Lipsus "Menghabisi KPK", Cover Collection

Jurus Kilat Membunuh KPK

9 September 2019 13:32 WIB
comment
9
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Lipsus "Menghabisi KPK". Foto: Indra Fauzi/kumparan
zoom-in-whitePerbesar
Lipsus "Menghabisi KPK". Foto: Indra Fauzi/kumparan
KPK nyaris mati. Dua lembaga tinggi—presiden dan DPR—kini memainkan peran untuk menentukan hidup mati komisi antirasuah itu. Ada dua cara untuk membunuh KPK: memasukkan calon pimpinan bermasalah, lalu mengebiri kewenangan komisi tersebut melalui revisi UU Komisi Pemberantasan Korupsi.
Kedua cara itu tengah berjalan. DPR akan menentukan calon pimpinan KPK yang beberapa di antaranya bermasalah. Di saat yang sama, lembaga legislatif itu telah menyetujui pembahasan revisi UU KPK yang sarat pasal pelemahan. KPK tinggal menunggu ajal.
***
Rapat Paripurna DPR pada Kamis pekan lalu (5/9) tak butuh puluhan menit untuk mencapai kata sepakat. Peserta rapat setuju merevisi UU Nomor 30 Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Korupsi. Pertanyaan soal persetujuan revisi UU KPK yang keluar dari mulut Wakil Ketua DPR Utut Adianto dari Fraksi PDIP, dijawab serempak dengan kor “Setujuu...” oleh 70 dari 560 anggota parlemen yang hadir.
“Tok!”
Palu pun diketok, tanpa satu pun hadirin keberatan. Perwakilan fraksi lantas bergiliran maju ke meja pimpinan DPR untuk memberikan pandangan tertulis.
Persetujuan itu tidak lahir begitu saja. Legislator NasDem Teuku Taufiqulhadi mengatakan, persiapan sudah berlangsung sepekan sebelum rapat paripurna. Penelusuran kumparan lebih lanjut menemukan bahwa Badan Legislasi DPR menggelar rapat pembahasan revisi UU MPR, DPR, DPD, dan DPRD (UU MD3) dan revisi UU KPK pada Selasa (3/9) atau dua hari sebelum paripurna berjalan.
Dalam revisi UU KPK tersebut, lima anggota DPR duduk sebagai inisiator. Salah satunya adalah Masinton Pasaribu dari PDIP. Empat lainnya berasal dari Fraksi PPP, Golkar, NasDem, dan PKB. Persetujuan berjalan kilat hingga draf sudah siap dan langsung dibawa menuju paripurna.
Taufiqulhadi menyatakan, pembahasan revisi UU KPK ini cepat karena draf sudah disusun sejak 2015 namun tertunda. Isi revisi kini pun tak berbeda dengan draf tersebut. Draf itu dulu gagal masuk Program Legislasi Nasional (Prolegnas) Prioritas 2017.
Menurut Taufiqulhadi, pengajuan revisi UU KPK tak hanya berdasar keinginan DPR, tetapi juga perkembangan hukum yang ada. Misal saja soal status KPK sebagai lembaga di ranah eksekutif sesuai putusan MK pada 2017 tentang status lembaga KPK. Jadi, MK memutuskan bahwa KPK bukan lagi lembaga independen, tetapi masuk ke ranah eksekutif.
Tetapi MK memberikan penjelasan susulan, putusan itu menegaskan KPK masuk ranah eksekutif karena menjalankan tugas penyelidikan, penyidikan, dan dan penuntutan dalam tindak pidana korupsi. Posisi KPK sama dengan kewenangan kepolisian dan kejaksaan.
Taufiqulhadi juga menyebut beberapa masalah terkait kepastian hukum status tersangka yang berlarut-larut. Itulah kenapa DPR ingin KPK memiliki kewenangan untuk menerbitkan Surat Penghentian Penyidikan (SP3) layaknya di Kepolisian.
“Sekarang ada sejumlah orang yang menganggap KPK itu masih sama seperti tahun 2002. Itu ada perubahan,” kata anggota Komisi III DPR itu.
