news-card-video
Jakarta
imsak
subuh
terbit
dzuhur
ashar
maghrib
isya

Kala Lara Menyambar Tanah Asmat

22 Februari 2018 11:46 WIB
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
ADVERTISEMENT
Bernardus menundukkan kepala dengan tangan mengepal di depan mulut. Punggungnya membungkuk dan berguncang-guncang. Bukan, ia bukan sedang berdoa atau menangis. Tapi terbatuk-batuk parah.
ADVERTISEMENT
Bocah laki-laki yang belum genap 8 tahun itu lantas menggeram dengan suara serak. “Saya sakit paru-paru basah,” ucap Bernardus sambil mengusap mulutnya, Rabu (7/2).
Batuk Bernardus tak berlangsung lama, dan dengan cepat digantikan oleh tawa yang menyembur dari mulutnya. Saat itu Bernardus tengah bercanda dengan seorang kawannya, Note, di atas beton dermaga pelabuhan Agats, ibu kota Kabupaten Asmat, Papua.
Seperti Bernardus, Note juga tertawa lepas. Dan serupa Bernardus, kesehatan Note tampak tak terlalu baik. Ingus terus-menerus keluar dari hidungnya. Meski, ingus itu jelas bukan masalah besar baginya.
“Tidak apa-apa, (saya) tidak sakit,” kata Note riang. Ia tak peduli sama sekali dengan lendir yang tak henti mengalir dari hidungnya, dan tetap bermain ketapel.
ADVERTISEMENT
Batu-batu kecil ia keluarkan dari saku untuk ditaruh di ketapel. Itulah senjatanya--peluru yang ia tembakkan ke bangkai ikan yang mengambang di sungai.
Empat batu ia tembakkan dan selalu mengenai bangkai ikan yang mengapung. Note sungguh lihai, dan aksinya meregangkan tapi ketapel menjadi tontonan orang-orang yang memenuhi dermaga.
Dermaga--yang diseraki botol plastik dan sampah-sampah rumah tangga lain--itu selalu ramai di sore hari. Ini semacam tempat favorit untuk menikmati waktu santai menjelang senja. Pandangan warga tertuju ke cakrawala, pada matahari yang meluncur turun lalu hilang terbenam di balik daratan yang menjorok ke Laut Arafura.
Pendar jingga mengiringi keriaan warga Asmat yang saling bercengkerama hangat. Barulah ketika langit mulai gelap, kerumunan itu bubar. Bernardus dan Note pun berlari pulang dengan kaki-kaki mereka yang kurus kering.
Sore hari di Agats. (Foto: Ardhana Pragota/kumparan)
Ini cerita tentang perjalananku, seorang wartawan kumparan, ke Asmat bersama Tim Aksi Cepat Tanggap (ACT), organisasi nirlaba yang bergerak di kerja kemanusiaan. Sejak mendarat di Bandara Ewer, Asmat, anak-anak hampir selalu menyertai. Mereka begitu antusias menyambut kedatangan tamu dari luar Papua.
ADVERTISEMENT
Tawa lugu kerap tersembur dari mulut anak-anak itu, disusul sapaan ramah dan permintaan untuk berfoto bersama. Seorang bocah laki-laki yang telanjang bulat, dengan sikat gigi di tangan, bahkan terus mengikuti sampai dermaga ketika kami hendak naik kapal cepat menuju Agats.
Anak-anak pula--dengan wajah girang mereka--yang menyambut kami saat kapal merapat ke dermaga Agats. Mereka riuh berenang tanpa busana di sekitar kapal. Seorang bocah melompat menceburkan diri di dekat kapal, membuat air bercipratan ke wajah penumpang.
Saat nakhoda mendekati anak-anak itu sembari mengumpat menggertak dalam bahasa lokal, barulah para bocah lari ke atas dermaga sambil tertawa-tawa.
Hei, kami hanya bermain! Begitu kira-kira kata mereka lewat isyarat tubuh.
Setiba di dermaga, kami berjalan ke arah anak-anak itu berlarian. Akhirnya... inilah kota Agats.
ADVERTISEMENT
Di tepi dermaga, sebuah jalan panjang ramai oleh hilir mudik pejalan kaki dan pemotor listrik.
