Golkar Tolak GBHN: Menyandera dan Membahayakan Presiden

15 Agustus 2019 13:30 WIB
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Ketua Umum Golkar, Airlangga Hartarto (kiri) bersama Ketua DPP Partai Golkar, Ricky Rachmadi. Foto: Dok. Istimewa
zoom-in-whitePerbesar
Ketua Umum Golkar, Airlangga Hartarto (kiri) bersama Ketua DPP Partai Golkar, Ricky Rachmadi. Foto: Dok. Istimewa
ADVERTISEMENT
sosmed-whatsapp-green
kumparan Hadir di WhatsApp Channel
Follow
Wacana mengamandemen UUD 1945 untuk memperkuat kewenangan MPR sebagai lembaga tertinggi negara dan menghidupkan kembali GBHN, memicu pro kontra. Partai Golkar menilai GBHN justru bisa melemahkan presiden.
ADVERTISEMENT
Jas merah, jangan sekali-kali melupakan sejarah. Setiap ada upaya menciptakan parlemen yang terlalu kuat, pemerintah menjadi lemah atau dilemahkan," ucap Ketua DPP Partai Golkar, Ricky Rachmadi, dalam keterangan tertulis di Jakarta, Kamis (15/8).
"Presiden yang dipilih langsung oleh rakyat sehingga memiliki legitimasi politik dan hukum yang sangat kuat, akhirnya bisa dikendalikan oleh parlemen melalui MPR dan GBHN,” tegasnya.
Dengan demikian, Presiden tak bisa lagi leluasa menjalankan amanat rakyat yang telah memilihnya dalam pilpres langsung, karena harus bertanggung jawab dan melaksanakan perintah MPR melalui GBHN.
Ricky berpandangan, wacana menghidupkan GBHN akan menciptakan kerancuan sistem ketatanegaraan Indonesia.
“Yang muncul adalah sistem presidensial rasa parlementer. Ini juga rentan transaksi politik dan dikhawatirkan presiden bisa saja dituduh melanggar GBHN. Dan jika mayoritas DPR bersepakat tentang hal yang sama, maka presiden bisa dimakzulkan. Ini sangat berbahaya bagi stabilitas politik," ujar Ricky.
ADVERTISEMENT
Ricky lalu mengingatkan sejarah Orde Lama yang labil (1950-1959). Saat itu terjadi banyak pergantian kabinet sampai 7 kali sebagai dampak situasi politik yang tak stabil. Instabilitas politik menyebabkan pembangunan terbengkalai, ekonomi terpuruk, rakyat menderita. Kita mesti belajar dari sejarah.
Karena itu, dia berpendapat, upaya menghidupkan GBHN dan menjadikan MPR lembaga tertinggi negara, membuat presiden seperti “terkunci” dan “tersandra”.
“Lebih parah lagi jika MPR nanti diberi kewenangan memilih presiden dan wakil presiden. Maka selamat tinggal demokrasi, kita ramai-ramai mundur, kembali ke masa lalu. Ini akan jadi cibiran dunia dan catatan kelam dalam sejarah bangsa,” kritiknya.
Menurut dia, menjadikan MPR sebagai lembaga tertinggi, akan otomatis mengendalikan seluruh ketatanegaraan. Termasuk juga presiden harus bertanggung jawab untuk melaksanakan apa yang dikehendaki MPR melalui GBHN .
ADVERTISEMENT
Skema presidensial rasa parlementer, imbuh dia, memberi peluang bagi DPR 'mengganggu' presiden sehingga memicu konflik eksekutif-legislatif.
“Ada potensi kebuntuan politik (deadlock) jika sistem presidensial dikombinasikan dengan penguatan parlemen dengan mengembalikan MPR menjadi lembaga tertinggi negara dan menghidupkan GBHN,” kata dia.
Saat ini, melalui otoritas legislasi yang dimiliki, DPR bisa memberi hak tunggal bagi diri sendiri menyeleksi para pejabat publik, seperti pimpinan Bank Indonesia, panglima TNI, kepala Polri, serta pimpinan dan anggota komisi negara yang dibentuk melalui undang-undang.
ADVERTISEMENT
“Otoritas yang seharusnya melekat pada presiden dalam skema presidensialisme menjadi peluang bagi DPR untuk melembagakan ‘gangguan’ terhadap presiden. Desain konstitusi yang semula hendak menyeimbangkan kekuasaan eksekutif-legislatif akhirnya terperangkap pada situasi parlementer atau ‘DPR heavy’,” pungkasnya.