LIPUTAN KHUSUS, Seleksi Calon Pimpinan KPK, Anggota Pansel KPK, Hendardi

Hendardi: Capim KPK Polisinya Tinggal Firli, Masih Ngomel. Maunya Apa?

9 September 2019 13:35 WIB
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Anggota Pansel Capim KPK, Hendardi. Foto: Faiz/kumparan
zoom-in-whitePerbesar
Anggota Pansel Capim KPK, Hendardi. Foto: Faiz/kumparan
Hendardi sibuk sekali. Siang itu, ia maraton menyanggupi wawancara media demi media. Ia mengakui, setelah nama calon pimpinan KPK diserahkan ke presiden, ia jadi punya lebih banyak waktu buat bernapas.
“Enggak ada lagi yang maki-maki saya, enggak ada,” katanya.
Hendardi menemui kami bersandangkan safari cokelat tua. Jenggotnya yang putih jadi kontras di kamera. Ia tampak santai, mungkin karena sudah bisa kembali berolahraga di Gelora Bung Karno (GBK). Di satu sisi ruangannya sebuah sepeda dan di sisi lain sepatu olahraga bertumpuk-tumpuk.
“Saya dulu rajin tenis, bulu tangkis, dan lari di GBK. Tapi karena sering di-bully, jadi jarang,” kata Hendardi.
Di belakang meja kerjanya ada tiga gambar yang dipigura, satu lukisan ikan koi dan dua lainnya adalah foto bersama dua jenderal kepolisian: Tito Karnavian dan Suhardi Alius. Foto-foto itu seakan membuka latar agar pertanyaan soal tudingan konflik kepentingannya sebagai penasihat Kapolri dan perannya sebagai pansel capim KPK kami tanyakan.
Terlihat ia malas membicarakan hal ini. “Itu cerita lama, ngapain,” katanya. Namun karena kami mendesak, Hendardi angkat bicara juga. Ia tak terima posisinya sebagai penasihat Kapolri dijadikan basis tudingan berbagai pihak bahwa ia menguntungkan calon pimpinan KPK dari unsur kepolisian.
“Itu tudingan-tudingan anak kecil yang mensimplifikasi persoalan. Masa reputasi yang saya bangun selama 40 tahun begitu naif diukur?” kata Hendardi.
Kamis (5/9) pekan lalu, dua wartawan kumparan Jennar Kiansantang dan Johanes Hutabarat menemui Hendardi di Setara Institute, Kebayoran Baru, Jakarta Selatan. Di situ, kumparan berbincang hampir satu jam lamanya dengan Hendardi.
Kepada anggota pansel capim KPK yang juga anggota Tim Gabungan Pencari Fakta (TGPF) kasus Novel Baswedan itu, kami berbincang soal proses pemilihan capim KPK; proses penilaian di internal pansel; responsnya terhadap kritik yang keras menderu; hubungannya dengan Kapolri Tito Karnavian; bagaimana Firli Bahuri dan Antam Novambar sempat masuk ke dalam lima besar capim KPK; dan juga pendapatnya soal pegiat antikorupsi yang kurang kontribusi namun “mulutnya banyak”.
Berikut wawancara kumparan bersama pansel capim KPK, Hendardi:
Pansel capim Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) saat mengadakan uji publik. Foto: Fanny Kusumawardhani/kumparan
Setelah 10 nama diumumkan muncul banyak reaksi, banyak yang menyatakan tidak puas. Dimunculkan nama, reaksi. Tidak dimunculkan nama, reaksi juga (tertawa).
Respons dari pansel sendiri? Ya begini, memilih 10 dari 380 sekian nama yang mendaftar itu kan bukan soal gampang dan tidak bisa memenuhi selera semua orang dari awal. Sekarang tapi kami kan mengambil 10 pilihan terbaik untuk dibawa ke DPR oleh presiden, nanti DPR memilih lima pimpinan definitif.
Nah, bahwa nanti lima itu kemudian publik tidak puas ya masalahnya itu sudah diterima presiden kok, dan presiden sudah mengajukan ke DPR. Kalau mau publik berpendapat terhadap 10 orang ini ya bisa, (tapi) di DPR sana forumnya. Ada forum FnP (fit and proper test) kan nanti di sana, bisalah, dan bukan di pansel lagi.
