Greenpeace Minta Anies Jadikan Jakarta Inisiator Penggunaan Surya Atap

13 Juni 2019 17:12 WIB
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Ilustrasi Polusi Udara Jakarta Foto: Fitra Andrianto/kumparan
zoom-in-whitePerbesar
Ilustrasi Polusi Udara Jakarta Foto: Fitra Andrianto/kumparan
ADVERTISEMENT
sosmed-whatsapp-green
kumparan Hadir di WhatsApp Channel
Follow
Gubernur DKI Anies Baswedan menyebut salah satu sumber utama polusi udara di Jakarta adalah pembangkit listrik tenaga batu bara yang dibangun di sekitar Jakarta. Menanggapi hal ini, LSM Greenpeace menyarankan Pemprov DKI mengatasi masalah ini secara sistematis hingga ke akarnya.
ADVERTISEMENT
"Pemprov DKI bisa memulai dengan melakukan inventarisasi emisi sumber pencemar secara berkala agar dapat mengetahui dan mengambil tindakan terhadap sumber pencemar yang mengotori udara Jakarta secara signifikan," ujar juru kampanye Iklim dan Energi Greenpeace Indonesia, Bondan Andriyanu, dalam keterangan tertulis yang diterima kumparan, Kamis (13/6).
Selain itu, Pemprov juga diminta memperbanyak stasiun pemantauan kualitas udara sebagai bentuk pengawasan, edukasi, dan sistem quick alert kepada publik. Greenpeace juga menagih janji kampanye Anies yang berencana menjadikan Jakarta sebagai inisiator gerakan penggunaan surya atap.
Seorang warga melintas di bawah panel surya Terminal Tirtonadi, Solo, Jawa Tengah, Rabu (9/1). Foto: ANTARA FOTO/Mohammad Ayudha
Dengan mulai beralih ke surya atap, penggunaan listrik dari PLTU batubara sebagai sumber pencemar udara Jakarta otomatis akan semakin berkurang.
“Jakarta harus mengambil langkah-langkah konkret tersebut tahun ini. Jakarta memiliki anggaran dan sumber daya lainnya dalam menunaikan kewajibannya untuk memperbaiki kualitas udara bagi warganya,” kata Bondan.
Ilustrasi Polusi Udara Jakarta. Foto: Indra Fauzi/kumparan
Di sisi lain, Greenpeace bersama Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia (YLBHI), Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (Walhi), dan puluhan pihak lain akan menggugat Pemprov DKI terkait polusi udara ini. Gugatan rencananya akan dilayangkan pada 18 Juni 2019 ke PN Jakarta Pusat dengan tergugat Presiden Joko Widodo, Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan, Pemprov Banten, Jawa Barat, dan DKI Jakarta.
ADVERTISEMENT
Bondan menyebut, polusi udara sudah menjadi permasalahan lingkungan hidup secara global. Tak hanya di Jakarta, gugatan warga negara soal pencemaran udara juga terjadi di berbagai belahan dunia, seperti di London, Paris, Strasbourg, dan lain-lain.
"Hari Lingkungan Hidup sedunia tahun ini mengangkat tema polusi udara, mengingat dampak buruknya yang besar bagi kesehatan manusia dan lingkungan," ujarnya.
Menghadapi tuntutan tersebut, Anies mengaku tak mempersoalkannya. Dia justru mengapresiasi langkah para penggugat karena bisa menjadi bahan acuan bagi Pemprov untuk mengatasi masalah polusi udara di Ibu Kota.
"Kami terima kasih, apresiasi pada LSM-LSM yang peduli pada lingkungan hidup. Data yang mereka buat, studi yang mereka lakukan itu bisa kita manfaatkan. Studi dari Greenpeace itu bermanfaat untuk kita pakai, jadi kita apresiasi," ucapnya.
Polusi Udara Jakarta. Foto: Jamal Ramadhan dan Putri Sarah Arifira/kumparan
Anies menyebut, saat ini Pemprov DKI sudah mengambil sejumlah langkah untuk mengurangi polusi udara. Yakni dengan menghadirkan bus listrik dan penataan transportasi.
ADVERTISEMENT
"Di Jakarta ini, kami memiliki 17 juta kendaraan bermotor, maka bisa dibayangkan kualitas udara yang dihasilkan akibat dari residu polutan itu. Jakarta insyaallah akan bersih udaranya secara bertahap," katanya.
"Arah kami jelas, mulai dari kendaraan umum, kita dorong nantinya untuk menggunakan bahan energi yang tidak merusak lingkungan khususnya listrik, itu arah kita ke sana," katanya.
Menurut Badan Kesehatan Dunia (WHO) standar udara sehat adalah yang punya partikel debu halus atau PM (Particulate Matter) 2,5 sebesar 25 µg/m³. Sementara Jakarta, merujuk dari data Greenpeace, mempunyai angka rata-rata tahunan PM 2,5 sudah melebihi ambang batas baku mutu udara ambien nasional (15 µg/m³).
Data Greenpeace juga menunjukkan pada H-1 (4 Juni 2019) Idul Fitri, Air Quality Index (AQI) di DKI Jakarta sempat menyentuh angka 200 (Konsentrasi PM 2.5 = 150 ug/m3), atau berada dalam kategori Sangat Tidak Sehat. Padahal banyak penduduk Jakarta sedang mudik ke kampung halamannya, dan relatif tidak ada aktivitas kendaraan bermotor yang padat di Jakarta.
ADVERTISEMENT
Indeks ini juga diperkuat dengan angka dari stasiun pantau PM 2.5 milik Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) yang terdapat di Gelora Bung Karno Senayan, yang angka rata-rata hariannya mencapai 70,8 ug/m3. Artinya, pada hari itu PM 2.5 di Jakarta sudah melebihi Baku Mutu Udara Ambien harian (65 ug/m3).