ICW: 53 Koruptor Kabur ke Luar Negeri, Terbanyak di Kasus BLBI

14 Februari 2019 17:48 WIB
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Ilustrasi korupsi Foto: Thinkstock
zoom-in-whitePerbesar
Ilustrasi korupsi Foto: Thinkstock
ADVERTISEMENT
Indonesia Corruption Watch (ICW) mencatat sebanyak 53 orang di Indonesia yang diduga terlibat kasus korupsi melarikan diri ke luar negeri. Paparan tersebut merupakan data yang tercatat hingga Februari 2019.
ADVERTISEMENT
“Di mana saja mereka? Ada yang ke Amerika Serikat, China, Belanda, Australia, Hongkong dan yang paling banyak ke Singapura 18 orang, dan yang tidak diketahui di mana negaranya itu ada 10 orang,” kata Koordinator ICW Adnan Topan Husodo dalam diskusi 'Menakar Urgensi Perjanjian MLA Indonesia-Swiss' di Kantor ICW, Jakarta Selatan, Kamis (13/2).
“Ini yang masih buron sebanyak 40 orang, yang sudah menyerahkan diri 1 orang dan tertangkap 12,” sambungnya lagi.
Adnan menduga sebagian besar dari mereka diduga terlibat dalam kasus penyelewengan Surat Keterangan Lunas (SKL) Bank Likuiditas Bank Indonesia (BLBI). Menurutnya, pergi ke luar negeri menjadi salah satu cara koruptor melakukan pencucian uang hasil korupsi
ICW paparkan 53 aktor kasus korupsi yang kabur ke luar negeri. Foto: Darin Atiandina/kumparan.
“Mereka yang rata-rata terlibat kasus BLBI, tentunya kemungkinan membawa serta aset ke luar negeri sangat besar, tapi saya belum tahu pasti estimasinya berapa,” kata Adnan.
ADVERTISEMENT
Data dari ICW juga menunjukkan ke-53 aktor itu menyebabkan kerugian negara sebesar Rp 284 triliun. Dari jumlah tersebut, hingga saat ini, negara baru menerima pengembalian dana sebesar Rp 546 miliar.
Menurut Adnan, minimnya jumlah pengembalian yang diterima negara disebabkan karena 3 faktor. Pertama, hal ini disebabkan karena hukum di Indonesia yang berorientasi kepada pelaku, bukan kepada aset.
“Mentalitas perspektif penegak hukum itu memang masih follow the suspect, jadi yang penting orangnya ditangkap dulu, perkara asetnya disembunyikan, dijual, segala macam, itu prioritas berikutnya karena yang nanti diadili orangnya, bukan asetnya,” kata Adnan.
“Kedua, memang organisasi penegak hukum masih didesain dengan pendekatan yang konvensional, yang mana tim asset tracing tidak diprioritaskan,” lanjutnya.
ADVERTISEMENT
Kedua hal tersebut juga didukung dengan asset recovery atau pemulihan aset yang lebih rumit ketimbang penangkapan dan memberikan hukuman kepada pelaku. “Karena harus mengidentifikasi rekening, jumlah aset dan sebagainya,” kata Adnan.
Padahal, menurut Adnan, asset recovery memainkan peran penting. Selain mengembalikan hak negara, asset recovery dapat menjadi salah satu bentuk hukuman dengan ‘memiskinkan koruptor’ yang diyakini dapat memberikan efek jera.
Ketika tiga faktor diatas dibiarkan, maka yang terjadi adalah koruptor akan tetap merasa tak merugi meskipun telah dijatuhi hukuman.
“Ketika proses men-tracing aset tidak dilakukan atau lama, pelaku korupsi itu nyaman, dihukum 4 tahun tapi 'uang saya aman atas nama orang lain, kalau selesai dari penjara saya masih bisa menikmati,” ucapnya.
ADVERTISEMENT
Diharapkan melalui perjanjian Mutual Legal Assistance (MLA) Indonesia dengan Swiss dan beberapa negara lain, aset-aset para koruptor itu bisa terlacak dan dirampas sebagai bagian dari asset recovery.
Hingga saat ini, Indonesia telah melakukan perjanjian sebanyak sepuluh kali yakni dengan Asean, Australia, Hong Kong, RRC, Korsel, India, Vietnam, UEA, Iran, dan terakhir Swiss.