I Shall Return, Cendana Menggebrak

25 Juni 2018 8:22 WIB
comment
3
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Titiek Soeharto dan potret sang ayah. (Foto: Rahmat Pribadi/AFP)
zoom-in-whitePerbesar
Titiek Soeharto dan potret sang ayah. (Foto: Rahmat Pribadi/AFP)
ADVERTISEMENT
Awal Juni 2018 jadi masa-masa sibuk buat Titiek Soeharto. Jelang akhir Ramadhan itu, ia menerima sejumlah orang di kediamannya di kawasan Timoho, Yogyakarta.
ADVERTISEMENT
Orang-orang itu ialah para pengurus Partai Berkarya pimpinan adiknya, Tommy Soeharto. Titiek sengaja mengundang mereka. Ia ingin mengenal partai sang adik.
“Saya ingin melihat situasi Partai Berkarya, karena itu milik adik saya,” ujar Titiek kepada pengurus Partai Berkarya di rumahnya.
Anak keempat Soeharto yang bernama lengkap Siti Hediati Hariyadi itu sedang memantapkan hati.
Tak sampai seminggu kemudian, Senin (11/6), Titiek mengumumkan mengakhiri kiprahnya di partai yang 32 tahun menyangga pemerintahan ayahnya. Ia keluar dari Golkar dan bergabung dengan Berkarya.
Patung Soeharto di Kemusuk. (Foto: Arfiansyah Panji Purnandaru/kumparan)
zoom-in-whitePerbesar
Patung Soeharto di Kemusuk. (Foto: Arfiansyah Panji Purnandaru/kumparan)
Dusun Kemusuk di Bantul, Yogyakarta, yang merupakan tempat kelahiran Soeharto, dipilih Titiek sebagai lokasi deklarasi bergabungnya ia ke Berkarya.
Di teras Museum Jenderal Besar HM Soeharto di Dusun Kemusuk, Titiek menyampaikan pidato disaksikan oleh adiknya, Tommy Soeharto, dan para pengurus Berkarya. Titiek mengeluhkan Golkar yang di matanya tak lagi bertaji.
ADVERTISEMENT
Titiek merasa tersandera Partai Golkar yang berada di sisi pemerintah--jalan yang selalu ditempuh partai itu sejak Orde Baru.
“Seharusnya Golkar sebagai partai besar, sebagai pendukung dan sahabat yang baik, harus bisa memberi masukan mana hal-hal yang baik dan yang buruk kepada pemerintah. Tidak sekadar mengekor dan ABS (Asal Bapak Senang),” kata Titiek, menyinggung istilah yang ironisnya muncul di era Orba untuk menyindir praktik politik birokrasi yang kerap berjalan hanya sesuai keinginan penguasa.
Titiek juga menyimpan kekesalan karena menganggap Golkar tak mampu menjaga nama ayahnya ketika keburukan Orde Baru terus dikorek berbagai pihak.
“Mas Bambang juga pernah minta saya keluar dari Golkar. Katanya, ngapain (di Golkar)? Toh selama ini Golkar tidak belain Bapak,” kata Titiek.
ADVERTISEMENT
Maka ia berucap selamat tinggal kepada Golkar, dan bertekad kembali ke parlemen sebagai anggota DPR tahun depan melalui debut politik Partai Berkarya di Pemilu Legislatif 2019.
“I shall return,” ujar Titiek sembari mengibarkan panji kebesaran Soeharto.
Langkah Titiek adalah juga sikap keluarga Cendana. Bersama-sama, saat berkumpul di rumah Mbak Tutut--putri sulung Soeharto, di hari Lebaran, mereka berpose dengan jari-jari membentuk angka tujuh, nomor urut Partai Berkarya di Pemilu 2019.
Lebaran Keluarga Cendana. (Foto: Twitter @WartaCendana)
zoom-in-whitePerbesar
Lebaran Keluarga Cendana. (Foto: Twitter @WartaCendana)
Nama Besar yang Tersingkir
Golkar bukannya langsung limbung begitu Titiek keluar. Titiek tak bisa dibilang kasus istimewa. Sudah banyak kader Golkar lain yang sebelumnya mundur untuk menyeberang ke partai lain, termasuk membentuk partai-partai baru. Pendek kata, Golkar amat terbiasa dengan konflik dan goncangan.
