Hari Musik Nasional dan Cerita Lirik yang Diusik

9 Maret 2019 11:28 WIB
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Ilustrasi lirik musik mengandung unsur pornografi. Foto: Putri Sarah Arifira/kumparan
zoom-in-whitePerbesar
Ilustrasi lirik musik mengandung unsur pornografi. Foto: Putri Sarah Arifira/kumparan
sosmed-whatsapp-green
kumparan Hadir di WhatsApp Channel
Follow
Girl, your sex is a drug, faded floating
Feeling like, ooh
Ooh woah, ooh I-I-I-I, I over-I overdose
Ooh-oh-oh I overdose, I overdose
Every time I do you, baby girl, I overdose
I overdose
Begitulah kira-kira sepotong lirik lagu milik Agnez Mo Featuring Chris Brown berjudul ‘Overdose’. Di wilayah Jawa Barat, radio dan televisi hanya bisa memutar lagu itu mulai pukul pukul 10 malam hingga 3 pagi. Begitu pula dengan 16 lagu berbahasa Inggris lain yang liriknya.
Pembatasan itu dilakukan sejak 18 Februari lalu. Tepatnya 19 hari sebelum peringatan Hari Musik Nasional yang jatuh 9 Maret 2019. Tanggal tersebut diambil dari kelahiran WR Supratman. Kemudian, baru diresmikan pada 2013 melalui Keppres No. 10 Tahun 2013 tentang Hari Musik Nasional.
Salah satu tujuan dari keputusan itu adalah untuk meningkatkan prestasi yang mampu mengangkat derajat musik Indonesia secara nasional, regional dan internasional.
Kembali ke soal pembatasan ‘Overdose’ dan 16 lagu lainnya dilakukan Komisi Penyiaran Indonesia Daerah Jawa Barat (KPID Jabar) karena dinilai memuat tema seks dan cabul.
Clip video dari Overdose. Foto: YouTube/@AGNEZ MO
“Itu kan bercerita tentang bagaimana percintaan antara lawan jenis karena saking sayangnya, tapi yang disasar sebetulnya video klipnya,” ujar pengamat musik Bens Leo kepada kumparan, Senin (4/3).
Dalam musik global, lagu-lagu bermuatan lirik sensual meningkat tajam sejak 1996 hingga 2006. Data ini berasal dari daftar Billboard Year End Hot Top 100 dalam kurun 40 tahun. Padahal, lagu bertema cinta mendominasi sejak 1971 hingga 2001.
Trend lagu vulgar (lust) dan romantis (love) di Billboard selama 40 tahun. Foto: Dok. Yasaman Madanikia dan Kim Bartholomew
Di Indonesia sendiri, lagu berbahasa asing juga mempengaruhi industri musik Indonesia karena globalisasi. Tidak hanya di YouTube, Spotify, ataupun Joox, media konvensional seperti radio dan televisi juga memutar lagu berbahasa Inggris.
Lalu, bagaimana penyensoran KPID Jabar hingga 17 lagu berbahasa Inggris itu dibatasi penayangannya?
Ketua KPID Jabar Dedeh Fardiah menuturkan, penyensoran berasal dari pantauan dan aduan dari masyarakat. Awalnya, ada 87 lagu berbahasa Inggris yang dibatasi. Kemudian diseleksi dan hanya 17 yang dibatasi penyiarannya.
“Kami mendatangkan ahli bahasa, ahli sastra dan lain sebagainya untuk memutuskan lagu tersebut masuk dalam golongan dewasa (D),” ucap Dedeh.
Yang menjadi kontroversi adalah peraturan itu hanya berlaku di wilayah Jabar. Sementara wilayah lainnya tetap bisa memutarkan 17 lagu tersebut.
Menanggapi pembatasan itu, Ketua KPI Pusat Yuliandre Darwis menegaskan, KPID sifatnya desentralisasi. Artinya, kebijakan berfungsi di area lokal. Lalu, peraturan itu hanya ditembuskan ke KPI Pusat.
Ketua KPI Pusat Yuliandre Darwis. Foto: Yuana Fatwalloh/kumparan
“Jadi, tidak ada keharusan berkoordinasi dengan pusat karena peraturannya sama,” timpal Yuliandre kepada kumparan, Senin (4/3).
Dia menambahkan, surat edaran KPID Jabar sudah sesuai dengan aturan dan mekanismenya. Itu karena, surat edaran itu didasarkan pada kearifan lokal.
Berbicara seputar kekuatan surat edaran, hanya berpengaruh pada pemegang frekuensi radio dan televisi. Sementara musisinya sendiri, KPI tidak bisa melakukan intervensi apapun.
Komisi Penyiaran Indonesia Daerah (KPID) Jawa Barat. Foto: Okky Ardiansyah/kumparan
Di sisi lain, sebelum adanya pembatasan, pihak musisi sendiri telah melakukan self censorship (sensor pribadi) terhadap karyanya.
“Jadi sensor pribadi itu membuktikan kalau musisi bisa berkarya di Indonesia,” tegas pengamat musik Bens Leo kepada kumparan, Senin (4/3).
Bens menjelaskan, sensor pribadi itu merupakan langkah musisi untuk tidak melakukan hal yang berkaitan dengan masalah moral. Dalam hal ini, Bens yakin, para musisi atau song writer sudah mempunyai pola melakukan self censorship. Misalnya, musisi sudah membaca Undang-undang Pornografi, dan aturan KPI.
“Jadi tidak perlu dilarang, saya yakin mereka bisa berkarya dengan hal yang mereka lakukan,” tambah Bens.
Ilustrasi musik Foto: unpslash
Dia menambahkan, musik Indonesia juga terbuka dengan dunia luar. Misalnya seperti Anugerah Musik Indonesia yang meniru konsepnya Grammy.
“Kalau tiba-tiba ada permasalahan seperti ini, diketawain sekali. Apalagi Ed Sheeran mau masuk ke Indonesia,” tutur Bens.
Bens menyebutkan, sebenarnya ada lagu-lagu lokal yang banyak mengandung tema seks. Salah satunya, musik dangdut. Meski sudah disensor di media mainstream, ternyata aksi sensualitas masih muncul di panggung.
Ilustrasi musik dangdut Foto: Irfan Adi Saputra/kumparan
“Kalau lihat banyak dangdut di kota kecil dengan gaya-gaya mereka yang sensual sekali,” tambah Bens.
Meski begitu, Bens mengapresiasi langkah KPID Jabar dalam upaya melindungi anak-anak dari paparan konten dewasa. Namun, menurut dia, perkara musik ini lebih baik diserahkan ke orang tua anak untuk lakukan sensor pribadi.
“Jangan ada tangan pemerintah yang melarang seperti itu,” timpalnya.
Lalu, bagaimana efek lagu dengan konten dewasa terhadap psikologi anak? Simak lanjutannya dalam topik KPI Lirik Lagu Seks.