Tapi saya kira kok saya beda kesan dari Anda. Bahwa setelah pansel memutus 10 orang ini agak reda, enggak banyak ini (protes) lagi. Sebelumnya kan ribut aja. Ribut ketakutan ada yang mau mimpin KPK, enggak tau ketakutan apa itu. Takut bener, apalagi dengan dua nama polisi itu Antam (Novambar) dan Firli (Bahuri).
Anda merasa ketidakpuasan ini mereda? Saya sih melihat ini mereda. Enggak ada lagi yang maki-maki saya, enggak ada. Santai saja saya sekarang mah. Makanya sekarang bisa ngadepin wartawan. Tadinya kan mana bisa satu-satu saya layanin.
Setelah uji publik, 20 nama ini menjadi 10. Sebenarnya bagaimana mekanisme di internal pansel? Bagaimana menilai mereka? Bagaimana uji publik itu berpengaruh terhadap, misalnya, ranking mereka atau semacamnya? Dari 20 ke 10 itu kita kan melakukan tes wawancara dan uji publik yang (berlangsung) tiga hari itu. (Hari pertama) Tujuh orang diuji, lalu tujuh orang lagi hari kedua, terus enam orang.
Kedua, kami pertimbangkan juga penilaian akhir nih, hasil dari RSPAD soal kesehatan mereka. Ketiga, masih kami pertimbangkan juga masukan-masukan publik yang waktu itu kami sampaikan berakhir pada tanggal 26 Agustus.
Jadi waktu kita wawancara itu, masukan publik itu masih ada, masih kita inikan (dengarkan). Lalu selain itu kami pertimbangkan juga track record yang disampaikan oleh lembaga-lembaga negara dari KPK, BIN, BNPT, BNN, Kepolisian, Kejaksaan, PPATK, dan Dirjen Pajak. Dan itu masuk semua track record-nya.
Itu kami pertimbangkan semua. Kemudian di dalam wawancara, kalau Anda ikuti itu Selasa, Rabu, Kamis. Kamis malam kami masih rapat, ada pertemuan dengan RSPAD untuk mendengarkan presentasi mereka. Lalu hari Jumat, Sabtu, Minggu itu kesempatan kami masing-masing mengendapkan penilaian kami dari hasil wawancara itu. Kami punya format penilaian sendiri.
Misalnya saya, saya merenungkan sendiri, menilai sendiri. Kemudian Senin paginya jam 9.00 kami rapat dan menentukan dari nilai-nilai itu semua. Lalu sore kita bawa ke presiden.
Jadi keputusan itu baru di Senin (2/9) pagi? Senin pagi. Enggak ada yang bohong. Nama 10 itu baru Senin pagi kok.
Mepet banget ya Senin pagi baru diputuskan. Itu kan sudah serangkaian penilaian dan itu enggak milih lagi dari ratusan orang. Dari 20 orang saja kan, cuma membelah dua. Nah sementara itu kan penilaian sudah cukup lengkap. Dari yang sebelum-sebelumnya track record dan sebagainya, terus kemudian tinggal ditambah wawancara dan uji publik yang masing-masing punya format penilaian sendiri.
Artinya format penilaian berbeda antara masing-masing pansel? Bukan. Misalnya saya. Saya ada formatnya sendiri, misal nilai terhadap integritas dia, siapa sih, integritas gimana, pengetahuan gimana, ada semua itu. Terus kami membuat penilaian-penilaian kan di situ, termasuk dua orang tambahan panelis.
Kami minta Pak Luhut Pangaribuan sama ibu siapa itu namanya (Meutia Gani Rahman, sosiolog Universitas Indonesia), mereka kami minta secara tertulis memberi penilaian, tapi enggak ikut rapat. Begitu rapat hari Senin hanya pansel.
Berarti masing-masing pansel sama ya indikatornya. Sama dong. Enggak ada si ini ini, si itu itu, enggak ada. Terus itu dijumlah aja, disesuaikan, dilihat baru setelah ada ranking, baru dilihat ada pertimbangan-pertimbangan lain.
