Karya Pram di Peta Sastra Dunia

6 Februari 2017 14:11 WIB
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
ADVERTISEMENT
Pramoedya Ananta Toer (Foto: Faisal Nu'man/kumparan)
Indonesia punya Andrea Hirata dan Eka Kurniawan. Indonesia juga punya deretan penulis wahid seperti Ayu Utami, Ahmad Tohari, hingga Y.B. Mangunwijaya.
ADVERTISEMENT
Tapi Pram sudah jadi milik dunia dari puluhan tahun silam.
Namanya kita dengar di sudut-sudut peradaban Indonesia. Sepak terjangnya diakui oleh kalangan penikmat sastra dunia.
Penghargaan seperti Ramon Magsaysay Award, Pablo Neruda Award, juga PEN/Barbara Goldsmith Freedom to Write Award pernah diraihnya. Pram kurang lebih memperoleh 12 penghargaan internasional.
Karyanya bahkan telah diterjemahkan ke dalam lebih dari 41 bahasa.
Dan itu tidak diraih dengan mudah.
Diasingkan, ditahan, dikucilkan, semua pernah dirasakan oleh laki-laki kelahiran Blora tersebut.
Sederhana: hidupnya yang berat membuat karyanya makin sarat.
Pramoedya Ananta Toer semasa muda. (Foto: Dok. Kementerian Pendidikan)
Setidaknya, Pramoedya Ananta Toer pernah menghasilkan 38 karya tulisan. Dari semua karya tersebut, kebanyakan adalah karya fiksi berupa novel dan antologi sastra, dan ada juga beberapa berupa karya nonfiksi seperti memoar dan kajian sejarah.
ADVERTISEMENT
Mayoritas karya Pram mengambil isu feodalisme, kesenjangan sosial, pertentangan kelas, dan isu-isu sejarah.
Pria yang dulu terlibat dalam kelompok Lembaga Kebudayaan Rakyat (Lekra) itu digadang-gadang menjadi peraih Nobel Sastra pertama dari Indonesia. Namun penghargaan prestisius dunia literatur tersebut tak kunjung mampir.
Tak masalah. Di pikiran masyarakat Indonesia, nama dan karyanya selalu saja terlampir.
Bermacam bukunya menjadi batas mutu karya sastra Indonesia yang lahir setelahnya. kumparan mencoba mengulas beberapa di antaranya:
Gadis Pantai
Pram: Gadis Pantai (Foto: adichal.files.wordpress.com)
Bercerita soal gadis yang tumbuh di lingkungan pesisir Rembang, Jawa Tengah. Tokoh yang hanya disebutnya dengan panggilan ‘Gadis Pantai’ tersebut harus menghadapi liku kehidupan feodal yang memaksa dia mengalami perjodohan dalam proses pernikahannya.
ADVERTISEMENT
Karya ini sebenarnya memiliki tiga rentetan buku, membentuk satu benang karya trilogi yang utuh. Namun, jilid kedua dan ketiga disebut-sebut dirampas dan dibakar pihak berwenang ketika Pram berada dalam konflik melawan Rezim Soeharto, dus diberi judul the unfinished story.
Pram: Tetralogi Pulau Buru (Foto: abighifari.files.wordpress.com)
Tetralogi Pulau Buru
Tak ayal menjadi karya paling masyhur Pram. Empat rangkaian novel yang terdiri dari Bumi Manusia, Anak Semua Bangsa, Jejak Langkah, dan Rumah Kaca tersebut masih memiliki penggemar keras hingga saat ini.
Empat buku ini dibuat saat Pram berada dalam pengasingan di Pulau Buru tahun 1973 hingga 1980, membuat rangkaian buku itu terkenal dengan sebutan Tetralogi Pulau Buru.
ADVERTISEMENT
Syahdan, Pram merangkai ceritanya dalam bentuk lisan dan diceritakan berulang-ulang kepada temannya sesama tahanan. Hal itu ia lakukan sebagai upayanya mencoba menyimpan cerita dalam ingatan, hingga akhirnya ia mendapatkan mesin tik Royal 440 beberapa tahun setelah dibuang ke Pulau Buru.
Tetralogi tersebut bercerita tentang kehidupan tokoh legendaris pers Indonesia, Tirto Adhi Suryo, yang memiliki cerita kehidupan berliku dalam garis cerita media massa di masa perjuangan kemerdekaan.
Arok Dedes
Pram: Arok Dedes (Foto: pojokbukubuku.blogspot.co.id)
Pram, yang juga seorang sejarawan, tidak berhenti untuk mengeskplorasi masa-masa sejarah bangsa yang masih minim kajian. Lewat karya Arok Dedes, Pram coba memunculkan pembacaan yang baru akan episode sejarah Kerajaan Singhasari.
ADVERTISEMENT
Pram menunjukkan bahwa folklore Singhasari tidak hanya berputar di sekitar keris, Ken Arok, dan Mpu Gandring. Ia juga dengan sukses menunjukkan dinamika perimbangan kekuatan yang terjadi di antara Kerajaan Kediri, Tunggul Ametung, percobaan kudeta, dan Ken Arok yang menjadi mata badai dalam kumparan guncangan politik tersebut.
Bukan Pasar Malam
Pram: Bukan Pasar Malam (Foto: Wikimedia Commons)
Sang ayah sakit dan anak didikan revolusi pulang kampung. Dimulai dari situ, Pram mengisahkan garangnya jiwa yang dibentuk peperangan dan mempertemukan tokoh si "Aku" dengan patah lemah putaran roda nasib.
Tak mendapat tempat yang diharapkan, menemui ayahnya yang TBC, keluarganya yang setia dengan kemiskinan, menabrakkan pahlawan revolusi itu dengan pahit kenyataan: ini bukan pasar malam.
ADVERTISEMENT
Novel ini terbit pertama kali pada tahun 1951 oleh Balai Pustaka, namun menjadi terlarang pada 1965, bersamaan dengan pelarangan Partai Komunis Indonesia dan Lekra yang menjadi underbouw-nya.
Arus Balik
Pram: Arus Balik (Foto: cyberangjalan.blogspot.co.id)
Terbit pertama tahun 1995, Arus Balik merupakan rangkaian cerita dari Arok Dedes, Mangir, dan satu karya lainnya yang naskahnya tak pernah ditemukan usai prahara Pembantaian Komunis usai G30S. Seperti judulnya, isi novel itu menarik balik arus sejarah dengan mengambil kisah keruntuhan Kerajaan Majapahit tahun 1478 masehi.
Lewat karakter bernama Galeng, Pram menghadirkan peta politik kerajaan di Nusantara usai Majapahit bubar.
ADVERTISEMENT
Dengan alur cerita yang memanfaatkan area abu-abu catatan sejarah Nusantara itu, Pram memunculkan politik berdarah yang memang bukan barang baru dari catatan politik manapun.
Simak juga