Bandara Ewer di Agats, Kabupaten Asmat. (Foto: Ardhana Pragota/kumparan)
Jalan utama Agats adalah jembatan yang dibangun dengan beton komposit, sedangkan jalan-jalan kecil dibuat dari kayu, dan rumah-rumah dibuat dari kayu dengan model panggung. Semua serba “melayang” alias tak melekat di tanah karena kondisi geografis daerah itu yang didominasi rawa.
Aktivitas ekonomi warga terlihat di sana sini. Pendatang membuka toko-toko kelontong yang menjual sembako, pakaian, atau perkakas rumah tangga, sedangkan warga lokal berjualan sayur-mayur dan hasil laut di emperan toko para pendatang itu.
Jumlah pendatang di Agats cukup banyak. Anak-anak pendatang berbaur dengan bocah-bocah lokal. Meski karakter fisik dan logat mereka berbeda, perbedaan identitas itu luntur oleh keasyikan mereka bermain bola sepak dan kejar-kejaran.
ADVERTISEMENT
Tapi tunggu, jangan tertipu oleh kegembiraan itu. Anak-anak Asmat punya fisik nyaris serupa: kaki kurus kering dengan perut buncit. Kaki-kaki kurus itu seperti tak cukup kuat untuk menyangga tubuh dan perut buncit di atasnya, membuat jalan para bocah itu terlihat agak gontai. Belum lagi ingus yang terus keluar dari hidung mereka.
Pun dengan tubuh rapuh seperti itu, keceriaan mereka seakan menandakan bahwa mereka cukup beruntung. Betapa tidak, sebab pada 15 Januari sampai 5 Februari, Kabupaten Asmat dilanda Kejadian Luar Biasa (KLB) campak dan gizi buruk. Sebanyak 651 anak Asmat terkena campak, dan 228 lainnya menderita gizi buruk. Sepanjang periode KLB itu, 72 anak meninggal.
Distrik Siret, Kabupaten Asmat (Foto: Ardhana Pragota/kumparan)
Asmat bukan hanya Agats. Sebab kota Agats adalah wajah modern Asmat. Tapi Asmat jauh lebih luas dari itu. Meski kabupaten, ia berukuran 31.984 kilometer persegi (bandingkan dengan DKI Jakarta yang hanya 661 km). Asmat memiliki 23 distrik dan 220 kampung yang tersebar di wilayahnya, dengan masyarakat lokal yang hidup secara tradisional di pedalaman hutan.
ADVERTISEMENT
Nah, di distrik-distrik pedalaman itulah kasus KLB campak dan gizi buruk lebih banyak terjadi. Korban tewas berada di tiga distrik, yakni Pulau Tiga, Fayit, dan Aswi. Ketiga distrik itu berjarak tiga jam lebih dari Agats, dan tak memiliki rumah sakit, meski dilengkapi pusat kesehatan masyarakat (puskesmas).
Rumah Sakit Umum Daerah di seantero Asmat hanya terdapat di Agats, dan RSUD itu berfungsi sebagai pusat fasilitas kesehatan dari 16 puskesmas yang tersebar di Asmat. Agats sendiri bebas dari kasus campak.
Distrik Siret adalah tujuan kami setelah Agats. Distrik yang terdiri dari 9 kampung itu berada jauh di pedalaman Asmat, dan kabarnya belum terjangkau listrik dan jaringan seluler. Di sana, 101 anak terkena campak dan 6 anak menderita gizi buruk.
ADVERTISEMENT
Gizi buruk Asmat (Foto: Antara/M Agung Rajasa)
Pada hari keberangkatan ke Siret, kami bangun sebelum fajar menyingsing, lalu sarapan nasi dan mi instan di hotel. Kata pemilik hotel (yang lebih tepat disebut pondok), orang Agats biasa menyantap makanan instan--yang tak bagus buat kesehatan--seperti mi dan kornet setiap hari.
Tapi kenapa makanan instan yang tak alami justru menjadi primadona di Agats--yang sebetulnya penduduknya hidup alami? Salah satunya karena harga ikan dan daging mahal di sana, sedangkan makanan dan minuman instan menyerbu pasaran lokal. Amat mudah ditemui di berbagai toko, walau dengan harga dua kali lipat lebih mahal dari Jakarta sebab ongkos distribusi panjang dari pusat ke pelosok.
