news-card-video
Jakarta
imsak
subuh
terbit
dzuhur
ashar
maghrib
isya

Jokowi yang Ofensif dan Prabowo yang Dominan di Debat Pilpres Perdana

25 Januari 2019 16:27 WIB
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Pasangan capres cawapres nomor urut 01 dan 02 saling berjabat tangan usai debat pertama pilpres 2019. (Foto: Jamal Ramadhan/kumparan)
zoom-in-whitePerbesar
Pasangan capres cawapres nomor urut 01 dan 02 saling berjabat tangan usai debat pertama pilpres 2019. (Foto: Jamal Ramadhan/kumparan)
ADVERTISEMENT
Kamis pekan lalu, 17 Januari 2019, debat perdana calon presiden dan calon wakil presiden dilaksanakan di Hotel Bidakara, Jakarta. Selama 90 menit, isu seputar Hukum, HAM, Korupsi, dan Terorisme menjadi hal yang diperdebatkan pasangan Jokowi-Ma’ruf dan Prabowo-Sandiaga.
ADVERTISEMENT
Siapa yang menjadi pemenang dalam debat itu sendiri jawabnya bisa relatif. Tergantung kubu mana yang bersuara. Lain dari itu, KPU tak berwenang memberikan nilai kepada kedua paslon. Seluruh penilaian diserahkan kepada masyarakat sebagai pemilih.
Meski tanpa penilaian objektif. Itu bukan berarti jalannya debat tak dapat dibaca sama sekali. Sebab begini, apabila 90 menit di Bidakara itu dipadatkan ke dalam satuan matematis, ada 5.789 kata yang telah terucap oleh kedua paslon. Ribuan kata itu dapat diklasifikasikan lagi, dengan hasil akhirnya berupa statistik. Statistik debat.
Tools-nya dengan memanfaatkan bahasa pemrograman python. Dilengkapi dengan aplikasi database, serta pengolah angka standar berupa spreadsheet.
Dalam enam segmen debat perdana yang terdiri dari opening, hukum, HAM, korupsi, terorisme, dan closing, kumparan tak menemukan adanya kata yang meluncur dari bibir Ma’ruf dalam segmen korupsi. Ma’ruf juga bergeming saat opening (pembacaan visi misi) maupun closing (pernyataan penutup) bergulir.
Pasangan capres-cawapres Joko Widodo (ketiga kiri) dan Ma'ruf Amin bersalaman dengan pasangan lawan Prabowo Subianto dan Sandiaga Uno usai debat. (Foto: Antara/Sigid Kurniawan)
zoom-in-whitePerbesar
Pasangan capres-cawapres Joko Widodo (ketiga kiri) dan Ma'ruf Amin bersalaman dengan pasangan lawan Prabowo Subianto dan Sandiaga Uno usai debat. (Foto: Antara/Sigid Kurniawan)
Dari semua itu, Ma’ruf bersuara di tiga segmen, yakni segmen hukum, HAM, dan terorisme. Saat segmen hukum, ia tampil dengan 53 kata. Di segmen HAM tampil dengan 29 kata. Yang terbanyak, Ma’ruf berbicara dalam segmen terorisme. Ada 219 kata yang diucapkan olehnya pada kesempatan tersebut. Total ia bicara sebayak 307 kata hingga debat berakhir.
ADVERTISEMENT
“Terorisme adalah merupakan kejahatan. Oleh karena itu, terorisme harus diberantas sampai ke akar-akarnya. Majelis Ulama Indonesia telah mengeluarkan fatwa bahwa terorisme bukan jihad [...],” ucap Ma’ruf saat ditanya mengenai penanganan terorisme.
Jumlah kata yang diucap Ma’ruf itu terbilang sedikit bila dibandingkan dengan tiga orang lainnya. Jokowi yang memproduksi 2.247 kata sepanjang debat, Prabowo sebanyak 2.373 kata, hingga Sandiaga yang melontarkan 868 kata.
Dalam persentase, porsi Ma’ruf bicara di Bidakara hanyalah 5,30 persen dari tiga orang lainnnya. Lebih kecil dari cawapres Prabowo, Sandiaga, yang porsinya 14,98 persen. Sementara itu, yang paling banyak bicara adalah Prabowo, yakni 40,95 persen. Mengekor di belakangnya adalah Jokowi yang berbicara sebanyak 38,77 persen.
ADVERTISEMENT
Lebih jauh lagi, kumparan juga mencatat bahwa di debat perdana ini, persentase bicara antara Jokowi dan Ma-ruf memiliki rasio 9 banding 1. Dalam artian bahwa pasangan Jokowi-Ma’ruf sebagai satu kesatuan, Jokowi bicara sebanyak 87,98 persen. Sedangkan Ma’ruf bicara sebanyak 11,46 persen.
