Jokowi dan Prabowo Berebut Suara Umat Muslim, Siapa Menang?

13 Agustus 2018 8:50 WIB
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Jokowi dan Ma'ruf Amin Tiba di RSPAD Gatot Soebroto, Jakarta (12/8). (Foto: Yudhistira Amran Saleh/kumparan)
zoom-in-whitePerbesar
Jokowi dan Ma'ruf Amin Tiba di RSPAD Gatot Soebroto, Jakarta (12/8). (Foto: Yudhistira Amran Saleh/kumparan)
ADVERTISEMENT
Duel antara pasangan Joko Widodo - Ma'ruf Amin dan Prabowo Subianto - Sandiaga Uno di Pilpres 2019 sangat menarik perhatian banyak pihak, penyebabnya dua pasangan capres-cawapres itu dinilai bakal berusaha menggaet sebanyak-banyaknya pemilih muslim demi memenangkan pertarungan pilpres.
ADVERTISEMENT
Jokowi tentu di atas kerta lebih diuntungkan karena cawapresnya adalah Ketum MUI sekaligus Rais Aam PBNU, organisasi Islam dengan massa terbanyak di Indonesia. Sedangkan Prabowo-Sandi hanya mengandalkan pemilih muslim dari PKS dan PAN yang mayoritas berasal dari kalangan Muhammadiyah.
Namun, pendapat berbeda dikemukakan oleh pengamat politik UIN Jakarta, Adi Prayitno. Adi meyakini, preferensi masyarakat tidak menjadikan agama sebagai pilihan politiknya di pilpres nanti.
"Kalau melihat yang tampak di permukaan kan seakan akan pemilih muslim terutama yang tradisional dan jumlah seperti NU ini kan mayoritas seakan-akan memilih Kiai Ma'ruf Amin karena kan Kiai Ma'ruf ini simbol, tokoh, panutan yang fatwa fatwanya memang selalu didengar dan diikuti," kata Adi ketika dihubungi, Senin (13/8).
ADVERTISEMENT
"Tapi politik tidak sesederhana seperti yang kita bayangkan loh, pemilih muslim kita itu tidak menjadikan preferensi agama sebagai pilihan politiknya," imbuhnya.
Prabowo dan Sandi usai jumpa pers di KPU, Jakarta, Jumat (10/8/2018). (Foto: Fanny Kusumawardhani/kumparan)
zoom-in-whitePerbesar
Prabowo dan Sandi usai jumpa pers di KPU, Jakarta, Jumat (10/8/2018). (Foto: Fanny Kusumawardhani/kumparan)
Menurutnya, pasangan mana yang bisa memikat hati pemilih muslim sangat bergantung dari isu yang diangkat oleh masing-masing pasangan. Selain itu, kerja tim sukses juga penting karena ikut membantu meyakinkan pemilih sampai masuk ke TPS dan menyalurkan suaranya di pilpres.
"Nanti tergantung sejauh mana kandidat ini mampu meyakinkan apakah mereka layak dipilih atau tidak. Tergantung isu yang dimainkan, tergantung timses seberapa besar bisa meyakinkan pemilih sampai masuk ke TPS," ungkapnya.
Ulama selalu kalah di pemilihan langsung Pilpres
Adi menjelaskan, keterlibatan ulama dalam politik sebenarnya telah berlangsung sejak lama. Saat Pilpres 2004 beberapa kandidat capres-cawapres juga berlatar belakang ulama sekaligus pimpinan ormas Islam NU yaitu Hasyim Muzadi dan Salahuddin Wahid. Tapi kenyataannya meski didukung ormas Islam terbesar Hasyim dan Salahuddin tetap harus menelan kekalahan.
ADVERTISEMENT
Saat Pilpres 2004, pasangan Susilo Bambang Yudhoyono-Jusuf Kalla berhasil menumbangkan pasangan Hamzah Haz-Agum Gumelar, Amien Rais-Siswono Yudohusodo, Megawati Soekarnoputri-Hasyim Muzadi, dan Wiranto-Salahuddin Wahid.
"Tidak semua NU dan Muhammadiyah itu satu suara ke salah satu kandidat, kan banyak orang-orang NU-Muhammadiyah artinya cenderung rasional. Bahkan, jika mau belajar, keterlibatan ulama di politik itu kan sudah sejak lama, di tahun 2004 ada Hasyim Muzadi, Salahuddin Wahid, Amien Rais, tapi kalah sama Pak SBY saat itu," bebernya.