Gubernur Sultra Nonaktif Nur Alam Didakwa Rugikan Negara Rp 4 Triliun

20 November 2017 17:31 WIB
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Nur Alam, Gubernur nonaktif Sulawesi Tenggara (Foto: Antara/Rosa Panggabean)
zoom-in-whitePerbesar
Nur Alam, Gubernur nonaktif Sulawesi Tenggara (Foto: Antara/Rosa Panggabean)
ADVERTISEMENT
Gubernur Sulawesi Tenggara Nonaktif Nur Alam didakwa melakukan korupsi terkait penyalahgunaan kewenangan dalam persetujuan dan penerbitan Izin Usaha Pertambangan (IUP) di wilayah Provinsi Sultra 2008-2014. Perbuatan Nur Alam itu disebut telah merugikan keuangan negara hingga Rp 4 triliun.
ADVERTISEMENT
"Terdakwa Nur Alam selaku Gubernur Sulawesi Tenggara periode 2008 sampai dengan 2013 turut serta atau melakukan perbuatan bersama-sama dengan Burhanuddin selaku kabid pertambangan umum pada Dinas ESDM Provinsi Sultra dan saksi Widdi Aswindi selaku Direktur PT Billy Indonesia melakukan perbuatan memperkaya diri sendiri atau orang lain atau suatu korporasi yang dapat merugikan keuangan negara atau perekonomian negara sejumlah Rp 4,3 triliun," ujar jaksa Afni Carolina di Pengadilan Tindak Pidana Korupsi (Tipikor) Jakarta, Senin (20/11).
Ia didakwa telah memberikan Persetujuan Pencadangan Wilayah Pertambangan, Persetujuan Izin Usaha Pertambangan (IUP) Eksplorasi dan Persetujuan Peningkatan IUP Eksplorasi menjadi IUP Operasi Produksi kepada PT Anugerah Harisma Barakah (AHB). Nur Alam diduga memperkaya diri sendiri sebesar Rp 2.781.000.000 serta memperkaya korporasi, yaitu PT Billy Indonesia, sebesar Rp 1.593.604.454.137.
ADVERTISEMENT
Penuntut umum menuturkan perkara ini berawal pada sekitar awal tahun 2009, bertempat di rumah dinas Gubernur Sultra, Nur Alam meminta kepada Ikhsan Rifani untuk mencarikan perusahaan yang bergerak di bidang pertambangan. Sekitar 1 minggu berselang, Ikhsan menjatuhkan pilihan pada PT AHB.
Menindaklanjuti arahan Nur Alam, Ikhsan pun menemui Widdi Aswindi yang diketahui konsultan pemenangan Nur Alam saat dia mencalonkan diri sebagai gubernur Sultra di kantor perwakilan provinsi Sultra di Jakarta. Kepada Widdi, Ikhsan menyerahkan dokumen terkait PT AHB berupa stempel dan kop surat PT AHB yang sebelumnya sudah disanggupi Ikhsan.
Pada bulan Juli 2009, Ikhsan melakukan pertemuan dengan Burhanuddin, Kabid Pertambangan Umum pada Dinas ESDM Provinsi Sultra 2008-2013 di rumahnya di Kendari. Di sana, Burhanuddin menyerahkan draf surat perihal permohonan kuasa pertambangan dan draf surat berkop PT AHB perihal permohonan IUP eksplorasi kepada Ikhsan dengan maksud agar kedua surat ditandatangani oleh M Yasin Setiawan Putra selaku Direktur Utama PT AHB.
ADVERTISEMENT
Dalam surat yang disusun oleh Burhanuddin dan Kamrullah selaku kepala seksi bahan galian mineral pada Dinas ESDM Provinsi Sultra itu berisikan tentang memohon pencadangan wilayah pertambangan seluas 3024 hektar kepada Nur Alam. Surat juga mencantumkan tanggal mundur (backdated) yaitu 28 November 2008.
Nur Alam pun menginginkan agar PT AHB mendapatkan pencadangan wilayah pada lokasi kontrak karya PT INCO. Permintaan tersebut lantas diamini oleh PT INCO dengan mengajukan surat permohonan penciutan wilayah kontrak PT INCO yang meliputi Blok Lasolo (4086 hektar), Blok Paopao (6785 hektar), Blok Torobulu (13.817 hektar), dan Blok Malapulu (3329 hektar) kepada kementerian ESDM.
Nur Alam, Gubernur nonaktif Sulawesi Tenggara (Foto: Antara/Rosa Panggabean)
zoom-in-whitePerbesar
Nur Alam, Gubernur nonaktif Sulawesi Tenggara (Foto: Antara/Rosa Panggabean)
Lalu pada medio November 2009, Nur Alam memberikan persetujuan atas permohonan IUP eksplorasi atas nama PT AHB melalui surat keputusan gubernur atas namanya. Padahal, belum ada keputusan atas penciutan wilayah kontrak karya PT INCO dari Kementerian ESDM.
ADVERTISEMENT
IUP eksplorasi PT AHB tersebut pun menuai masalah. Sebab, IUP itu disebut tidak dilengkapi dengan tanda bukti jaminan kesungguhan sehingga bertentangan dengan pasal 39 ayat (1) UU No 4 tahun 2009 tentang pertambangan mineral dan batubara. Selain itu, permohonan IUP juga tak dilengkapinya dengan izin pinjam pakai kawasan hutan sehingga dianggap pula bertentangan dengan pasal 38 ayat (3) UU No 41 tahun 1999 tentang kehutanan.
Lalu agar permohonan IUP yang diberikan Nur Alam dan seolah-olah sesuai dengan ketentuan, sekitar bulan Januari 2010, Burhanuddin menyerahkan surat gubernur perihal permintaan rekomendasi terhadap rencana penerbitan izin usaha pertambangan eksplorasi atas nama PT AHB.
Akibat penerbitan IUP PT AHB itu negara diduga telah mengalami kerugian sebesar Rp 4,325 triliun, atau setidak-tidaknya sebesar Rp 1,596 triliun. Atas perbuatannya, Nur Alam didakwa melanggar Pasal 2 ayat 1 juncto Pasal 18 Undang-undang Nomor 31 tahun 1999 tentang pemberantasan tindak pidana korupsi sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang perubahan atas Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang pemberantasan tindak pidana korupsi juncto Pasal 55 Ayat 1 KUHP.
ADVERTISEMENT