Guru Pesantren di Aceh yang Sodomi 15 Muridnya Juga Harus Dipenjara
ADVERTISEMENT
Komisi Pengawas dan Perlindungan Anak (KPPA) Aceh, meminta pelaku sodomi yang dilakukan oleh pimpinan dan guru salah satu pesantren di kota Lhokseumawe dikenakan hukum berlapis. Tidak hanya sekadar cambuk.
ADVERTISEMENT
Ketua KPPA, Muhammad AR, mengatakan, jika hanya hukuman cambuk dinilai tidak dapat memberikan efek jera bagi pelaku dan berpotensi akan terulang kembali. Muhammad meminta, pelaku juga dikenakan hukuman kurungan penjara.
“Kalau tidak diberikan hukuman penjara setelah selesai hukuman (cambuk) dia bebas dan cari korban lagi. Kalau hanya cambuk tidak adil tapi harus tindakan berlapis.Pakai dua hukum, qanun dipakai dan hukum negara juga dipakai,” ujarnya, saat dikonfirmasi Kamis (11/7).
Muhammad sangat menyayangkan perilaku kedua pelaku yang merupakan seorang pimpinan dan guru pesantren, berkaca pada kasus tersebut dia meminta Dinas Syariat Islam atau Majelis Permusyawaratan Ulama (MPU) setempat bisa melakukan pengawasan lebih ketat terhadap lembaga-lembaga pendidikan agama lainnya.
ADVERTISEMENT
“Selama ini tidak ada yang melakukan itu (pengawasan). Banyak sekali pencabulan terhadap anak yang pelakunya seorang guru pengajian,” katanya.
Menurut Muhammad, alangkah lebih baiknya pihak terkait seperti lembaga perlindungan anak yang ada di setiap daerah di Aceh bisa melakukan pengawasan minimal dalam sepekan satu kali.
“Sebenarnya bisa mengawasi setidaknya dalam sepekan satu kali harus menjumpai anak-anak, tanyakan apakah ada masalah atau tidak. Atau mereka yang punya masalah di bawa ke psikolog,” ungkapnya.
Selain itu, Muhammad meminta, surat izin pesantren itu untuk dicabut karena jika tidak berpotensi hal serupa terulang kembali.
“Bisa saja terulang kembali karena inikan penyakit. Istri dia ada, anak dia ada, tetapi kenapa mau sama anak-anak lagi,” sebutnya.
ADVERTISEMENT
Sementara itu, terkait penanganan terhadap korban, Muhammad meminta mereka harus diberi pendampingan seperti menghadirkan psikolog. Karena, korban pasti akan berani berbicara atau melapor ketika berhadapan dengan psikolog.
“Anak-anak (korban) itu memang harus didampingi, secara otomatis harus ada pendampingan,” pungkasnya.