Firli Bahuri saat mengikuti tes wawancara dan uji publik Calon Pimpinan KPK di Kementerian Sekretariat Negara, Jakarta Pusat. Foto: Irfan Adi Saputra/kumparan
Maksud Anda dengan pertimbangan-pertimbangan lain itu bagaimana? Pertimbangan lain misalnya begini. Saya mau bilang misalnya Antam dengan Filri nilainya cukup baik, cukup tinggi dua-duanya.
Masuk 10 besar, maksudnya? Ya, dari 10 besar. Kenapa kita pilih satu? Kenapa Filri saja? Ya karena enggak perlu banyak-banyak. Cukup satu dari polisi yang ini (masuk).
Artinya pilihan kan itu, udah bukan berdasarkan penilaian kan. Kalau penilaian dia tinggi, tapi enggak (masuk), bisa. Nanti kalau penilaian polisi tinggi semua misal, atau semua jaksa tinggi, misalnya. Ya terlalu itu (dominan). Kita juga ada pertimbangan-pertimbangan bahwa ya polisi cukuplah satu, jaksa satu. Tadinya jaksanya juga lebih dari satu yang masuk di 10 besar.
Ya kami kemudian mesti atur supaya enggak terlalu inilah. Artinya kami enggak mau... Begini, pertimbangannya kami tidak ingin memberi beban berat pada presiden untuk kemudian ketika mau memberikan kepada DPR diserang orang banyak. Karena kan ribut terus ini kan. Jadi bukan mereka enggak masuk karena tidak pandai, justru karena pandai mereka tidak masuk.
Porsi keterwakilan itu memang diatur oleh sama pansel ya? Jadi harus perwakilan jaksa satu, pengacara satu, hakim satu, polisi satu, harus seperti itu? Bukan diatur. Kami upayakan tidak terlampau ada yang dominan, misalnya polisi atau jaksa atau dosen enggak sangat dominan. Jadi memberikan porsi yang cukup baik dan kemudian memberikan pilihan lebih mudah buat DPR juga.
Bahwa latar belakang mereka berbeda-beda, dulu juga begitu. Pimpinan KPK enggak ada yang sama semua. Agus Rahardjo malah insinyur, dulu kan di barang dan jasa. Tentu ini soal latar belakang mereka kan semacam di-training juga sebelum itu.
Kembali ke uji publik. Banyak kalangan yang mempertanyakan keseriusan pansel. Misalnya ketika ada pertanyaan dari pansel, dijawab oleh capim, namun tidak dikulik lebih dalam lagi. Pansel dinilai tidak benar-benar menguliti rekam jejak capim. Tanggapannya? Dasarnya, kita bukan pengadilan, satu. Kedua, yang tidak serius bukan kami. Yang tidak serius itu orang-orang yang mengkritik ini. Mereka hadir pun enggak di uji publik itu, (bilangnya) mau mengawal ini itu.
Makanya saya becanda juga waktu wawancara uji publik, waktu saya periksa Lutfi (J. Kurniawan, Malang Corruption Watch atau MCW). Saya wawancara Lutfi yang dari MCW, saya bilang, “Selemah-lemah iman saya, saya cukup gembira saudara Lutfi bisa mendaftar dan masuk 20 besar. Jangan seperti pegiat-pegiat yang lain. Banyak pegiat antikorupsi lain yang cuma teriak-teriak, daftar enggak. Kalau mau teriak-teriak jadi suporter bola aja.” Saya bilang gitu, orang pada ketawa. Itu maksud saya.
Jangan bilang kita enggak siap, enggak ini-itu. Mereka sendiri kawal ini kawal itu, mana mereka? Mereka juga nggak datang uji publik. Hanya saya liat si Saor Siagian itu. Yang lain memberi masukan juga kagak.
Soal tadi, apakah kita kurang tajam, kita kan dasarnya dari track record dan juga pengetahuan kita dari informasi dari publik. Kan saya pernah bilang, ada 1.300an—ini di pertengahan ini waktu di Lemhannas (Lembaga Ketahanan Nasional)—1.300 an masukan publik, sebagian besar hanya puja puji. Dukung ini dukung itu. Ini bukan pilkada. Dukung si ini, dukung si itu, enggak penting. Saya buang ke tempat sampah yang begituan.
