Indonesia dalam Bayang-bayang Obesitas

3 Februari 2019 10:49 WIB
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Obesitas di Pasifik Foto: Flickr/dfataustralianaid/Lorrie Graham
zoom-in-whitePerbesar
Obesitas di Pasifik Foto: Flickr/dfataustralianaid/Lorrie Graham
ADVERTISEMENT
Selama enam tahun, Titi Wati hanya bisa terbaring di atas kasur. Berat badannya yang mencapai 220 kg jadi penyebab dia susah bergerak. Bahkan untuk buang air, ia harus menggunakan alat yang disiapkan pihak keluarga.
ADVERTISEMENT
Sebelumnya, Titi mengaku bobot tubuhnya mencapai 350 kg. Angka itu kemudian menjadikan nama Titi viral hingga disebut sebagai ‘wanita tergemuk se-Kalimantan Tengah’. Kabar itu pun membuat Wali Kota Palangka Raya Fairid Naparin mengulurkan bantuan pengobatan.
Titi Wati (kiri), wanita tergemuk di Kalimantan Tengah bersama Herlina (kanan) anak kandungnya saat beraktivitas sehari-hari di kediamannya. Foto: Antara Kalteng/Adi Wibowo
Konsumsi makanan yang banyak dan tidak aktif berolahraga menjadi penyebab peningkatan berat badan Tuti. Berat badan Tuti pun naik dari 168 kg menjadi 220 kg dalam rentang satu tahun. Begitu penjelasan salah satu tim dokter yang ikut menangani operasi Titi di RS Doris Sylvanus Palangka Raya, dr. Gede Eka Rusdi Antara. Titi bukan satu-satunya penderita obesitas di Indonesia. Berdasarkan laporan Riset Kesehatan Dasar (Riskesdas) 2018 dari Kementerian Kesehatan (Kemenkes), tren obesitas di Indonesia terus naik. Setidaknya dari 2007, 2013, hingga 2018. Sama halnya dengan fenomena kelebihan berat badan.
Infografis, Proporsi berat badan lebih dan obese pada dewasa >18 tahun, 2007-2018. Foto: Dok. Kemenkes
ADVERTISEMENT
Penelitian tersebut melibatkan rumah tangga di 34 provinsi, 416 kabupaten, dan 98 kota dengan sampel 300 ribu. “Desain penelitian yang digunakan potong lintang (cross sectional) dengan kerangka sampel blok sensus dari Survei Sosial Ekonomi Nasional (Susenas) bulan Maret 2018 dari Badan Pusat Statistik (BPS),” tulis Biro Komunikasi dan Pelayanan Masyarakat Kemenkes pada siaran persnya 29 Januari 2018. Di sisi lain, data obesitas global dari Organization for Economic Co-Operation and Development (OECD) 2016 menempatkan Indonesia di peringkat 163. Organisasi itu menyebut 6,7 persen atau sekitar 18 juta orang dewasa Indonesia mengalami obesitas. Mengukur Obesitas World Health Organization (WHO) menggolongkan berat badan berdasarkan angka Body Mass Index (BMI) atau Indeks Massa Tubuh (IMT). Angka tersebut diperoleh dengan membagi berat badan (kg) dengan tinggi badan (m) kuadrat. Misalnya, untuk orang dengan berat badan 75 kg dengan tinggi badan 165 cm. Maka perhitungannya adalah 75kg : (1,65 x 1,65) = 27,55. Dengan IMT 27,55, maka orang tersebut dikategorikan kelebihan berat badan.
Klasifikasi Indeks Massa Tubuh Foto: Anggoro Fajar Purnomo
ADVERTISEMENT
Melihat naiknya tren kegemukan di Indonesia, ahli obesitas dr. Grace Judio-Kahl menyebut, penyebabnya bukan modernisasi. Namun, ketersediaan makanan yang lebih mudah didapatkan, menambah potensi kegemukan pada masyarakat. “Saya melihat ada tren sosial, kalau di kota-kota kecil insiden gemuk itu tinggi banget,” katanya kepada kumparan di Kebayoran Lama, Jakarta Selatan (23/1) Dia berpendapat, adanya peningkatan ekonomi dari masyarakat kurang mampu ke masyarakat mampu juga menjadi potensi naiknya angka obesitas. Apalagi, orang Indonesia terobsesi dengan makanan karena dijajah ratusan tahun.
Masyarakat Indonesia gemar jajan Foto: Thinkstock
Selain itu, masyarakat Indonesia juga sangat dekat dengan budaya makan. Sebut saja, makan saat bertemu pacar atau saat rapat di kantor. “Orang itu selalu makan, wisata kuliner cuma ada di Indonesia. Toko oleh-oleh juga isinya makanan,” sambungnya. Untuk itu, dia menganjurkan, penerapan pola makan yang sehat demi mengantisipasi obesitas. Dalam hal ini, makan hanya jika lapar dan jangan makan jika memang tidak lapar. “Seringkali terjadinya lapar mata. Tidak lapar tapi makan,” ucapnya.
ADVERTISEMENT