Jaksa Ungkap 3 Peran Utama Sofyan Basir di Kasus Suap PLTU Riau-1

7 Oktober 2019 19:30 WIB
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Terdakwa kasus dugaan suap proyek PLTU Riau-1, Sofyan Basir menyimak pembacaan tuntutan saat sidang di Pengadilan Tipikor, Jakarta. Foto: ANTARA FOTO/Puspa Perwitasari
zoom-in-whitePerbesar
Terdakwa kasus dugaan suap proyek PLTU Riau-1, Sofyan Basir menyimak pembacaan tuntutan saat sidang di Pengadilan Tipikor, Jakarta. Foto: ANTARA FOTO/Puspa Perwitasari
ADVERTISEMENT
Jaksa penuntut umum KPK menilai Sofyan Basir tak menikmati uang suap proyek Independent Power Producer (IPP) PLTU MT Riau-1 di PT PLN (Persero). Namun, eks Dirut PLN itu dinilai membantu terjadinya kesepakatan terkait proyek sehingga transaksi suap terlaksana.
ADVERTISEMENT
"Terdakwa dengan sengaja lalu memberikan kesempatan, sarana dan keterangan kepada Eni Maulani Saragih maupun Johanes Budisutrisno Kotjo guna memuluskan keinginan mereka untuk mempercepat terjadinya kesepakatan pembangunan PLTU MT Riau-1," kata jaksa membacakan pertimbangan dalam surat tuntutan Sofyan Basir di Pengadilan Tipikor Jakarta, Senin (7/10).
Eni Maulani Saragih merupakan mantan Wakil Ketua Komisi VII DPR. Sementara Johanes Kotjo ialah pemegang saham Blackgold Natural Resources (BNR) Limited.
Pemegang saham Blackgold Natural Resources (BNR) Limited Johannes Kotjo. Foto: Fanny Kusumawardhani/kumparan
Dalam kasus ini, Kotjo menyuap Eni dan mantan Sekjen Golkar Idrus Marham sebesar Rp 4,75 miliar. Suap diduga Kotjo mendapatkan proyek tersebut.
Terkait Sofyan Basir, ia dinilai membantu memfasilitasi pertemuan antara Eni, Idrus, dan Kotjo dengan jajaran direksi PT PLN. Pertemuan itu diduga untuk mempercepat proses kesepakatan proyek PLTU MT Riau-1 antara PT Pembangkitan Jawa Bali Investasi (PJBI) dengan BNR dan China Huadian Engineering Company (CHEC) yang dibawa Kotjo.
Terdakwa kasus dugaan suap proyek PLTU Riau-1, Sofyan Basir (kanan) menerima salinan berkas tuntutan dari Jaksa Penuntut Umum (JPU) saat persidangan di Pengadilan Tipikor, Jakarta. Foto: ANTARA FOTO/Puspa Perwitasari
Jaksa KPK lantas membeberkan bagaimana peran Sofyan Basir dalam kasus ini. Ada setidaknya tiga poin mengenai peran Sofyan Basir itu.
ADVERTISEMENT
Peran pertama, Sofyan telah mempertemukan Eni dan Kotjo dengan Direktur Pengadaan Strategis 2 PLN, Iwan Supangkat.
Iwan Supangkat Santoso, Direktur Pengadaan strategis PLN di gedung KPK, Jakarta. Foto: Iqbal Firdaus/kumparan
Pertemuan itu terjadi sekitar bulan Juli 2017 di ruangan Dirut PLN. Sofyan Basir yang masih menjabat itu meminta Supangkat untuk menjelaskan mengenai mekanisme pembangunan IPP berdasarkan Perpres Nomor 4 Tahun 2016, yang menjadi acuan PT PLN (Persero) untuk menugaskan anak perusahaannya bermitra dengan perusahaan swasta dengan syarat kepemilikan saham anak perusahaan PT PLN (Persero) minimal 51%.