Yang saya butuh justru mengkritisi. Si A misalnya, dia pernah korupsi, atau dia ganggu rumah tangga orang lain, misalnya, atau apalah, catatan negatifnya. Sehingga kami bisa pertanyakan. Kami bergantung dari itu juga, dan dari track record delapan lembaga itu.
Nah, makanya kalau dibilang kita enggak ngejar, ya kalau kita enggak ada data masa kita mesti kejar? Kecuali dikasih data. Asal bukan fitnah.
Kalau ICW dan lain-lain itu punya data, kasih kepada kami. Ngasih enggak, daftar enggak, mulutnya banyak. Kalau mereka punya ini, silakan kasih. Enggak ngasih. Enggak ngasih maksudnya enggak ada data-data detail yang...
Data-data keras, maksudnya? Iya data keras, apa yang ini. Malah saya yang tanya, misalnya kayak Pak Firli atau....
Yang soal sidang etik itu? Ya, sidang etik itu. Itu saya kasih tahu Anda, minggu sebelumnya, sebelum wawancara. Kan lembaga-lembaga itu ngasih track record, termasuk KPK. KPK datang ke pansel saya juga ada di situ, semua pansel ada di situ, BNPT juga datang, BNN ngasih.
Dalam satu forum bersama? Enggak, sendiri-sendiri. Polri intelkam ngasih. Semua masing-masing punya spesifikasinya kan. Kalau si KPK tentu kaitannya dengan korupsi atau apa, kalau Polri misal dengan kriminalitas, PPATK dengan keuangan atau apa.
Waktu KPK datang saya tanya, dia ini.. jadi ada catatan kan, banyak. Dapat catatan merah. Oke, saya tanya satu-satu, termasuk Firli misalnya. “Mas, Pak Firli ini sudah dinyatakan bersalah?”
Ini dari direktorat internalnya, “Sudah, ketika pemeriksaan direktorat pengawasan internal, dinyatakan melakukan pelanggaran.”
Saya tanya lagi, “Apakah itu sudah berkekuatan hukum?” Ngecek, tentu.
Kata dia, “Oh, belum, Pak.”
“Kenapa? Masih ada lanjutannya?”
“Masih.”
“Dari situ bagaimana prosedurnya? Coba ceritain, Mas.”
Saya kan enggak begitu mengerti, prosedur internal itu. Kata dia dari situ harus ke komisioner lima orang. Disetujui oleh komisioner kemudian dibentuklah DPP, dewan pertimbangan apalah dewan persidangan untuk pertimbangan. Yang anggotanya dari komisioner wadah pegawai, ada penasihat ada siapa lagi. Itulah yang mengadili.
Nah dia baru di pengawas internal ini. Jadi setelah itu keburu dia ditarik oleh Kapolri jadi Kapolda di Sumsel. Ini contoh, lalu saya tanya lagi, “Kalau gitu belum ada keputusan berkekuatan hukum ya?” Kata dia “Belum, Pak.”
Calon Pimpinan KPK Foto: Indra Fauzi/kumparan
Sejauh mana jawaban Firli? Orang tidak cukup puas dengan kedalaman pertanyaan yang ditanyakan. Ketika Firli diwawancara, itu pertanyaan Prof. Hamdi Muluk yang pertama, terus saya. “Pak Firli, saya ingin menegaskan, jadi Bapak sudah diperiksa? Lalu Bapak ceritakan selanjutnya.”
Kata dia, “Saya bertemu komisioner lima orang dan tidak ada yang menyatakan saya bersalah. Ini ada catatannya.”
Saya tanya, “Setelah itu prosedurnya apa, Pak?” Kata dia, “Setelah itu harusnya ke dewan pertimbangan, kalau dinyatakan dia layak untuk disidangkan.” Tapi sampai di komisioner enggak ada, nah udah. Ya berhenti dong pertanyaan saya, apalagi data saya? Gitu. Artinya dia berhasil mengklarifikasi yang kemudian ditarik oleh Kapolri untuk ini. Ditarik Kapolri artinya no case. Tentu saja, kasus udah enggak ada.
Artinya Anda merasa input atau masukan yang disampaikan masyarakat itu buktinya kurang memadahi? Masyarakat enggak pelu bukti. Indikasi saja kami tanyakan. Tapi dari lembaga negara yang punya kewenangan dan punya aparat dan sebagainya, seharusnya cukup benar.