ADVERTISEMENT
Meski begitu, kepergian Titiek bukannya tak disesali sama sekali. “Mbak Titiek itu bawa kursi, lho. Bukan (anggota DPR) pengganti antarwaktu (yang masuk parlemen menggantikan rekannya), bukan dapat limpahan suara,” ujar Yorrys Raweyai, Wakil Ketua Badan Kajian Strategis dan Intelijen DPP Golkar, kepada kumparan di kediamannya, Kemang, Jakarta Selatan, Kamis (14/6).
Titiek melenggang ke DPR setelah lolos Pemilu Legislatif 2014 mewakili daerah pemilihan Yogyakarta. Satu saja kursi hilang, menurut Yorrys, terhitung berharga di tengah upaya Golkar mengais suara menjelang Pileg 2019.
Titiek Soeharto. (Foto: dpr.go.id)
zoom-in-whitePerbesar
Titiek Soeharto. (Foto: dpr.go.id)
Meski begitu, Titiek seorang tak membuat partai goyah. Sejak mengalami hujatan terburuk di awal Reformasi dan mengubah wajah di era kepemimpinan Akbar Tandjung, Golkar tak lagi berada di bawah bayang-bayang Soeharto.
ADVERTISEMENT
Perubahan kultur Golkar di kemudian hari terbukti sukses mempertahankan kebesaran partai itu. Dengan segala naik-turunnya, Golkar selalu bercokol di tiga besar perolehan suara sejak Pemilu 1999 hingga 2014.
“Partai ini kan milik kader, bukan milik seseorang. Tidak ada pengaruh seseorang di Golkar seperti misalnya di partai lain yang ada ketokohan--tokoh yang menentukan besar tidaknya partai,” kata Wakil Ketua Dewan Pakar Golkar, Mahyudin.
Justru itulah masalahnya bagi keluarga Cendana. Mereka berpendapat Golkar tak seharusnya abai dengan jasa Soeharto.
“Selama ini beberapa pemikiran dari almarhum Bapak Presiden kedua RI ini banyak yang, hampir bisa dibilang, tidak terlalu berjalan di Partai Golkar,” kata Muhammad Ali Reza, menantu Mbak Tutut yang lebih dulu meninggalkan Golkar untuk menyeberang ke Berkarya.
ADVERTISEMENT
Reza yang April 2018 sempat dikabarkan akan meramaikan bursa pertarungan Ketua Golkar DKI Jakarta, dua bulan kemudian, Juni, justru dilantik menjadi Ketua Berkarya DKI Jakarta.
“Pengurus Partai Berkarya DKI Jakarta ditugaskan untuk melakukan lompatan besar karena DKI Jakarta adalah mata, telinga, dan jendela perpolitikan nasional,” kata Sekjen Berkarya Priyo Budi Santoso yang juga membelot dari Golkar.
Golkar memang bukan lagi partai Soeharto, apalagi ‘hanya’ keturunannya. Anak-anak Soeharto tak pernah berhasil menyabet posisi puncak di partai itu. Hutomo Mandala Putra alias Tommy Soeharto, misalnya, dua kali berniat maju bertarung memperebutkan kursi Ketua Umum Golkar, dan dua kali itu pula gagal (atau batal).
Pada Musyawarah Nasional Golkar 2009 di Riau, Tommy bersaing dengan politikus kawakan Aburizal Bakrie dan Surya Paloh, serta kader muda Yuddy Chrisnandi. Dan ia tak beroleh satu suara pun.
ADVERTISEMENT
Sempat hengkang ke Partai Nasional Republik sebagai Ketua Dewan Pembina, Tommy kembali ke Golkar setelah Nasrep tak lolos verifikasi KPU untuk mengikuti Pemilu 2014. Ia lalu mengambil formulir pendaftaran calon ketua umum jelang Musyawarah Nasional Luar Biasa Golkar pada Mei 2016, namun batal maju karena bersama Titiek memilih mendukung Ade Komarudin sebagai kandidat ketua.
Tapi, Akom--sapaan Ade Komarudin--kemudian mundur di putaran kedua saat head to head melawan Setya Novanto, dengan alasan demi mengedepankan rekonsiliasi di tubuh Golkar. Keputusan Ade itu tak pelak jadi pukulan bagi Cendana yang mengusungnya sejak awal.
