Jurus Desa Sardonoharjo Yogya Lawan Politik Uang

7 Maret 2019 11:20 WIB
comment
1
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Warga menunnjukan stiker anti politik uang. Foto: Faiz Zulfikar/kumparan
zoom-in-whitePerbesar
Warga menunnjukan stiker anti politik uang. Foto: Faiz Zulfikar/kumparan
ADVERTISEMENT
Gelak tawa mendadak pecah di rumah berkelir kuning milik salah satu warga Dukuh Bulusan, Desa Sardonoharjo, Daerah Istimewa Yogyakarta. Sekitar 30-an perempuan tengah menghadiri pertemuan di ruang tamu rumah itu, Minggu (3/3) malam. Mereka duduk melingkar, membahas soal politik uang. Pemberi materi, Wasingatu Zakiyah, 43 tahun, tengah memberi ilustrasi kasus yang kerap terjadi di pemilu.
ADVERTISEMENT
“Kira-kira kalau diberi Rp 100 ribu (oleh caleg), diterima atau tidak?” ia bertanya dalam Bahasa Jawa halus. Seorang perempuan paruh baya menimpali enteng, “Belum tahu, Bu. Mungkin ada yang diterima uangnya tapi kan nyoblosnya belum tahu. Yang ngasih kan enggak tahu dia kita nyoblos siapa”. Jawaban itu yang membuat hadirin terbahak.
Begitu keriuhan mereda, Zaki memberikan ilustrasi, betapa murahnya harga suara dibanding uang Rp 100 ribu. Padahal, setiap suara punya dampak menentukan pemimpin atau wakil rakyat yang akan bertugas selama lima tahun. Bila dihitung per hari, harga suara hanya senilai Rp 50 rupiah per hari.
Penggalan dialog singkat itu terjadi di acara sosialisasi yang digagas oleh Relawan Desa Antipolitik Uang (DAPU) di Sardonoharjo. Zakiyah merupakan koordinator relawan. Dalam kesempatan tadi, ia berpesan kepada ibu-ibu yang hadir, uang jual beli suara bisa menjadi bumerang di kemudian hari.
Wasingatu Zakiyah, Inisiator Relawan Desa Anti Politik Uang Desa Sardonoharjo. Foto: Faiz Zulfikar/kumparan
Desa Sardonoharjo merupakan salah satu Desa Antipolitik Uang di DIY. Koordinator Divisi Pengawasan dan Hubungan Antar Lembaga Bawaslu, Amir Nashirudin, memberi apresiasi khusus terhadap Sardonoharjo. Desa itu dianggap bisa memformalkan semangat gerakan antipolitik uang dalam Peraturan Kepala Desa (Perkades). Aturan ini dibuat untuk mengawal proses pemilu di Sardonoharjo.
ADVERTISEMENT
“Sudah sekian lama politik uang itu menjadi penyakit yang luar biasa terjadi di masyarakat. Setiap ada Pemilu, setiap ada pemilihan apapun kondisi masyarakat kita selalu terpapar dengan adanya tawaran-tawaran mereka (pelaku) untuk memilih seseorang,” kata Zaki, panggilan akrab Zakiyah, saat berbincang dengan kumparan.
Wasingatu Zakiyah, Inisiator Relawan Desa Anti Politik Uang Desa Sardonoharjo. Foto: Faiz Zulfikar/kumparan
Cerita kemunculan Perkades Antipolitik Uang di Sardonoharjo bermula pada 2017. Saat itu, Harjuno Wiwoho terpilih Pemilihan Lurah Desa (Pilurdes). Masyarakat mengenal rekam jejaknya bersih dan cemerlang saat menjabat sebagai kepala dukuh. Harjuno pun tak menggunakan politik uang untuk memenangkan kompetisi menjadi kepala desa.
“Nah dari situ kalau pemilihan kades saja tidak ada politik uang mestinya bisa lanjut (di pemilihan lain),” kata Zaki.
Ia tak mau kehilangan momentum. Tak lama setelah Harjuno dilantik menjadi kepala desa, Zaki menemuinya. Zaki mendesak Harjuno untuk menerbitkan Peraturan Kepala Desa untuk mendukung gerakan antipolitik uang.
Kepala Desa Sardonoharjo, Harjuno Wiwoho. Foto: Arfiansyah Panji/kumparan
Zaki berargumen, Undang-undang nomor 6 Tahun 2014 tentang Desa mengamanatkan pendidikan politik bagi masyarakat desa. Hal tersebut, menurutnya, belum diimplementasikan di Sardonoharjo. Di sisi lain, Zaki menilai politik uang di Sardonoharjo menjadi problem akut yang harus dikikis melalui gerakan antipolitik uang yang sistematis.
ADVERTISEMENT
“Gerakan ini harus melangkah dengan regulasi sehingga jelas semuanya, dalam koridor apa kita melakukan ini,” jelas perempuan yang pernah menjadi aktivis antikorupsi itu. Sayangnya, usul Zaki ditanggapi Harjuno dengan pesimistis.
“Kalau kita mau lawan politik uang itu kayaknya enggak bisa deh,” kata Harjuno kala itu.
