Jaksa KPK Pertanyakan PK Setnov, Padahal Sudah Terima Putusan Hakim

24 September 2019 15:14 WIB
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Setya Novanto bersaksi di Sidang Sofyan Basir. Foto: Fanny Kusumawardhani/ kumparan.
zoom-in-whitePerbesar
Setya Novanto bersaksi di Sidang Sofyan Basir. Foto: Fanny Kusumawardhani/ kumparan.
ADVERTISEMENT
Mantan Ketua DPR, Setya Novanto, telah menerima vonis 15 tahun penjara dari majelis hakim Pengadilan Tipikor Jakarta dalam kasus korupsi proyek e-KTP. Putusan itu pun telah berkekuatan hukum tetap (inkrah) dan Setnov -sapaannya- kini menjalani hukuman di Lapas Sukamiskin, Bandung.
ADVERTISEMENT
Namun Setnov kemudian mengajukan upaya hukum Peninjauan Kembali (PK) ke Mahkamah Agung (MA). Padahal, Setnov tidak mengajukan upaya hukum banding dan kasasi terhadap vonis 15 tahun itu.
Jaksa penuntut umum KPK mempertanyakan hal itu kepada ahli hukum pidana dari Universitas Muhammadiyah Jakarta yang dihadirkan Setnov, Chairul Huda.
"Apakah tidak banding dan kasasi bisa disebut menerima putusan (PN) tersebut?" tanya jaksa KPK Burhanuddin kepada Chairul dalam sidang PK di Pengadilan Tipikor Jakarta, Selasa (24/9).
Menurut Choirul, menerima putusan pengadilan tingkat pertama bukan berarti menghilangkan hak seorang terpidana untuk mengajukan PK.
Sebab salah satu syarat mengajukan PK, kata Choirul, seseorang telah menjadi terpidana.
"Dia tidak melakukan upaya hukum lain, katakanlah suatu putusan, dia bisa dibilang menerima, tapi bukan berarti menutup haknya untuk melakukan suatu upaya hukum yang lain, upaya hukum luar biasa seperti PK, bisa dilakukan," jelasnya.
Mantan Ketua DPR Setya Novanto (kanan) mengikuti sidang di gedung Pengadilan Tipikor, Jakarta, Selasa (18/9). Foto: Antara/Muhammad Adimaja
Jaksa kemudian menyinggung soal ada pendapat yang mengatakan bahwa orang yang sudah menerima putusan tidak mengajukan PK. Namun, Choirul mempunyai pendapat lain.
ADVERTISEMENT
"Apakah ahli mendengar atau mengetahui bahwa terhadap putusan yang inkrah tidak dapat dimintakan PK?" tanya jaksa.
"Peninjauan kembali adalah hak terpidana untuk meminta ditinjau kembali terhadap putusan yang sudah tetap, kecuali terhadap putusan bebas dan lepas. Jadi syarat pertama ngajuin PK ialah putusan yang inkrah," ujar Choirul.
Dalam kasusnya, Setnov divonis 15 tahun penjara serta denda Rp 500 juta subsider 6 bulan kurungan. Ia dinilai terbukti melakukan korups dalam proyek e-KTP.
Setnov juga dihukum harus membayar uang pengganti sebesar yang diterimanya yakni USD 7,3 juta. Apabila uang pengganti itu tak dibayar, maka harta benda Setya akan disita dan dilelang. Namun bila tidak mencukupi diganti pidana penjara selama 2 tahun.
ADVERTISEMENT