Tommy mengambil nomor urut Partai Berkarya (Foto: Garin Gustavian/kumparan)
zoom-in-whitePerbesar
Tommy mengambil nomor urut Partai Berkarya (Foto: Garin Gustavian/kumparan)
Dua bulan setelah Munaslub membawa Setnov ke kursi ketua umum, Juli 2016, Tommy meninggalkan Golkar lagi. Kali ini ke Berkarya. Dan barulah dua tahun kemudian, Juni 2018, Titiek menyusul angkat kaki dari Golkar.
ADVERTISEMENT
Jelas bukan tanpa alasan. Berpolitik di partai sebesar Golkar bukan perkara mudah. Bagi anak-anak Soeharto sekali pun. Bergabung dengan Golkar pada 2012, karier politiknya tak bisa dibilang mulus.
Ia memang sempat dilambungkan sejumlah kader, diberi amanah sebagai Wakil Ketua Komisi IV DPR, diajukan menjadi Ketua Umum Golkar, hingga didorong menjadi Wakil Ketua MPR. Namun, Titiek tetap pontang-panting.
Juli 2017, Titiek digeser dari pimpinan Komisi IV untuk dirotasi ke Badan Kerja Sama Antar-Parlemen DPR sebagai wakil ketua.
Rencana mendorong Titiek menjadi Wakil Ketua MPR juga sempat membuat gaduh. Spekulasi merebak, menyebutnya sebagai jalan kompromi agak Titiek tak maju jadi kandidat ketua umum Golkar di Munaslub Desember 2017--yang kemudian secara aklamasi memilih Airlangga Hartarto sebagai Ketua Umum.
ADVERTISEMENT
Singkatnya, Tommy dan Titiek Soeharto ‘tersingkir’ dari posisi-posisi kunci di Golkar.
Padahal, Titiek dan Tommy semula ingin ‘mengurus’ Golkar karena merasa memiliki.
“Kalau Mbak Titiek, Mas Tommy, mereka ini kan merasa (memiliki) karena anak biologisnya Pak Harto. Jadi mungkin tahu persis apa kira-kira (yang harus diperjuangkan),” kata Yorrys.
Pentas Politik Trah Cendana (Foto: Sabryna Muviola/kumparan)
zoom-in-whitePerbesar
Pentas Politik Trah Cendana (Foto: Sabryna Muviola/kumparan)
Bukan cuma Titiek dan Tommy yang bergelut di dunia politik. Sang putri sulung Soeharto, Mbak Tutut, juga bergerak di luar Golkar. Ia mendirikan Partai Karya Peduli Bangsa pada tahun 2002, dan namanya sempat hendak diusung jadi calon presiden. Sayangnya, PKPB hanya mampu jadi partai papan bawah.
ADVERTISEMENT
Partai lain yang diinisiasi keluarga Soeharto adalah Partai Karya Republik besutan Ari Sigit, cucu Soeharto. Pakar mendaftar ikut Pemilu 2014, namun tak lolos verifikasi KPU.
Menjadi anak dan cucu Soeharto di masa sekarang jelas tak membuat semua serba-mudah. Apalagi borok Orde Baru terus dikuliti.
Pada 2004 misal, Transparency International menyebut Soeharto sebagai salah satu pemimpin paling korup yang merugikan negara sebanyak 30 miliar dolar AS.
Karier politik klan Soeharto tak semoncer dinasti politik lain, terutama trah Sukarno yang kembali berjaya dan mengakar kuat di PDIP, partai yang digenggam kencang Megawati Soekarnoputri.
ADVERTISEMENT
Setelah puluhan tahun berada di luar kekuasaan, PDIP membawa anak-cucu Sukarno kembali ke jantung pemerintahan. Lihat saja Puan Maharani, putri Mega, yang kini menjabat Menko Pembangunan Manusia dan Kebudayaan; atau Prananda Prabowo, putra Mega yang timbul-tenggelam disebut hendak dimunculkan di masa depan.
Belum lagi Puti Guntur Soekarno, cucu Sukarno dari Guntur putra pertamanya, yang telah dua periode duduk di DPR dan kini bertarung di Pilkada Jawa Timur sebagai calon wakil gubernur mendampingi Gus Ipul.
Trah Yudhoyono yang muncul di generasi baru pun tak kurang berkilau. Meski tak mudah, Presiden ke-6 RI Susilo Bambang Yudhoyono terus berupaya memoles putra-putranya, terutama si sulung Agus Harimurti Yudhoyono, sambil membukakan jalan bagi lewat Demokrat sebagai kendaraan politik.
