ICJR: Definisi Terorisme yang Disepakati Pemerintah Multitafsir

25 Mei 2018 9:37 WIB
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Menkumham-Pansus bawa RUU Terorisme ke Paripurna (Foto: Ricad Saka/kumparan)
zoom-in-whitePerbesar
Menkumham-Pansus bawa RUU Terorisme ke Paripurna (Foto: Ricad Saka/kumparan)
ADVERTISEMENT
sosmed-whatsapp-green
kumparan Hadir di WhatsApp Channel
Follow
Pemerintah akhirnya sepakat dengan DPR soal definisi terorisme yang mencakup frasa motif ideologi, politik, dan gangguan keamanan. Definisi terorisme memang menjadi sorotan dalam pembahasan revisi UU Antiterorisme selama ini.
ADVERTISEMENT
Definisi terorisme yang disepakati oleh pemerintah dan DPR adalah:
Terorisme adalah perbuatan yang menggunakan kekerasan atau ancaman kekerasan yang menimbulkan suasana teror atau rasa takut secara meluas, yang dapat menimbulkan korban yang bersifat massal dan/atau menimbulkan kerusakan atau kehancuran terhadap objek-objek vital yang strategis, lingkungan hidup, fasilitas publik, atau fasilitas internasional dengan motif ideologi, politik atau gangguan keamanan.
Menanggapi hal ini, Institute for Criminal Justice Reform (ICJR) berpendapat, definisi terorisme yang disetujui pemerintah dan DPR menimbulkan interpretasi yang kabur dan multitafsir. Direktur Eksekutif ICJR, Angga mengungkapkan, ada dua unsur dalam definisi terorisme yang disepakati pemerintah dan DPR yang dapat menimbulkan interpretasi yang kabur dan multitafsir.
"Pertama, unsur 'yang dapat menimbulkan korban yang bersifat massal', sangat jelas terlihat bahwa rumusan ini berpotensi menghadirkan penafsiran yang tidak jelas, karena akibat terorisme tidak dipersempit pada perbuatan yang mengakibatkan korban dalam jumlah banyak," kata Angga dalam keterangan tertulisnya, Jumat (25/5).
Duka Cita Akibat Teror Bom Surabaya (Foto: REUTERS/Beawiharta)
zoom-in-whitePerbesar
Duka Cita Akibat Teror Bom Surabaya (Foto: REUTERS/Beawiharta)
ADVERTISEMENT
"Kedua, unsur 'dengan motif ideologi, politik, dan gangguan keamanan'. Menyertakan unsur motif tersebut secara jelas akan menimbulkan kesulitan bagi aparat penegak hukum untuk membuktikan seluruh unsur pidana terorisme terpenuhi. Padahal unsur motif tersebut rentan menjadikan delik terorisme menjadi delik politik," lanjutnya.
Dengan definisi terorisme yang telah disepakati itu, menurut Angga, maka penegakan hukum pidana terorisme tidak hanya menjadi sulit, sekaligus juga rentan terhadap masuknya kepentingan-kepentingan lain di luar kepentingan penegakan hukum.
Pihaknya juga sejak awal masa pembahasan selalu memberikan masukkan bahwa definisi terorisme sangat penting dan merupakan pintu masuk untuk mengatur materi muatan terkait tindak pidana terorisme. Jika tidak, menurut Angga, maka peluang pelanggaran HAM dalam penegakan hukum terorisme akan terbuka lebar.
ADVERTISEMENT
"Ketentuan mengenai tindak pidana dalam RUU Perubahan UU Terorisme mulai dari Pasal 6 sampai dengan Pasal 18, khusus dalam Pasal 9, Pasal 10A, Pasal 11, Pasal 12, Pasal 12A, Pasal 12B, Pasal 13, Pasal 13A Pasal 14, Pasal 15, Pasal 16 dan Pasal 16A menyertakan unsur 'tindak pidana terorisme' yang harus dibuktikan, sehingga definisi terorisme dalam Pasal 1 yang diputuskan tersebut sebagai unsur tindak pidana bagi pasal-pasal tersebut haruslah bersifat jelas, tidak karet, tidak multitafsir atau kabur dan tidak menghasilkan pengertian lain," paparnya.
Angga berpendapat, seharusnya perumusan definisi harus dilakukan dengan hati-hati, termasuk menghindari terminologi yang kabur untuk menghindari potensi penyalahgunaan kekuasaan dan kewenangan.
"Definisi terorisme harus diletakkan pada perbuatan yang benar-benar memenuhi unsur teror dan penghasutan untuk melakukan terror yang digunakan dalam tujuan pencegahan dan pemberantasan tindak pidana terorisme," pungkasnya.
ADVERTISEMENT