Revisi UU KPK akan memangkas sejumlah kewenangan KPK. Pasal-pasal yang dimaksud oleh Taufiqulhadi justru ditengarai melemahkan KPK. Contohnya ialah wewenang SP3, hadirnya Badan Pengawas KPK, pembatasan penyadapan, status lembaga KPK dan pegawainya, dan lain-lain.
Bahaya Revisi Undang-Undang KPK. Desainer: Putri S. Arifira/kumparan
Masinton Pasaribu yang menjadi salah satu inisiator revisi UU KPK mengatakan, persetujuan atas revisi tersebut sudah melalui proses panjang.
Apa pun, kerja kilat di DPR itu tergolong ajaib. Terlebih, pada saat yang sama, surat Presiden Jokowi yang berisi 10 nama capim KPK dikirimkan ke DPR. Proses di Istana Kepresidenan pun tak kalah kilatnya.
Sehari sebelum revisi UU KPK diketok di DPR, Senin (4/9), Panitia Seleksi Capim KPK menyerahkan hasil kerja mereka pada Presiden. Presiden, sesuai Pasal 30 Ayat 1 UU KPK, punya waktu 14 hari untuk menyerahkan nama-nama capim KPK ke DPR. Ia bisa menjaring masukan dari berbagai pihak soal para kandidat pilihan Pansel.
Namun hanya selang sehari, surat bernomor R-37/Pres/09/2019 tentang Penyampaian Nama-nama Calon Pimpinan KPK Masa Jabatan 2019-2023 telah diterima DPR.
Dua agenda kilat ini—pemilihan capim KPK dan revisi UU KPK—ditengarai sebagai upaya mengebiri lembaga pemberantasan korupsi. Mantan Wakil Ketua KPK Busyro Muqoddas menuding DPR dan Presiden sama-sama menggunakan kewenangan mereka untuk melemahkan KPK.
“Ini merupakan upaya sistematis dari DPR dan Istana. Keduanya sengaja bersama-sama menggunakan kewenangan untuk membunuh KPK,” ujar Busyro, Sabtu (7/9).
Ia berpendapat, revisi UU KPK harus ditolak karena upaya pelemahan terhadap KPK merupakan pengkhianatan terhadap komitmen kebangsaan. Korupsi, tegasnya, sudah menjadi bahaya laten yang berdampak masif di negeri ini.
“Berbagai upaya melumpuhkan KPK yang tercermin dari draf revisi dari DPR pada hakekatnya adalah gerakan tidak bermoral yang mengancam perlindungan hukum kepada rakyat yang paling menderita akibat korupsi,” kata Busyro.
Presiden pun, menurut Busyro, bersikap tak tegas. Jokowi, ujarnya, sengaja tutup kuping atas masukan masyarakat untuk menolak beberapa capim KPK yang bermasalah. Padahal, Presiden berwenang untuk menyaring kembali para capim KPK tersebut.
Busyro Muqoddas Foto: Aprilandika Pratama/kumparan
Busyro memiliki pengalaman gagal terpilih dalam uji kelayakan dan kepatutan capim KPK yang digelar DPR pada 2015. Proses itu memang berjalan terbuka, tetapi penentu lolos atau tidaknya seorang calon justru terletak pada forum-forum internal.
Busyro misalnya pernah ditawari bertemu beberapa anggota DPR untuk memuluskan jalan. Namun ajakan itu ia tolak. “Saya tidak mau diajak ketemuan waktu itu.”
Pengalaman serupa dialami Direktur Pembinaan Jaringan Kerja Antar-Komisi dan Instansi (PJKAKI) KPK Sujanarko. Koko, nama sapaan Sujanarko, tak terbiasa dengan lobi-lobi dan memilih untuk diam. Nasibnya serupa Busyro: kandas dalam fit and proper test.
“Sebetulnya (uji kepatutan) itu hanya untuk formalitas saja. Sehebat apa pun orang di fit and proper test, kalau enggak dikehendaki ya enggak jadi (pimpinan KPK),” ucap Koko di Jakarta Timur, Jumat (6/9).
Seperti Busyro, Koko diajak kenalannya bertemu dengan anggota DPR untuk “sowan” dan lobi-lobi. Tapi ia tak mau.
