Hakim Beda Pendapat soal Vonis Staf Bupati Rita

6 Juli 2018 21:29 WIB
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Khairudin di Pengadilan Tipikor, Jakarta. (Foto: Fanny Kusumawardhani/kumparan)
zoom-in-whitePerbesar
Khairudin di Pengadilan Tipikor, Jakarta. (Foto: Fanny Kusumawardhani/kumparan)
ADVERTISEMENT
Dua dari lima anggota majelis hakim sempat berbeda pendapat (dissenting opinion) menentukan status pidana staf Bupati Kutai Kartanegara nonaktif Rita Widyasari, Khairudin. Menurut kedua hakim, Khairudin tidak bisa dikenakan pasal gratifikasi lantaran bukan sebagai pegawai negeri sipil atau penyelenggara negara.
ADVERTISEMENT
"Menimbang, dalam rapat musyawarah tidak dicapai mufakat bulat. Hakim Ketua Sugiyanto dan Hakim Anggota Saifuddin Zuhri berbeda pendapat kedudukan status terdakwa Khairudin dalam perkara ini," ujar Hakim Ketua Sugiyanto, saat membacakan putusan Rita di Pengadilan Tindak Pidana Korupsi Jakarta, Jumat (6/7).
Pasal yang didakwakan kepada Khairudin, adalah Pasal 12 B Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Tindak Pidana Korupsi. Salah satu unsur delik pokok dalam pasal itu, adalah penyelenggara negara yang menerima suap, sehingga bertentangan dengan kewajibannya. Gratifikasi, termasuk dalam unsur suap dan tindak pidana korupsi.
"Karena kedudukan tugas PNS, unsur pokok delik itu sendiri harus memenuhi unsur PNS atau penyelenggara. Kalau tidak terpenuhi menurut hakim, pelaku tidak bisa dipidana," sebutnya.
ADVERTISEMENT
Akan tetapi, tiga anggota majelis hakim lainnya memiliki pendapat lain. Menurut ketiganya, Khairudin telah melakukan perbuatan korupsi secara bersama-sama dengan Rita. Sehingga, unsur penyelenggara tersebut dapat terpenuhi, dan bisa dibuktikan dengan Pasal 55 ayat 1 ke-1 KUHP.
Pasal itu menjelaskan mengenai perbuatan seseorang yang turut serta melakukan pidana korupsi, dan bisa terancam pidana serupa dengan pelaku utama.
Merujuk Pasal 182 ayat (6) KUHAP, putusan musyawarah majelis hakim didapat melalui permufakatan bulat. Jika musyawarah tidak ditemukan kesepakatan, maka, putusan bisa diambil dengan suara terbanyak.
Dalam vonis Khairudin, tiga dari lima majelis hakim menilai Khairudin bisa dipidana dan memenuhi unsur pasal dakwaan dan penyertaan.
"Oleh karena tiga hakim berpendapat terdakwa dikenakan pasal 55 ayat 1 ke-1, maka dapat diikut sertakan penyelenggara negara. Putusan ini diambil dengan suara terbanyak," kata Sugiyanto.
ADVERTISEMENT
Sehingga, majelis hakim akhirnya memutuskan untuk memvonis Khairudin selama 8 tahun penjara, dengan denda Rp 300 juta subsidair 3 bulan kurungan.
Rita Widyasari di Pengadilan Tipikor, Jakarta. (Foto: Fanny Kusumawardhani/kumparan)
zoom-in-whitePerbesar
Rita Widyasari di Pengadilan Tipikor, Jakarta. (Foto: Fanny Kusumawardhani/kumparan)
Dalam kasus ini, Khairudin terbukti bersama Rita menerima gratifikasi dari para pemohon izin dan kontraktor di Pemerintah Kabupaten Kukar sebesar Rp 248 miliar. Uang itu diterima terima selama Rita menjabat sebagai bupati, dalam kurun Juni 2010 hingga Agustus 2017.
Saat itu, Rita meminta Khairudin yang juga menjadi tim pemenangannya, untuk mengurusi uang perizinan proyek-proyek di Pemkab Kukar. Dalam kurun tersebut, Khairudin menyampaikan ke sejumlah kepala dinas agar memenuhi permintaan Rita. Yakni, memungut sejumlah uang kepada para pemohon dan rekanan proyek pada Pemkab Kukar.
Selain gratifikasi, Rita, juga dinilai menerima suap dari Direktur Utama PT Sawit Golden Prima (SGP), Hery Susanto Gun alias Abun. Suap diberikan agar Rita memberikan izin lokasi kepada PT SGP di Desa Kupang Baru, Kecamatan Muara Kaman, Kabupaten Kukar, seluas 16 hektare.
ADVERTISEMENT
Rita menerima suap sebesar Rp 6 miliar yang dikirimkan Abun via transfer ke rekening Bank Mandiri milik Rita dalam 2 tahap. Dengan rincian, sebesar Rp 1 miliar pada 22 Juli 2010 dan Rp 5 miliar pada 5 Agustus 2010.
Rita sudah divonis 10 tahun penjara dengan denda Rp 600 juta subsidair 6 bulan kurungan.