ADVERTISEMENT
Realitas di Agats, Asmat, memang pahit. Sebegitu langkanyakah ikan dan daging--yang semestinya bisa tinggal diambil dari laut dan diburu di hutan oleh masyarakat tradisional setempat--sehingga harganya jadi mahal? Akan kami kisahkan di artikel selanjutnya.
Sekarang kembali lagi ke sarapan di hotel--yang tak cocok-cocok amat disebut hotel meski secara harfiah benar sebagai “tempat menginap orang yang sedang dalam perjalanan, yang dikelola secara komersial”.
Cocok atau tak cocok bangunan itu disebut hotel, yang jelas jangan bayangkan hotel ini serupa dengan yang biasa ditemui di kota-kota besar Pulau Jawa. Lupakan spring bed nyaman, yang ada ialah matras busa pada tiap kamar. Selain itu, kamar-kamar pun tak disekat oleh dinding tembok, melainkan kayu tripleks.
ADVERTISEMENT
Yang juga terlihat mencolok, hotel ini punya belasan tandon air untuk menampung hujan. Agats memang mengandalkan tadahan hujan sebagai sumber air untuk mandi dan kakus.
Distribusi bantuan ACT di Kabupaten Asmat. (Foto: Dok. ACT)
Waktunya berangkat ke Distrik Siret.
Dermaga dipenuhi tentara. Para personel TNI itu mengangkut logistik bantuan untuk dimasukkan ke kapal cepat. Kebetulan, jadwal keberangkatan kami ke Siret berbarengan dengan pengiriman Tim Satuan Tugas Kesehatan TNI ke distrik-distrik pedalaman yang tersambar KLB campak.
Tak heran pelabuhan dermaga padat, sebab kapal jadi transportasi andalan di Asmat yang didominasi sungai dan rawa. Ada perahu tradisional tanpa mesin, kapal cepat bermuatan lima orang, kapal fiber panjang yang menampung belasan orang, hingga kapal penumpang bermuatan 20 orang milik Dinas Perhubungan Kabupaten Asmat yang kami gunakan. Kapal ini tergolong mewah karena jadi satu-satunya kapal yang memiliki atap.
ADVERTISEMENT
Perjalanan menuju berbagai distrik di Asmat punya waktu tempuh bervariasi, tergantung kondisi sungai dan jarak. Distrik terdekat dari Agats seperti Sawaerma berjarak satu jam, sedangkan yang terjauh, Suru-suru, harus ditempuh selama 12 jam.
Gizi buruk Asmat (Foto: Antara/M Agung Rajasa)
Untuk menuju Distrik Siret dengan kapal bertenaga 25 knot yang kami tumpangi, butuh waktu sekitar 3,5 jam jika perairan cukup bersahabat. Sepanjang perjalanan, kami dikepung rawa bakau nan asri. Sungguh-sungguh alam Papua yang elok.
Sesekali kami bertemu dan saling sapa dengan warga yang sedang mencari ikan di sungai menggunakan perahu tradisional. Namun, setelah hampir 3,5 jam, rasa cemas mulai merambat. Sebab tak tampak satu pun perkampungan di kanan kiri sungai. Nakhoda kapal kami pun menunjukkan raut wajah bingung.
ADVERTISEMENT
Sang nakhoda lantas menengok keluar, macam mencari petunjuk arah jalan--yang sudah pasti tak ada. Ia akhirnya berkata tak tahu jalan. Di tengah kebingungan itu, saya mendadak teringat pada tim gabungan yang dikirim menuju distrik-distrik lebih jauh dengan kapal tak beratap. Padahal siang begitu terik. Aduh, mereka bakal berjam-jam “terpanggang” di perahu. Semoga semua sehat selamat.
Tak berapa lama, syukurlah, sebuah perkampungan tampak di kejauhan. Dan akhirnya, tampaklah dermaga kayu itu, dengan warga setempat duduk berjejer melambaikan tangan di atasnya. Nakhoda segera bertanya-tanya kepada mereka.
“Iya betul, ini Kampung Yausakor Distrik Siret,” teriak salah satu di antara mereka, menjawab pertanyaan nakhoda kami.
