Kasus Anak Dipaksa Ngemis di Aceh, Bukti Perlindungan Belum Maksimal

23 September 2019 12:15 WIB
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Anggota Polres Lhokseumawe membawa pelaku kekerasan terhadap anak kandung sendiri di Lhokseumawe, Aceh. Foto: Dok. Polres Lhokseumawe
zoom-in-whitePerbesar
Anggota Polres Lhokseumawe membawa pelaku kekerasan terhadap anak kandung sendiri di Lhokseumawe, Aceh. Foto: Dok. Polres Lhokseumawe
ADVERTISEMENT
Seorang anak berinisial MS (9) di Lhokseumawe, Aceh, dipaksa orang tuanya mengemis. Setiap hari ia ditargetkan harus mampu membawa pulang uang Rp 100 ribu, jika tidak akan disiksa dan diikat menggunakan rantai oleh kedua orang tuanya, UG dan MI.
ADVERTISEMENT
Kasus kekerasan dan eksploitasi anak di bawah umur itu terbongkar setelah warga prihatin melihat kekejaman kedua orang tua MS. Kasus ini menjadi lampu merah bagi perlindungan anak di Aceh.
Ilustrasi uang hasil mengemis. Foto: Iqbal Firdaus/kumparan
Komisi Pengawas dan Perlindungan Anak Aceh (KPPAA) menyadari upaya kesejahteraan dan perlindungan yang selama ini dijalankan belum maksimal.
“Memberi peringatan keras kepada kita, upaya kesejahteraan dan perlindungan anak yang selama ini kita jalankan tidak berarti apa-apa bagi MS. Kita gagal memberi jaminan hidup, tumbuh kembang, perlindungan dan partisipasi baginya,” kata komisioner KPPAA, Fairus, saat dikonfirmasi kumparan Senin (23/9).
"MS seharusnya sudah cukup menjadi pelajaran berharga bagi kita agar ke depan upaya pemenuhan hak dan perlindungan anak menjadi arus utama," imbuhnya.
Ilustrasi mengemis. Foto: Dicky Adam Sidiq/kumparan
Menurut Fairus, eksploitasi anak adalah satu pekerjaan rumah yang harus diselesaikan. Fairus mengatakan, selama ini pemprov dan pemkab/pemkot hingga desa-desa sudah melakukan upaya pemenuhan hak dan sistem perlindungan anak (SPA), namun ternyata upaya-upaya itu belum berjalan baik.
ADVERTISEMENT
Menurut catatan KPPAA, kejadian yang menimpa MS adalah kasus yang rumit. Ada banyak persoalan yang melatarbelakangi kasus ini.
Yakni, persoalan kegagalan pengasuhan utama, kekerasan fisik dan mental, eksploitasi, akses pendidikan buruk, kemiskinan, mafia sabu, pemerintah yang lalai, masyarakat yang abai, sarana rehabilitasi yang minim, pengasuhan alternatif yang tidak memadai, dan identitas hukum yang tidak jelas.
“Sudah saatnya upaya-upaya tersebut harus dilakukan secara sistemik dan integratif. Pemerintah RI juga sudah sejak lama mengembangkan program KLA atau Kabupaten/Kota Layak Anak. Namun di Aceh program itu berjalan lambat pemerintah lalai dan abai,” kata Fairus.
“Saat ini sudah ada empat kabupaten/kota yang serius, sekarang ini juga pemerintah RI sedang mengembangkan Program Kesejahteraan Sosial Anak Integratif yang berbasis di kabupaten/kota," imbuhnya.
Anggota Polres Lhokseumawe menunjukkan barang bukti yang digunakan pelaku kekerasan terhadap anak kandung sendiri di Lhokseumawe, Aceh. Foto: Dok. Polres Lhokseumawe
Fairus mengatakan, pemerintah Aceh seharusnya tinggal mengadopsi dan menerapkannya secara berkelanjutan upaya pemenuhan hak dan perlindungan anak yang telah dibuat pemerintah pusat. Namun menurutnya, hal itu tak dilakukan oleh sejumlah pemkab/pemkot di Aceh.
ADVERTISEMENT
"Untuk hal ini pemerintah di Aceh seperti tidak peduli, terbukti hanya tiga kabupaten/kota yang mau menjalankannya,” terang Fairus.
Demo antikekerasan pada anak (KDRT) di Bundaran HI Foto: Fanny Kusumawardhani/kumparan
Karena itu, menurut Fairus, jika program pemenuhan hak dan perlindungan anak dilakukan berbasis sistem dan integratif, kasus-kasus seperti yang dialami MS dapat ditekan. Menurutnya, pemerintah Aceh hanya perlu memperkuat program dan pendampingan bagi pemerintah pada tingkat kabupaten dan kota.
Kasus MS dipaksa mengemis oleh kedua orang tuanya telah terjadi sejak 6 tahun. Nahasnya, orang tua MS menggunakan uang hasil mengemis MS untuk membeli sabu dan bermain judi.