“Saya dari internal KPK yang terkenal keras. Jadi dengan karakter seperti itu, nggak ada (anggota DPR) yang mendekat. Tapi ada yang pernah mau bawa saya (menemui anggota DPR). Saya sempat nggak bisa tidur itu. Tapi enggak saya ambil,” tutur Koko.
Busyro dan Koko sama-sama menganggap dua jurus kilat dari Presiden dan DPR saat ini—seleksi capim KPK dan revisi UU KPK—sama-sama ingin mematikan KPK. Keduanya akan berakibat fatal terhadap kinerja KPK ke depan.
Pansel menyerahkan nama capim KPK kepada Presiden Jokowi di Istana Negara. Foto: ANTARA/Wahyu Putro A.
Ketua Umum Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia Asfinawati menganggap Presiden Jokowi melakukan kesalahan besar dengan mengesampingkan pendapat yang selama ini beredar. Berbagai catatan merah capim KPK, ujarnya, seharusnya disikapi serius oleh Presiden dengan memanfaatkan baik-baik tenggat waktu penyerahan nama-nama capim ke DPR, bukan malah mempercepatnya.
Padahal, proses di DPR lebih mengandalkan lobi politik sehingga kompetensi dan integritas calon akan dikesampingkan. Asfinawati tak percaya DPR bakal memilih calon yang berpotensi memperkuat KPK.
“Kita sudah tahu itu proses politik yang sulit kita kendalikan. Karena itu harapannya (sebenarnya) ada di Presiden,” kata dia.
Kekhawatiran DPR bakal bersikap liar soal capim KPK setidaknya bukan tanpa alasan ketika melihat surat daftar nama capim KPK dari Presiden berbalas usulan revisi UU KPK.
Maka kini, bisa dibilang nasib KPK di ujung tanduk. Presiden yang semula jadi tumpuan harapan pun masih adem ayem saja soal revisi UU KPK.
Diamnya Presiden mau-tak mau membuat berbagai kalangan waswas. Dalam pertemuan dengan pemimpin redaksi media massa nasional pada Selasa (3/9) atau hari yang sama dengan persetujuan DPR atas revisi UU KPK, Presiden sempat berucap soal ketiadaan pengawasan atas KPK.
“Masak (di KPK) nggak ada SP3 (Surat Perintah Penghentian Penyidikan). Pengawasan terhadap KPK juga tidak ada. Siapa yang mengawasi?” ujar Jokowi.
Ketika disinggung mengenai keberadaan Wadah KPK yang sangat kuat menyuarakan penentangan terhadap seleksi Capim KPK, Jokowi pun menjawab, “KPK itu lembaga negara atau bukan? Memang boleh lembaga negara ada serikat pekerja? Kok bisa serikat pekerja menolak seleksi capim KPK?”
Selain itu, dalam Pidato Kenegaraan HUT ke-74 Kemerdekaan RI, Jokowi menekankan keberhasilan penegakan hukum tidak melulu dihitung dari kasus yang diselesaikan, tetapi juga potensi kerugian negara yang diselamatkan.
“Penegakan hukum juga harus diukur dari berapa potensi pelanggaran hukum dan pelanggaran HAM yang bisa dicegah, berapa potensi kerugian negara yang bisa diselamatkan. Ini perlu kita garis bawahi,” ucap Jokowi saat itu.
Sementara itu, Tenaga Ahli Utama Kantor Staf Presiden Ifdhal Kasim telah bertemu beberapa akademisi untuk menyerap aspirasi terkait penolakan revisi UU KPK. Ia menjamin Presiden akan mencermati hal tersebut sebelum mengeluarkan Surat Presiden (Surpres) untuk menyikapinya.
Salah satu akademisi yang bertemu Ifdhal itu adalah pakar hukum tata negara Bivitri Susanti. Bivitri meminta Jokowi untuk menghentikan revisi UU KPK. Jika tidak, ujarnya, KPK jelas akan mati.
Seribu cara menghabisi KPK memang tak pernah berhenti.
Sedang memuat...0 Konten
Sedang memuat...0 Konten
Sedang memuat...0 Konten
Sedang memuat...0 Konten
Sedang memuat...0 Konten