Lain daripada itu, rasio bicara antara Prabowo dan Sandiaga adalah 7 banding 3. Prabowo memiliki porsi bicara 73,22 persen. Sedangkan wakilnya, Sandiaga, mencapai 26,78 persen.
Porsi bicara Ma’ruf yang sangat sedikit itu pun sudah diakui Ma’ruf satu hari setelah debat. Kepada awak media, Ma’ruf mengakui bahwa dirinya memang bertugas untuk menambahkan saja.
“Masalah yang banyak berkembang tadi malam itu masalah yang kebijakan yang sudah dilakukan Pak Jokowi, kan tidak pantas saya yang jawab, yang lebih tahu soal Pak Jokowi, nah gitu saya kira,” ucap Ma’ruf di kediamanya, Menteng, Jakarta Pusat, pada Jumat (18/1).
ADVERTISEMENT
Lebih jauh lagi, hampir di tiap segmennya, Jokowi selalu unggul dengan mengucapkan kata yang lebih banyak. Hanya di dua segmen kala jumlah kata yang diucap Jokowi jauh lebih sedikit, yakni di segmen terorisme dan closing.
Di dua segmen itu, Prabowo yang mengambil alih panggung dengan mengucap kata lebih banyak. Pada saat itu Prabowo menguraikan bahwa terorisme dikirim dari negara lain. Dia juga menuding ekonomi masyarakat Indonesia yang lemah yang menyebabkan ideologi terorisme dapat tumbuh subur.
Banyaknya kata yang terucap dengan bermutu atau tidaknya ucapan itu jelas soal lain. Namun yang menarik adalah, kumparan mencatat bahwa dari seluruh kata yang terucap itu, Ma’ruf memiliki jumlah kosa kata unik (unique words) dibandingkan dengan tiga lainnya.
ADVERTISEMENT
Kosa kata unik itu sendiri digunakan untuk mengukur sejauh mana seseorang itu memiliki kata kunci eksklusif sepanjang ia berbicara. Semakin banyak seseorang memiliki kosa kata unik, artinya seseorang itu memiliki kosa kata yang lebih kaya. Hal ini berarti seseorang itu tidak mengucapkan sesuatu secara monoton dan berulang-ulang.
Sebagai contoh, pernyataan ‘Satu apel satu hari baik untuk kesehatan’ terdiri dari tujuh kata. Namun kata unik dari pernyataan itu jumlahnya enam kata. Hal ini terjadi lantaran kata ‘satu’ terdapat dua kali dalam pernyataan tersebut.
Korelasi antara tingkat kecerdasan berupa IQ, dengan berapa banyak kosa kata yang dimiliki seseorang pun sudah lama menjadi kajian dalam disiplin psikologi. Departemen Psikologi University of Central Arkansas misalnya, pernah melakukan riset terhadap 234 anak berusia 6-17 tahun. Hasilnya, penguasaan jumah kosa kata yang dimiliki anak-anak itu berbanding lurus dengan tingkat kecerdasan mereka.
ADVERTISEMENT
Pada hasil temuan kumparan, Ma’ruf memiliki kosa kata unik sebanyak 76,43 persen sepanjang debat. Angka itu dihasilkan dari 171 kata unik yang dia ucap, berbanding dengan 104 kata benda maupun sifat yang diucapnya sepanjang debat berlangsung.
Sebanyak 104 kata itu sendiri diperoleh dengan menyingkirkan kata umum (stop words). Dalam database kumparan ada 756 stop words, yang beberapa di antaranya terdiri dari kata ‘saya’, ‘ke’, ‘dengan’, dan lain sebagainya. Kata-kata itu disingkirkan lantaran memang sudah lazim digunakan dalam berkomunikasi, sehingga tidak memiliki makna yang siginifikan.
Dengan cara demikian, di bawah Ma’ruf ada Sandiaga yang amunisi kata uniknya mencapai 59,25 persen. Mengekor di belakangnya Prabowo sebesar 54,68 persen, serta Jokowi yang angkanya mencapai 49,85 persen. Kendati demikian, ini juga belum bisa ditafsirkan bahwa Ma'ruf lebih unggul secara intelegensia dari yang lain. Sebab harus diingat, durasi Ma'ruf berbicara hanya sedikit. Tentu terlalu prematur untuk menyimpulkannya demikian.
ADVERTISEMENT
Terkait dengan frase apa yang paling banyak diucap selama debat, kumparan mencatat bahwa Jokowi menyebut frase hukum sebanyak 31 kali. Begitu pula dengan Prabowo dan Sandiaga yang menyebut frase hukum masing-masing 18 dan 21 kali. Namun tidak demikian dengan Ma’ruf. Frase yang paling banyak digunakan olehnya justrru terorisme.