Tak hanya itu, setidaknya ada 4 pertemuan yang dilakukan antara Sofyan, Eni, Kotjo, dan sejumlah pihak lain yang membahas mengenai proses kesepakatan pembangunan PLTU MT Riau-1, yakni:
- Pada tahun 2017 di BRI Lounge
- September 2017 di Restoran Arkadia Plaza Senayan
ADVERTISEMENT
- Pada 6 Juni 2018 di rumah Sofyan Basir
- Pada 7 Juni 2018 di Kantor PLN
Peran kedua, Sofyan mengarahkan Nicke Widyawati yang saat itu menjabat Direktur Perencanaan PLN untuk tetap memasukkan proyek PLTU Mulu Tambang 2x300 MW di perencanaan Kabupaten Indragiri Hulu, Riau, ke dalam Rencana Umum Penyediaan Tenaga Listrik (RUPTL) PLN.
Mantan Direktur PLN Nicke Widyawati. Foto: Iqbal Firdaus/kumparan
Arahan itu terjadi dalam pertemuan yang dihadiri Sofyan Basir, Supangkat, Nicke, Eni, dan Kotjo pada awal tahun 2017 di Hotel Fairmont, Jakarta. Pada pertemuan itu, Eni dan Kotjo meminta kepada Sofyan Basir agar proyek PLTU MT Riau-1 tetap dicantumkan dalam RUPTL PLN tahun 2017-2026. Sofyan Basir juga meminta Nicke untuk menindaklanjuti permintaan itu.
Atas hal tersebut, Sofyan Basir dinilai telah memberikan kesempatan kepada Kotjo untuk mendapatkan proyek pembangunan PLTU MT Riau-1. Lantaran Sofyan tetap mencantumkan proyek tersebut dalam RUPTL PLN (Persero) pada tahun 2017-2026.
ADVERTISEMENT
"Bahwa di dalam persidangan, Supangkat Iwan Santoso menerangkan bahwa proyek yang telah tercantum di dalam RUPTL PLN, apabila belum dilaksanakan oleh PLN maka proyek tersebut dapat dikeluarkan dari RUPTL PLN. Dengan demikian cukup beralasan bagi Eni Maulani Saragih dan Johanes Budisutrisno Kotjo untuk mengajukan permohonan tersebut kepada terdakwa selaku direktur utama PLN yang kemudian oleh terdakwa diteruskan kepada Nicke Widyawati selaku direktur perencanaan PLN," papar jaksa.
Peran ketiga, Sofyan menandatangani power purchase agreement atau PPA proyek PLTU MT 2 x 3000 MW di Peranap sebelum seluruh prosedurnya dilalui dan dilakukan tanpa membahas dengan direksi PLN lainnya.
"Sehingga tindakan terdakwa (Sofyan Basir) yang telah memberikan kesempatan, sarana, dan keterangan yang tidak dapat dipertanggungjawabkan dan bertentangan dengan ketentuan maupun SOP yang berlaku di PT PLN (Persero) sebagaimana telah diuraikan di atas, dan berakibat mempermudah terjadinya tindak pidana suap antara Eni Maulani Saragih dan Johanes Budisutrisno Kotjo adalah merupakan tindakan yang melawan hukum dan sengaja dilakukan oleh terdakwa," ungkap jaksa.
ADVERTISEMENT
Terkait belum adanya keuntungan yang didapat Sofyan, jaksa menilai hal itu bukan termasuk dalam syarat perbantuan di Pasal 56 ke-2 KUHP yang didakwakan ke Sofyan.
Bahkan jaksa mengutip ahli yang dihadirkan Sofyan Basir di persidangan, Prof. Dr. Nur Basuki Minarno, S.H., M.Hum, yang menyampaikan, 'bahwa secara umum dalam pembantuan, orang yang membantu tidak harus memperoleh manfaat yang didapatkan dari yang dibantu'.
"Peran terdakwa sehingga dapat terjadinya tindak pidana suap a quo sangat penting, dan hal tersebut sangat mudah untuk dipahami. Sebagaimana pernyataan Kotjo di depan persidangan bahwa 'jika tanpa bantuan dari terdakwa selaku direktur utama PT PLN, maka keinginan dirinya untuk mempercepat proses kesepakatan proyek IPP PLTU MT RIAU-1 antara PT PJBI dengan BNR, dan CHEC, tidak akan terlaksana'," kata jaksa.
ADVERTISEMENT