Saya kasih contoh tadi KPK, kasih kami data misalnya, dia kan punya aparat, misalnya ada orang terlibat korupsi kayu gelondongan di kalimantan, begitu kami periksa, KPK sendiri belum lahir, itu kan bukan data yang valid. Itu yang maksud kami memalukanlah.
Saya dari awal sudah ingatkan publik juga, waktu profile assessment. Saya konferensi pers bilang gitu, "Silakan memberikan masukan kepada siapapun, calon pimpinan, kepada pansel, melalui jalur-jalur yang sudah disampaikan pansel. Lewat email, surat, atau datang sendiri dan sebagainya." Tapi jika itu dikemukakan di ruang publik, pandangan atau data seorang itu ternyata tidak benar, atau belum tentu kebenarannya, itu bisa punya konsekuensi hukum. Bukan dengan saya, tapi dengan pihak yang difitnah dong.
Dari tadi Anda menyinggung Firli terus. Dia pernah dibikinin petisi di wadah pegawai KPK, lima poin. Soal dugaan menghalang-halangi kasus naik ke penyidikan, menghalangi pemeriksaan, dan kebocoran OTT. Itu kenapa nggak ditanyakan? Yang mana?
Jadi wadah pegawai KPK... Nggak, wadah pegawai ini dari awal saya nggak mengapresiasi.
Karena? Wadah pegawai tuh urusannya sebenarnya di mana-mana kesejahteraan pegawai, bukan ngurus politik.
Internal begitu? Iya, dia main politik aja itu kerjanya. Dari dulu. Ngapain dengerin dia. Dia sempat datang ke Pansel, diterima, tapi bukan saya yang terima. Tapi kalau itu kan isu yang dia bawa. Dugaan-dugaan. Dia berani main itu fakta? Dia berhadapan dengan Firli, pasti. Tapi kan itu yang dia kemukakan kan dugaan-dugaan.
Dan dugaan kepada Firli juga kami tanyakan. Misalnya soal sidang itu. Yang dia sudah dihukum atau.. itu yang penting. Ya kalau pun dia salah melanggar itu itu, ada sidangnya sidang etik itu.
Nah sidang etik itu sendiri belum pernah terjadi. Itu masalahnya, itu yang kami konfirmasi. Kalau ini sih tetek bengek data-data dari mereka yang sifatnya lebih merupakan dugaan atau asumsi-asumsi.
Artinya pansel juga memilah masukan mana yang kira-kira.. Bukan memilah saja. Katakanlah betul ada proses macam itu. Tapi dia diproses nggak, sidang? Belakangan (ketahuan) nggak diproses, sidang. Di sidang kan baru diketahui itu benar atau enggak dia. Kan bukan kewenangan kami, kalau itu dia melanggar-melanggar ini, ini kan menurut wadah pegawai.
Nanti kan menurut siapa bisa lain lagi, menurut siapa lain lagi. Itu bukan selalu berarti data. Itu asumsi, atau petunjuk-petunjuk aja. Sebagian tentu kami tanyakan.
Anggota Pansel KPK, Hendardi. Foto: Faiz/kumparan
Beberapa pihak mengkaitkan posisi Anda sebagai penasihat ahli Kapolri dengan melenggangnya polisi di capim KPK. Tanggapan Anda? Itu cerita lama lah. Ngapain di.. (bahas).
Kan perlu kami tanyakan, karena tudingan beberapa kalangan, mereka selalu mengkaitkan ke sini, soal konflik kepentingan anggota pansel. Buat saya sih begini. Itu tudingan-tudingan anak kecil. Yang mensimplifikasi persoalan. Reputasi saya ini saya bangun sudah hampir 40 tahun loh.
Saya jadi pimpinan Dewan Mahasiswa ITB tuh tahun 80an. Jadi sejak itu saya nggak pernah berhenti. Kemudian saya ke LBH bandung, YLBHI, lalu PBHI, lalu Setara Institute. Sudah hampir empat dasawarsa. Ketika mereka mungkin masih pakai popok, anak-anak ini. Atau sebagian masih belajar prakarya.
