REVISI COVER, KONTEN SPESIAL, Perbedaan pilihan politik, Retak Keluarga Karena Pilpres

Hamdi Muluk: Jangan Korbankan Keluarga demi Kontestasi Politik Sesaat

13 Juni 2019 10:31 WIB
comment
1
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Konten Spesial: Retak Keluarga Karena Pilpres. Foto: Fitra Andrianto/kumparan dan Putri Sarah Arifira/kumparan
zoom-in-whitePerbesar
Konten Spesial: Retak Keluarga Karena Pilpres. Foto: Fitra Andrianto/kumparan dan Putri Sarah Arifira/kumparan
ADVERTISEMENT
Pemilihan Presiden 2019 menyisakan banyak cerita ketegangan di antara anggota keluarga yang berbeda pilihan politik. Pakar psikologi politik, Hamdi Muluk, berpendapat polarisasi sebenarnya lumrah dalam kontestasi politik. Namun, di Indonesia ada karakteristik khusus yang membuat persaingan politik merasuk jauh hingga ke tingkat keluarga.
ADVERTISEMENT
Saat dihubungi kumparan, beberapa kali ia mengutarakan kejengkelannya kepada para politisi. Menurut Profesor Psikologi Universitas Indonesia ini, merekalah yang paling bertanggung jawab atas wajah politik Indonesia saat ini.
“Kita sudah kenyang sebenarnya dengan bayang-bayang perpecahan, ngapain lagi kita mau bangsa yang besar ini dipertaruhkan untuk kepentingan syahwat dari politisi,” katanya.
Baginya, Pilpres 2019 tak lain adalah episode kedua Pilpres 2014. Awalnya, ia berharap apa yang terjadi di 2014 tak berlanjut. Tetapi kenyataan berkata lain. Berikut petikan wawancaranya:
Bagaimana Anda memandang ketegangan akibat perbedaan pilihan politik yang merembet ke ranah keluarga?
Agama, emosi kan enggak kenal batas, dia akan merembet ke kantor, ke individu, merembet ke bapak-bapak, merembet ke ibu-ibu, semua kena. Inilah persoalan kita, ketika agama itu dibawa-bawa, orang menyimpulkan ini sebuah simbol-simbol yang sakral, suami-istri kena.
ADVERTISEMENT
Nah, masalahnya kan narasi-narasi ini dari awal bersumber dari dua kontestan tadi kan, jadi kenalah misalnya, suaminya lebih percaya narasi politik 01 jadi fanatik 01, 02 jadi merembet ke 02 jadi enggak sehat.
Hamdi Muluk. Foto: Muhammad Fadli Rizal/kumparan
Polarisasi setajam ini sampai masuk ruang keluarga apakah wajar?
Polarisasi politik ketika ada kontestasi politik itu sebuah keniscayaan sebenarnya. Di Amerika juga terjadi kontestasi antara Republik dan Demokrat, di Inggris Buruh dengan Konservatif, di Australia kelompok politik konservatif dengan kelompok politik liberal, ndak ada yang terlalu aneh dengan polarisasi.
Lalu kenapa bisa seruwet sekarang?
Mereka (negara maju) bisa menempatkan polarisasi itu memang basisnya adalah semata-mata hanya pilihan politik-ideologi politik. Satu ideologinya liberal, satu ideologinya konservatif, satu agak lebih mendekat ke pilihan-pilihan kebijakan ekonomi yang market dominan. Mereka bertempur saja, adu gagasan, adu ideologi, adu politik.
ADVERTISEMENT
Jadi masyarakat terbelah berdasarkan pilihan politik ideologi platform dan sejenis-sejenisnya. Di situ saja polarisasinya-terbelahnya, tidak bawa-bawa suku, agama, sentimen-sentimen personal yang lain. Ini masalah di kita.
Yang anomali-memang agak aneh adalah ketika kontestasi 2014. Nah, di sini pangkal balanya menurut saya. Sebenarnya, sesuatu yang kita tuai karena persoalan residu dari 2014. 2014 terjadi polarisasi-pengkubuan dua kubu pilpres dengan komposisi partai agak gede dulu Prabowo.