Bandingkan dengan Prabowo:
Lain dari itu, isu mengenai HAM adalah hal yang paling sensitif dalam debat tersebut. Beban HAM masa lalu yang kerap dituduhkan ke Prabowo, hingga mandeknya kasus penyiraman air keras terhadap penyidik KPK Novel Baswedan di bawah pemerintahan Jokowi menjadi hal yang diprediksi akan memanas dalam debat tersebut.
Meski demikian, sebagai sebuah kata, HAM tidaklah begitu banyak diperbincangkan dalam debat tersebut. kumparan mencatat bahwa kata itu diucapkan Jokowi sebanyak 12 kali, dua kali oleh Prabowo, tiga kali oleh Sandiaga, dan hanya sekali diucapkan Ma’ruf.
ADVERTISEMENT
“[...] Karena itu kami dalam menghadapi masalah hukum, masalah korupsi, masalah HAM, dan masalah terorisme, kami ingin menyelesaikan dari muara masalah [...],” ujar Prabowo.
Selain menghitung jumlah kata yang digunakan, kumparan juga menyoroti bagaimana capres/cawapres memanggil nama lainnya. Temuan yang menarik adalah, sosok Ma’ruf rupanya tidak menjadi pusat perhatian sama sekali.
Baik Prabowo maupun Sandiaga sama sekali tak pernah menyebut sosok Ma’ruf di Bidakara. Penyebutan di sini bukan berarti harus identik dengan kata ‘Ma’ruf’. Namun kata pengganti lain seperti halnya ‘Pak Kyai’, ‘Kyai’, serta sejumlah variannya turut dipertimbangkan. Nyatanya, paslon nomor urut 02 itu memang sama sekali tak menyapa Ma’ruf.
Satu-satunya yang menyebut Ma’ruf, selain moderator tentunya, adalah Jokowi. kumparan mencatat bahwa Jokowi menyapa Ma’ruf sebanyak tiga kali. Jika dibalik, Ma’ruf pun tidak menyebut sosok Prabowo maupun Sandiaga. Hasil transkrip menunjukkan bahwa Ma’ruf hanya menyebut satu sosok, yakni Jokowi.
ADVERTISEMENT
Hal menarik lainnya adalah, Jokowi lebih banyak menyebut sosok Prabowo ketimbang Prabowo menyebut Jokowi. Dari 90 menit yang dihabiskan, Jokowi menyebut Prabowo sebanyak 12 kali. Sedangkan Prabowo menyebut nama Jokowi sebanyak tiga kali. Ofensif? bisa jadi.
Filsuf kontemporer Prancis, Jacquess Deridda, dalam bukunya On The Name menjelaskan bahwa menamakan sesuatu dan memanggilnya berarti tengah menguasai sesuatu itu. Ada unsur kekuasaan yang muncul saat menyebut nama yang lain. Dalam konteks ini, paling tidak, manuver Jokowi yang lebih banyak menyebut nama Prabowo juga dapat diterjemahkan demikian.
Sementara itu, narsisme justru dimunculkan oleh Sandiaga. Selama debat berlangsung, ia tak henti menyebut namanya sendiri dan nama pasangannya, Prabowo. Terhitung dia melakukannya sebanyak 12 kali.
ADVERTISEMENT
Lebih lanjut, penggunaan kata ‘Saya’, ‘Kita’, dan ‘Kami’ juga merupakan hal yang kumparan soroti selama debat berlangsung. Dari oleh transkrip sepanjang 27 halaman, Prabowo adalah sosok yang paling banyak menyebut kata ‘Saya’ sebagai kata ganti (promina) orang pertama. Hal itu dilakukannya saat menjawab maupun memberikan pertanyaan kepada paslon nomor urut 01.
Meski demikian, secara rasio, justru Ma'ruf yang paling banyak mengucapkan kata 'saya' untuk menunjuk dirinya sendiri. Sebanyak 45 persen dari peryataanya menyebut kata 'saya'. Disusul kemudian dengan capresnya, Jokowi, yang mengucapkan kata 'saya' sebanyak 43,3 persen.
Sementara itu, secara jumlah kedua paslon cenderung untuk memilih kata ‘Kita’ dibanding ‘Kami’ saat berbicara. Dalam bahasa Inggris, dua kata tersebut memang tidak berbeda, sama-sama diterjemahkan ‘We’.
ADVERTISEMENT
Meski demikian, bahasa Indonesia memiliki pemaknaan yang berbeda atas pemilihan kata tersebut. Kata ‘kami’ digunakan oleh seseorang untuk merujuk diri dan kelompoknya sebagai yang dilibati. Sedangkan kata ‘kita’ berarti membuka ruang bagi lawan bicara yang berada di luar dari diri dan kelompoknya untuk terlibat dalam pernyataan tersebut.
Lalu apa makna pemilihan diksi tersebut? Yang jelas, kedua paslon tersebut yang paling tahu. Namun, apa kamu memiliki pendapat tersendiri? Yuk komen.