Tapi kemudian kalau itu kemudian disimplifikasi, bahwa lima tahun ini… kan saya diangkat pada zaman Pak Badarodin (Haiti). Lima tahun saya jadi penasihat ahli, terus itu seolah-olah menghapus integritas saya selama ini. Saya kira mereka yang mensimplifikasi dan mengada-ada lah kalau kayak gitu.
Emang integritas orang begitu naif diukur? Gitu ya? Biarlah mereka nggak mau percaya, saya nggak apa-apa. Masih banyak yang percaya saya kok. Pusing amat. Makanya saya bilang EGP, emangnya gue pikirin.
Dan kalau soal posisi saya, saya bilang, ini bukan soal jasa, bukan soal apa. Saya ceritakan, posisi saya di penasihat ahli itu kan bukan organ di dalam struktur Polri. Dia kan semacam think tank saja buat Kapolri dan Wakapolri. Kadang masukan kita dipakai kadang enggak, tergantung lah ya. Dan pertemuannya pun sebulan sekali. Anggotanya profesor-profesor. Anda tahu profesor Indria Samego, Fahri Ali, siapa, Hermawan Sulistyo, Hermawan Kartajaya. Boro-borolah ngasih pandangan-pandangan yang brilian pada Kapolri. Kapolrinya juga profesor! Bukan orang bodoh, ya kan.
Tapi lebih banyak fungsi saya yang asalnya dari LSM ini, yang hidup saya nggak pernah keluar dari LSM, adalah justru menjembatani antara teman-teman (LSM) itu dengan Polri. Selain adalah misinya untuk.. ya saya diajak itu kan kesempatan, kesempatan untuk apa? Untuk ikut bantu perbaikan Polri. Polri kan reformasi juga di Polri. Saya membantu di situ untuk itu.
Fungsi saya lebih di situ. Malah saya dituduh-tuduh punya kepentingan segala macam. Sekarang polisinya satu, tinggal si Firli, masih ngomel juga. Mau apa mereka ini? Siapa maunya sebenarnya?
Tetapi kenapa memilih Firli ketimbang Antam? Dua-duanya nilainya bagus.
Masuk 10 besar? Lima besar, dua duanya. Kenapa (cuma satu)? Ya karena kami enggak mau terlalu banyak polisi, enggak mau terlalu banyak jaksa, makanya kami kurangi. Jadi yang tinggal dua itu, kenapa itu ya subjektivitas daripada itu lah.
Tapi kami melihat juga rekam jejak Pak Firli pernah di KPK, anatomi KPK dia cukup paham dan sebagainya. Bukan Pak Antam nilainya jelek, enggak. Dia pandai ternyata. Saya juga baru tahu. Saya kenal pada saat ini, dipikir saya sudah kenal lama, enggak semua.
Ada komentar kontroversial juga. Alexander Marwata terang-terangan bilang kalau kasus korupsi Polri atau Kejaksaan itu lebih baik diserahkan ke masing-masing instansi. Bukankah itu bukan pelemahan KPK? Apa pertimbangan pansel, atau jangan-jangan ini enggak masuk pertimbangan? Alexander Marwata setahu saya enggak ngomong gitu.
Roby Arya Brata juga bilang begitu, untuk menghindari konfrontasi dengan lembaga lain... Iya, kami anggap itu sebagai ide aja, gagasan. Enggak apa kan malah punya gagasan. Nanti itu diuji di sana, diuji di DPR gagasan itu, dianggap ini (bagus atau) enggak, tapi itu gagasan nggak apa-apa, lha wong memang kenyataan itu.
Jangan… begini loh, melemahkan KPK, save KPK, ini apa? Ternyata cuma mau menyelamatkan beberapa orang di KPK. Karena sudah nyaman dia makanya enggak mau pemimpin yang tegas, pemimpin yang berani. Yang lain kan polisi ada, artinya apa? Kalau ngomong gitu, udah bukan soal objektif mereka bermasalah, tapi penginnya ini, enggak pengin itu. Enggak bisa kita didikte begitu.
Sedang memuat...0 Konten
Sedang memuat...0 Konten
Sedang memuat...0 Konten
Sedang memuat...0 Konten
Sedang memuat...0 Konten