Di kampung inilah terdapat Puskesmas Distrik Siret yang baru berdiri April 2017. Puskesmas itu terdiri dari satu ruangan Instalasi Gawat Darurat (IGD) dan empat kamar perawatan. Fasilitasnya cukup lengkap. Tersedia matras standar rumah sakit sampai inkubator bayi.
Puskesmas di Distrik Siret, Asmat (Foto: Ardhana Pragota/kumparan)
Tenaga kesehatan di puskesmas ini, bidan maupun perawat, berjumlah 28 orang. Tapi, tak ada dokter sama sekali. Satu lagi kekurangan puskesmas ini: pasokan listrik yang minim.
ADVERTISEMENT
Padahal, meski memiliki fasilitas cukup, puskesmas tak bisa berfungsi optimal tanpa kehadiran listrik. Dan listrik hanya menyala pukul 18.00 sore hingga 24.00 tengah malam. Itu pun sumber listrik berasal dari genset, bukan PLN.
Bila jangkauan PLN saja tak sampai Siret, apalagi sinyal telepon seluler. Bukan berarti tak ada sama sekali, tapi mereka yang hendak menelepon harus lebih dulu memanjat menara kayu di pinggir sungai. Menara itu tak jauh dari pelabuhan, tapi jauh dari pusat keramaian.
Sekitar 500 meter dari puskesmas, berdiri permukiman penduduk yang terdiri dari belasan rumah panggung. Penduduk setempat, ibu-ibu beserta anak-anak, berkumpul di Balai Serbaguna untuk mengikuti penyuluhan kesehatan sore itu.
ADVERTISEMENT
Distrik Siret kedatangan dua dokter TNI, satu dokter IDI, dan tiga relawan yang hendak melaksanakan program pemulihan kesehatan.
Di tengah antrean ibu-ibu di Balai Serbaguna, Barbara Yasi menggendong bocah laki-laki yang kondisinya mengenaskan. Kepala bocah itu mendongak hingga menyentuh punggung. Matanya melotot dan mulutnya terbuka libur.
Ia bernama Vitro, dan usianya baru dua tahun. “Sakit dari lahir, lumpuh layu,” ucap Barbara.
Lumpuh kayu membuat tubuh Vitro tak mampu menahan virus malaria. Penyakit itu pun membuatnya sering mengalami panas tinggi di malam hari, dan sesekali sampai kejang-kejang. Sungguh kasihan.
Untuk mengurangi rasa sakit anaknya, Barbara sempat mengandalkan obat warisan leluhur, yakni daun sirih. Ketika badan Vitro panas, daun sirih dioleskan ke dahi putranya. Sayang, cara itu tak mempan. Vitro hingga kini masih terkulai tak berdaya.
Sepenggal Episode Muram di Asmat (Foto: M Agung Rajasa/ANTARA)
Maka setelah putus asa, Barbara dan suaminya membawa Vitro ke puskesmas. Mereka sadar Vitro--yang terserang lumpuh kayu dan malaria sekaligus--harus ditangani dokter. Masalahnya, dokter hanya bisa diakses di RSUD Agats, sedangkan mereka di Siret.
ADVERTISEMENT
“Belum pernah diperiksakan ke Agats. Jauh, butuh biaya kan. Jadi di puskesmas sini sudah,” keluh Barbara.
Untuk meredakan demam kambuhan Vitro, Barbara memberinya ibuprofen dan parasetamol. Ia tak tahu soal ada atau tidak efek jangka panjang dari obat-obatan itu. Yang penting, setelah meminumnya Vitro tak lagi demam dan kejang-kejang.
Omong-omong soal malaria, penyakit yang disebabkan oleh nyamuk anofeles betina itu sudah biasa menyerang anak-anak setempat. “Di ujung sana, ada dua anak lagi kena malaria,” kata Barbara.
Malaria memang soal serius di Papua. Kami saja, pendatang dari luar, wajib minum obat antibiotik doksisiklin guna mengkal malaria begitu mendarat di Papua. Provinsi ini endemik malaria. Data Kementerian Kesehatan menunjukkan, Papua memiliki prevalensi malaria tertinggi di Indonesia.
