Industri Ritel di RI yang Terpuruk Jadi Perhatian Serius Sri Mulyani

31 Oktober 2017 19:49 WIB
comment
1
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Lotus Department Store di Sarinah. (Foto: Dewi Rachmat Kusuma/kumparan)
zoom-in-whitePerbesar
Lotus Department Store di Sarinah. (Foto: Dewi Rachmat Kusuma/kumparan)
ADVERTISEMENT
Komite Stabilitas Sistem Keuangan (KSSK) mengatakan bahwa stabilitas sistem keuangan kuartal ketiga tahun ini dalam kondisi normal. Namun, kondisi di lapangan menggambarkan bahwa industri ritel tengah terpuruk, beberapa perusahaan bahkan harus menutup tokonya.
ADVERTISEMENT
Hal tersebut juga menjadi perhatian pemerintah dalam pembahasan rapat kali ini. Sebab, industri ritel merupakan salah satu faktor yang mempengaruhi daya beli.
Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati mengatakan, jika dilihat dari penerimaan Pajak Pertambahan Nilai (PPN), yang menggambarkan aktivitas ekonomi seperti transaksi jual beli, mengalami pertumbuhan yang positif.
Hingga September 2017, PPN dalam negeri tumbuh 12,24% (yoy) dan Oktober 2017 tumbuh 12,29% (yoy). Sementara untuk PPN impor tumbuh 19,6% (yoy) pada September 2017 dan tumbuh 20,9% (yoy) hingga akhir Oktober 2017.
"Ini menggambarkan adanya aktivitas ekonomi dalam pembayaran pajak tersebut. Ini yang membuat kami harus melakukan penelitian mengenai persepsi daya beli ini," ujar Sri Mulyani Kantor Pusat Ditjen Pajak, Jakarta, Selasa (31/10).
Sri Mulyani dan Yasonna rapat dengan Banggar DPR (Foto: Fanny Kusumawardhani/kumparan)
zoom-in-whitePerbesar
Sri Mulyani dan Yasonna rapat dengan Banggar DPR (Foto: Fanny Kusumawardhani/kumparan)
Selain itu, dari data konsumsi rumah tangga pada tiga kelompok terbawah, menunjukkan bahwa pendapatannya lebih baik dibandingkan tahun lalu. Sementara untuk kalangan menengah, pertumbuhan konsumsi rumah tangganya sebsar 5-6% year on year (yoy), dinilai cukup tinggi. Namun jika dibandingkan tahun lalu yang sebesar 8% (yoy), angka tersebut memang lebih rendah.
ADVERTISEMENT
"Untuk kelas menengah, pertumbuhan tahun ini di kisaran 5-6%, itu cukup tinggi growth dari consumptionnya. Memang kalau dibanding pertumbuhan konsumsi tahun lalu yang di atas 8%, ini lebih rendah. Tapi tidak mengalami kontraksi konsumsi," jelasnya.
Pertumbuhan sektor industri hingga kuartal ketiga tahun ini juga menunjukkan angka yang positif, sebesar 16,63% (yoy). Disusul oleh sektor perdagangan yang tumbuh 18,7% (yoy), sektor keuangan sebesar 9% (yoy), telekomunikasi sebesar 4,6% (yoy), konstruksi sebesar 2,4% (yoy), transportasi sebesar 9,52% (yoy), dan jasa sebesar 5,7% (yoy).
"Supply naik, demand side, individual mereka juga bayar PPh dan PPN. Kami berharap angka-angka ini meyakinkan atau mengurangi hal-hal yang dianggap mengurangi optimisme pelaku usaha," jelas Sri Mulyani.
ADVERTISEMENT
Sementara itu, Ketua Dewan Komisioner Otoritas Jasa Keuangan (OJK) Wimboh Santoso mengatakan bahwa kredit ritel justru mengalami peningkatan yang paling besar dibandingkan sektor lain dan tingkat kredit macet yang rendah.
"Ritel kredit ini meningkat, NPL (non performing loan) paling kecil. Malah kredit ritel ini salah satu yang besar dibanding korporasi, yakni 7,6% (yoy)," kata Wimboh.
Lebih lanjut Wimboh mengatakan, dari segi kredit, pihaknya melihat tak ada yang terganggu dengan industri ritel.
"Jadi sebenarnya untuk aktivitas ritel kok kayaknya enggak terganggu dari segi kredit ataupun NPL. Kemungkinan ini sebenarnya transaksi itu ada, namun outletnya yang berbeda," jelasnya.