Bendera kampanye dengan logo karakter superhero Batman dibawa pendukung calon presiden Prabowo Subianto saat kampanye di stadion Gelora Bung Karno di Jakarta. Foto: AFP/ADEK BERRY
2014, mulai masuk narasi-narasi keagamaan. Ini pangkal balanya sebenarnya. Ini yang memang merusak politik. Repotnya di kita, pembelahan antara kubu Jokowi dan kubu Prabowo tidak berbasiskan polarisasi ideologi. Itu aneh memang. Secara ideologi, kubu Prabowo-kubu Jokowi itu ndak jelas.
Kalau bukan basis ideologi, lantas apa yang menjadi pedoman pemilih Indonesia?
ADVERTISEMENT
Berkubunya dasarnya hanya sosok figur. Mulailah politik tidak sehat ketika salah satu kontestasi dibawa dalam nasari-narasi agama, seperti narasi PKI, tidak Islam, antek, keturunan asing-keturunan China dan sebagainya yang membawa suku dan agama.
Setelah itu semakin diperparah dengan melakukan character assasination fitnah-fitnah yang menjurus pada narasi kebencian. Kalau bungkusnya adalah agama atau politik identitas, itu dalam konsep psikologi disebut outgroup hate-kebencian terhadap kelompok-kelompok di luar kelompok kita.
Masyarakat tidak terbiasa berdebat soal program. Jadi yang ada adalah, senangnya adalah menguliti personal. Kalau personal itu cenderungnya character assasination, pembunuhan karakter. Narasi agama kalau dibawa ke ranah politik, dia menjadi irasional dan orang akan menjadi cepat emosional.
Artinya retorika politisi juga semakin mengeraskan irasionalitas politik di masyarakat?
ADVERTISEMENT
Masyarakat kita basis literasinya, bukan masyarakat yang terbiasa membaca. Kita masyarakat yang suka ngegosip, kita masyarakat yang sukanya nonton talkshow, kita masyarakat yang sukanya kedangkalan bukan kedalaman.
Kalau orang terbiasa membaca buku berjilid-jilid tebal, dia kan suka yang dalam, yang detail, yang akurat, enggak! masyarakat kita senang gosip itu pertama. Masyarakat juga sangat tergantung patron tokoh-tokoh otoritas, ini juga problem kita.
Perempuan menunjukkan jari yang bertinta usai melakukan pemungutan suara (17/4/2019). Foto: AFP/ADEK BERRY
Tokoh-tokoh otoritas terkooptasi oleh politik, baik itu 01 maupun 02. Statement-statementnya politik, masyarakat bawah terpancing. Jadi tukang kompornya memang elit-elit politik juga. Bukannya menyejukkan malah ikut manas-manasi. Jadilah ketegangan ini enggak selesai-selesai.
Di level keluarga, bagaimana kita bisa meredam ketegangan akibat pilihan politik yang berbeda?
Kekerabatan itu jangka panjang, dukung-mendukung pilpres ini hanya sesaat. Dan dia (politisi yang didukung) tidak akan berada di sisi Anda terus kok. Kalau dia sudah jadi pejabat, dia lupa. Atau kadang-kadang kalau sudah kalah ya sudah selesai gitu lho. Jadi dia harus disadari, ini bukan enggak ada kaitannya dengan agama, dengan Anda mau masuk neraka atau surga, enggak ada (kaitannya)!
ADVERTISEMENT
Ini cuma masalah kontestasi politik biasa, lima tahunan, sesuatu yang musiman sifatnya. Persahabatan, kekeluargaan itu lebih langgeng dan abadi. Kepentingannya jangka panjang jangan dikorbankan.
Kemarin ada kampanyenya begini, ‘ngapain juga Anda bela-belain junjungan Anda itu? Memang nanti kalau Anda ndak punya beras, politisi itu mau ngasih? Dia peduli dengan nasib Anda?’ Sementara Anda sudah mengorbankan kekeluargaan, padahal politisi itu nanti cuma menggunakan sebagai alat, itu benar. Saya mendukung kampanye seperti itu.
Narasi semacam itu sudah efektif digaungkan?
Saya kira kalau banyak orang yang mulai membuat narasi-narasi seperti itu menyadarkan masyarakat termasuk elitnya. Walaupun kita paham elit-elit yang punya kepentingan itu tetap saja kompor-komporin terus Ha..ha..ha..
Simak ulasan selengkapnya di topik Retak Keluarga Karena Pilpres.
ADVERTISEMENT
Sedang memuat...0 Konten
Sedang memuat...0 Konten
Sedang memuat...0 Konten
Sedang memuat...0 Konten
Sedang memuat...0 Konten