Krisis kesehatan di Papua (Foto: Chandra Dyah Ayuningtyas/kumparan)
Kondisi kesehatan warga Siret yang rentan, membuat puskesmas kewalahan. Fasilitasnya yang semula terlihat memadai ternyata tak mampu memberikan layanan kesehatan maksimal. Kondisi di Siret terlampau kompleks. Anak-anak didera campak, malaria, hingga kurang gizi.
ADVERTISEMENT
“Kami rawat di sini dengan alat ala kadarnya yang kami punya. Untung ada tim (dari luar Siret) datang,” kata Kepala Puskesmas Yausakor, Antonius.
Bukan cuma Distrik Siret yang kelabakan, tapi juga distrik-distrik lain. Dari total 23 distrik di Asmat, hanya 16 distrik yang memiliki puskesmas. Dan dari 16 puskesmas itu, hanya lima yang mempunyai dokter. Tak heran RSUD Agats--yang jauh dari jangkauan distrik-distrik pelosok--jadi tulang punggung layanan kesehatan di Asmat.
Tapi RSUD Agats pun bukannya serbalengkap. Ini rumah sakit tipe D yang hanya memiliki dokter umum. Terdapat 12 dokter umum aktif di RS tersebut, namun belum ada dokter spesialis yang berpraktik tetap di sana.
Selama KLB campak, RSUD Agats diserbu pasien hingga tak mampu menampung semuanya. Oleh sebab itu sebagian pasien anak dirawat di Gereja Betlehem yang berlokasi tak jauh dari RSUD.
ADVERTISEMENT
Gizi buruk di Asmat. (Foto: Dok. ACT)
Hingga kini, RSUD Agats tetap ramai meski KLB telah lewat. Saat kami menyambanginya, di bagian depan RS tampak seorang bapak dengan tangan kiri menggendong bocah dan tangan kanan menggandeng anak lelaki yang berjalan tertatih sambil memegang map berisi lembaran hasil rontgen.
Di pintu masuk RS, seorang ibu menggendong anaknya yang dipasangi kabel infus. Di lorong RS, bocah berperut buncit berlari-lari dengan hanya berkolor kuning. Ia berlari semboyongan karena kakinya begitu kurus, sedangkan perutnya buncit. Bukan cuma kakinya yang kurus, tapi juga lengannya.
Anak-anak sakit ada di mana-mana. Dari lorong sampai aula rumah sakit. Lara mengambang di udara.
“Saya ada enam anak, tiga sakit,” kata Yohana yang membawa ketiga anaknya ke RSUD Agats untuk berobat. Mereka berasal dari Kampung Suru yang dua jam perjalanan naik kapal dari Agats.
ADVERTISEMENT
Ya, berobat di Asmat memang tak sesederhana di Jawa. Ini sebuah dunia yang berbeda. Pasien tak hanya terkendala jarak, tapi juga dana. Di distrik terdekat saja, Sawaerma, mereka harus menghabiskan Rp 480 ribu sekali jalan ke Agats untuk membiayai minyak bahan bakar kapal. Itu belum untuk biaya pulang.
Ketiga anak Yohana yang sakit itu mengidap gizi buruk akut, dan dirawat sejak awal Januari. Mereka sempat pulang ke Suru, namun kondisi si sulung yang berusia empat tahun, Prisqila, memburuk. Ia tak bisa mencerna makanan. Mereka pun kembali ke Agats awal Februari.
Anak Asmat terkena gizi buruk (Foto: Ardhana Pragota/kumparan)
“Pulang papa, pulang,” rengek seorang anak lain yang menangis di pangkuan ayahnya. Bocah bernama Maria itu berbaring terkulai dengan jarum infus tertancap di lengan. Ia mengidap gizi buruk sekaligus diserang malaria.
ADVERTISEMENT
Berbagai macam penyakit kami lihat dalam dua hari saja. Campak, gizi buruk, malaria, paru-paru basah, hingga lumpuh kayu.
Bagaimana ini semua bisa terjadi? Sampai kapan lara harus bertubi menyambar tanah Asmat? Ikuti laporan kami selanjutnya.
Gizi buruk Asmat (Foto: Antara/M Agung Rajasa)
------------------------
Ikuti isu mendalam lain dengan mengikuti topik Ekspose di kumparan.