen (Purn) Kivlan Zen, Jenderal (Purn) Try Sutrisno dan menantunya Menhan Jenderal (Purn) Ryamizard Ryacudu, serta Rizieq Shihab.
ADVERTISEMENT
“Saya ingatkan bahwa kebangkitan PKI bukan hanya dilihat di permukaan, tapi di bawah permukaan. PKI berbahaya, tapi lebih berbahaya neoliberalisme,” kata Gatot saat itu.
Geliat politik keumatan, ujar Rico Marbun, memang saat ini sedang memperoleh momentum. “Pemilihan (presiden) pada akhirnya adalah soal merebut simpati dan ‘mengendarai’ arus pemilih. Nah, inilah yang dilakukan Pak Gatot, dan tidak berhasil dilakukan Pak Jokowi dan timnya.”
ADVERTISEMENT
Ucapan Rico diamini secara terpisah oleh Yunarto Wijaya. “Gatot cenderung fresh secara elektoral. Sama-sama jenderal (seperti Prabowo), bahkan dia bintang empat. Kader-kader PKS dan PAN sudah mulai menyebut nama Gatot. Jadi posisi dan peluang Gatot tidak kalah dibanding Prabowo.”
Nyata, Gatot kian bergeliat.
------------------------
Ikuti terus laporan mendalam Otot Gatot di Liputan Khusus kumparan.