ICJR Minta DPR dan Pemerintah Hapus Pasal Penghinaan Presiden di RKUHP

31 Mei 2018 3:10 WIB
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Rapat Paripurna DPR RI (Foto: Irfan Adi Saputra/kumparan)
zoom-in-whitePerbesar
Rapat Paripurna DPR RI (Foto: Irfan Adi Saputra/kumparan)
ADVERTISEMENT
Institute for Criminal Justice Reform (ICJR) meminta agar DPR dan pemerintah menghapus pasal penghinaan presiden dalam RUU Hukum Pidana. Menurut Direktur Eksekutif ICJR, Anggara, hal tersebut bisa mengembalikan watak kolonial di Indonesia dan menumbuhkan kanker demokrasi.
ADVERTISEMENT
"Dari sisi sejarah, pasal itu berasal dari ketentuan Pasal 134, 136 bis, dan 137 KUHP yang sejak awal memang ditujukan untuk melindungi posisi Raja atau Ratu Belanda dan para pewaris tahta kerajaan," ungkap Anggara dalam keterangan tertulisnya, Kamis (31/5).
Menurutnya, pasal tersebut ditujukan untuk memberikan perlindungan khusus pada pihak kerajaan karena Raja dan Ratu dianggap sebagai simbol negara yang tidak menjalankan fungsi pemerintahan sehari-hari. Hal itu, tentunya berbeda dengan peran presiden di Indonesia yang memiliki dua fungsi jabatan.
"Oleh karenanya, upaya menghidupkan lagi Pasal Penghinaan Presiden pada dasarnya menempatkan presiden dan wakil presiden sebagai pejabat yang diberikan perlindungan khusus sebagaimana Raja atau Ratu di negara monarki. Ini secara langsung akan menghambat kritik masyarakat terhadap presidennya," lanjutnya.
ADVERTISEMENT
Ia menyebut, perlindungan kepada presiden dan wakil presiden sebenarnya sudah ada melalui ketentuan Penghinaan dalam KUHP dan RUU Hukum Pidana. Ketentuan tersebut, menurut Anggara, sudah cukup untuk memberikan perlindungan diri kepada presiden dan wakil presiden.
Pemerintah dan DPR menggelar rapat membahas materi dalam RUU Hukum Pidana pada Rabu (30/5). Salah satu yang menjadi pembahasan adalah Pasal 238 RUU Hukum Pidana tentang Penghinaan Presiden dan Wakil Presiden.
Rapat Paripurna DPR RI (Foto: Irfan Adi Saputra/kumparan)
zoom-in-whitePerbesar
Rapat Paripurna DPR RI (Foto: Irfan Adi Saputra/kumparan)
Dalam pembahasan tersebut, pihak pemerintah mengusulkan sejumlah alternatif terhadap ketentuan Pasal 238 RUU Hukum Pidana tersebut. Yaitu:
Penyerangan Kehormatan atau Harkat dan Martabat Presiden dan Wakil Presiden.
(1) Setiap orang yang di muka umum menyerang kehormatan atau harkat dan martabat diri Presiden atau Wakil Presiden dipidana dengan pidana penjara paling lama 3 (tiga) tahun 6 (enam) bulan atau pidana denda paling banyak Kategori IV.
ADVERTISEMENT
(2) Tidak merupakan penyerangan kehormatan atau harkat dan martabat sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) jika perbuatan dilakukan untuk kepentingan umum atau pembelaan diri.
(3) Tindak Pidana sebagaimana dimaksud pada ayat (1) hanya dapat dituntut berdasarkan aduan.
(4) Pengaduan sebagaimana dimaksud pada ayat (3) dapat dilaksanakan oleh kuasa Presiden atau Wakil Presiden.
Jokowi-JK buka puasa di Kediaman Ketua DPR. (Foto: dok. Biro Pers Setpres)
zoom-in-whitePerbesar
Jokowi-JK buka puasa di Kediaman Ketua DPR. (Foto: dok. Biro Pers Setpres)
Alternatif tersebut mencantumkan beberapa perubahan dalam Pasal 238 yang asli yang berbunyi:
Penghinaan terhadap Presiden dan Wakil Presiden
(1) Setap Orang yang di muka umum menghina Presiden atau Wakil Presiden dipidana dengan pidana penjara paling lama 3 (tiga) tahun 6 (enam) bulan atau pidana denda paling banyak Kategori IV.
(2) Tidak merupakan penghinaan jika perbuatan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) jelas
ADVERTISEMENT
dilakukan untuk kepentingan umum atau pembelaan diri.