ADVERTISEMENT
Kredibilitas trah Soeharto sempat semakin ambruk setelah Tommy terlibat kasus pembunuhan Hakim Agung Syafiuddin Kartasasmita pada 2001. Syafiuddin adalah hakim yang menjerat Tommy di kasus tukar guling gudang Bulog tahun 1994.
Saat itu, Tommy kabur menghindar dari jerat hukum dan merencanakan pembunuhan dalam pelarian. Setelah tertangkap, ia diadili dan divonis 15 tahun penjara pada Juli 2002 atas kasus pembunuhan, kepemilikan senjata api ilegal, dan menghindari penahanan.
Namun berkat enam kali remisi yang ia dapat, Tommy hanya berada di penjara selama empat tahun saja.
ADVERTISEMENT
Kapal Baru Trah Soeharto
Kesulitan bersama membuat Cendana merapatkan barisan. Bila sebelumnya mereka terpencar di sejumlah partai, kini mereka berlayar dengan bendera kapal baru: Berkarya.
Bau Orba Partai Berkarya (Foto: Putri Sarah A./kumparan)
zoom-in-whitePerbesar
Bau Orba Partai Berkarya (Foto: Putri Sarah A./kumparan)
Untuk kelancaran pelayaran, Berkarya membawa ‘jimat’ penting: bayang Soeharto.
Soeharto ditahbiskan sebagai ikon partai. Ia berambisi meraup suara para pencinta Soeharto di Pemilu 2019.
“Keluarga Cendana mau mengonsolidasikan kekuatan politik di satu partai,” ujar pengamat politik dan Direktur Eksekutif Indo Barometer, M. Qodari.
Menyusul adiknya yang beroleh posisi kunci sebagai Ketua Umum, Titiek menduduki jabatan strategis sebagai Ketua Dewan Pembina, dan Tutut diisyaratkan segera bergabung.
ADVERTISEMENT
Selain Tommy, Titiek, Tutut, dan Ali Reza menantu Tutut, Eno Sigit yang cucu Soeharto pun menyeberang dari Gerindra ke Berkarya. Eno adalah putri Sigit Harjojudanto, anak kedua Soeharto. Kemenakan Eno (artinya cicit Soeharto), Putra Wibowo, juga menyusul bergabung dengan Berkarya. Putra adalah anak Ari Sigit, kakak Eno.
Pengurus Berkarya melihat momentum kerinduan masyarakat akan Orde Baru sebagai celah dan ceruk pasar yang dapat dimanfaatkan.
Penglihatan itu tak salah, sebab survei Indo Barometer, Evaluasi 20 Tahun Reformasi, pada April 2018 menunjukkan Soeharto merupakan presiden yang dianggap paling sukses, dengan tingkat kesukaan 32,9 persen.
ADVERTISEMENT
“Partai ini fokus dan terukur menjadi partai yang benar-benar memperjuangkan pikiran-pikiran Pak Harto,” kata pendiri Berkarya, Badaruddin Andi Picunang.
Namun tentu saja, angka ‘kerinduan’ terhadap Pak Harto itu kemungkinan tak mudah dikonversi menjadi perolehan suara Berkarya. Qodari menilai, kegagalan aktivitas politik anak-anak Cendana sebelum ini jadi indikator kuat bahwa mereka tak semudah itu ‘menjual’ nama besar sang ayah.
Lukisan Soeharto. (Foto: Arfiansyah Panji Purnandaru/kumparan)
zoom-in-whitePerbesar
Lukisan Soeharto. (Foto: Arfiansyah Panji Purnandaru/kumparan)
“Bagi masyarakat, Pak Harto masih identik dengan Partai Golkar. Orang ingat Pak Harto ya ingat Golkar. Belum tercipta asosiasi bahwa Berkarya adalah Soeharto,” ujar Qodari.
Yang lebih penting dari ‘menjual’ nama Soeharto bagi Berkarya justru masalah dasar, yakni memperkenalkan eksistensi partai ke tengah publik.
“Sebagai partai baru, jangankan asosiasi dengan Pak Harto, Partai Berkarya saja orang belum tahu. Dan dalam pemilihan umum, hukumnya adalah: kalau tak kenal, tidak akan dipilih,” kata Qodari.
ADVERTISEMENT
Cendana tak surut. “Kami bersatu bantu Tommy,” tegas Titiek.
I shall return…
------------------------
Ikuti terus manuver putra-putri Soeharto dalam rangkaian ulasan mendalam Cendana is Back di Liputan Khusus kumparan.