Zaki tak lantas patah semangat. Dia terus berusaha meyakinkan kades. Hingga pada akhirnya, ada satu argumen Zaki yang membuat hati Harjuno luluh.
“Saya bilang siapa tahu ini amalan kita yang terakhir. Saya sampai bilang gitu. Saya sentuh-sentuh soal kemanusiaan, siapa tahu ini amalan panjenengan yang terakhir. Besok kalau panjenengan meninggal Pak, itu sudah ada sangu (amalan),” Zaki bercerita.
Masyarakat anti politik uang di Desa Sardonoharjo. Foto: Faiz Zulfikar/kumparan
Begitu kades memberikan lampu hijau, Zaki mengumpulkan beberapa orang dari berbagai lapisan masyarakat. Ia sadar gerakan antipolitik uang harus melibatkan banyak elemen.
ADVERTISEMENT
Zaki lantas menggandeng otoritas desa, Badan Permusyawaratan Desa (BPD), PKK, kelompok karang taruna, dan ormas. Orang-orang inilah yang kemudian menjadi cikal bakal motor gerakan antipolitik uang Desa Sardonoharjo.
Warga Desa Sardonoharjo saat sosialisasi antipolitik uang Foto: Faiz Zulfikar/kumparan
Setelah melalui konsolidasi, mereka mengadakan soft launching Tim Anti Politik Uang Sardonoharjo pada Oktober 2018. Sembari membentuk tim, Zaki juga menyiapkan draf Perkades yang akan menjadi landasan gerakan tim antipolitik uang.
Singkatnya, regulasi itu akhirnya tertuang dalam Peraturan Kepala Desa nomor 1 tahun 2019 tentang Anti-Politik Uang. Dalam Perkades, dinyatakan tegas komitmen Desa Sardonoharjo sebagai desa antipolitik uang.
“Mekanisme kerja desa antipolitik uang dilakukan secara musyawarah yang diinisiasi oleh Tim Desa Anti Politik Uang,” begitu bunyi pasal 1 butir c Perkades itu.
Komik Desa Antipolitik Uang Foto: Putri Sarah Arifira/kumparan
Pasal tersebut yang menjadi payung hukum Tim Antipolitik Uang bergerak. Mereka mulai gencar melakukan sosialisasi. Zaki sadar, deklarasi saja tak akan cukup untuk menghapus praktik politik uang di Sardonoharjo. “Kita harus masuk ke sel-sel paling kecil, pertemuan PKK, pertemuan RT/RW. Ini menjadi salah satu cara kemudian kita turun ke masyarakat,” terang Zaki.
ADVERTISEMENT
Mendekati momen pemilu 2019, tim desa antipolitik uang semakin aktif melakukan sosialisasi menolak politik uang. Mereka masuk ke simpul-simpul masyarakat, misalnya kegiatan perempuan, kepemudaan, dan keagamaan.
“Jadi pertemuan yang rutin kita masukin. Jadi kita enggak buat baru. Ini kenapa ini murah, tanpa dana, itu juga jalan,” sebut Zaki.
Setelah acara sosialisasi, warga yang hadir diberikan stiker berisi pesan menolak politik uang untuk ditempel di rumah masing-masing. Ide stiker ini adalah hasil diskusi dengan Bawaslu DIY, supaya warga semakin teguh menolak praktik politik uang.
Masyarakat anti politik uang di Desa Sardonoharjo. Foto: Faiz Zulfikar/kumparan
Tim Desa Antipolitik Uang Sardonoharjo kemudian semakin kuat, Bawaslu DIY bersama Universitas Muhammadiyah Yogyakarta (UMY) bekerja sama menerjunkan kelompok mahasiswa untuk membantu sosialisasi.
“Ini Bawaslu DIY sebagai titik koordinasi dan fasilitasi. Secara operasional UMY dan tim akan turun ke lapangan untuk mensupport desa anti politik,” ujar Koordinator Divisi Pengawasan dan Hubungan Antar Lembaga Bawaslu DIY, Muh. Amir Nashirudin.
Muh. Amir Nashirudin, Koordinator Divisi Pengawasan dan Hubungan Antar Lembaga Bawaslu DIY. Foto: Faiz Zulfikar/kumparan
Tim Antipolitik Uang Sardonoharjo tak cuma menyasar masyarakat. Para peserta pemilu diajak menciptakan suasana pemilu yang sehat. Mereka diberikan ruang untuk berkampanye melalui program Tamu Jamak (Tunjukkan Mukamu, Jelaskan Maksudmu). Melalui kegiatan tersebut, menurut Zaki, caleg dipersilakan mengenalkan diri kepada masyarakat dan bertemu langsung tanpa melalui perantara.
ADVERTISEMENT
“Cara cerdas berkampanye penting supaya (warga) mengenal kapasitasnya (caleg),” ujar mantan direktur Institute for Development and Economics Analysis (IDEA) Yogyakarta itu.
Perjuangan Sardonoharjo lepas dari jerat politik uang cukup berliku. Simak ulasan lengkapnya di topik Konten Spesial.