Kasus Ayah Perkosa Anak Kandung dan Pertanyaan di Mana Tuhan

15 Maret 2019 7:09 WIB
comment
5
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Ilustrasi Pencabulan. Foto: Nunki Lasmaria Pangaribuan/kumparan
zoom-in-whitePerbesar
Ilustrasi Pencabulan. Foto: Nunki Lasmaria Pangaribuan/kumparan
ADVERTISEMENT
Kasus dugaan pencabulan yang dilakoni caleg PKS terhadap anak kandungnya menggemparkan warga Kabupaten Pasaman Barat, Sumatera Barat. Caleg yang yang diketahui berinisial AH itu diduga mencabuli anaknya selama 7 tahun.
ADVERTISEMENT
Berdasarkan laporan yang diterima Polres Pasaman Barat, korban diduga mendapat perlakuan keji dari ayah kandungnya itu sejak berusia sepuluh tahun. Saat itu, korban masih duduk di kelas 3 SD.
Korban yang kini berusia 17 tahun pun merasa lelah, ia mengadu ke neneknya. Kasus ini pun dilaporkan ke kepolisian sejak 7 Maret 2019. AH sendiri kini sudah ditetapkan sebagai tersangka dan masuk dalam Daftar Pencarian Orang (DPO).
Selama ini, warga setempat memang tak pernah menyangka bahwa AH tega melakukan hal keji seperti itu. Sehari-hari, AH dikenal sebagai orang terpandang di tempatnya. Dia merupakan imam masjid, guru ngaji, sekaligus sebagai tokoh masyarakat.
Maka, tidak mengherankan jika banyak warganet yang mengucapkan sumpah serapah terhadap AH. Di Twitter orang menumpahkan pertanyannya, bagaimana mungkin seseorang yang mengerti agama, serta dari partai berbasis agama tega melakukan hal jahanam seperti itu?
ADVERTISEMENT
Selain AH, masih banyak pelaku kejahatan lain yang bertindak di luar kebiasaan manusia. Lalu, kenapa hal seperti itu bisa terjadi dan dari mana asal muasal kejahatan di dunia? Pertanyaan ini sudah muncul ribuan tahun lalu.
kumparan lantas menelusuri problem kejahatan dan adanya Tuhan melalui filsafat.
Kejahatan di Mata Para Filsuf
Di masa Yunani kuno, seorang filsuf bernama Epikurus menghubungkan munculnya kejahatan dengan keberadaan Tuhan. Menurut dia, Tuhan bukanlah zat yang maha baik atau maha perkasa.
Argumentasi itu pun dia rumuskan ke dalam tiga pilihan sulit yang kemudian dikenal sebagai Trilema Epikurus sebagi berikut.
Jika Tuhan tidak dapat mencegah kejahatan, maka Dia tidak sepenuhnya berkuasa
Jika Tuhan tidak mau mencegah kejahatan, maka Dia tidak sepenuhnya baik.
ADVERTISEMENT
Jika Tuhan mau dan mampu mencegah kejahatan, mengapa kejahatan ada?
Ilustrasi suasana Yunani. Foto: Dok. NYPL Digital Collections
Dalam skema pilihan yang disodorkan Epikurus, Tuhan digambarkan sebagai zat yang cacat dan lemah. Ini terjadi karena dalam kondisi apapun, Tuhan gagal mengatasi kejahatan yang ada di dunia.
“Jika Tuhan tidak mampu mencegah kejahatan dan tidak mau mencegahnya, mengapa kita memanggilnya Tuhan,” kata Epikurus menyimpulkan.
Sejarah teologi kemudian tak lepas dari problem filsafat yang diajukkan Epikurus tersebut. Otoritas Gereja Eropa, pada abad ke-5 sampai ke-15 masehi, bahkan menyibukan diri mendalami filsafat demi menyelesaikan persoalan itu.
Santo Agustinus. Foto: Dok. Wikimedia Commons
Pada masa itu, gereja paham betul bahwa ada ketidakcukupan penjelasan bila merujuk iman sebagai jawaban atas problem Tuhan dan kejahatan. Itu menyebabkan sederet pemikir abad pertengahan, seperti St. Agustinus, menawarkan prinsip dualisme. Yakni sebagai ‘pembenaran’ atas Bibel yang menyebut Tuhan tak bertanggung jawab atas adanya kejahatan yang terjadi di dunia ini.
ADVERTISEMENT
Dalam sejarahnya, proyek yang dikerjakan Agustinus itu lalu diteruskan kembali di era kontemporer oleh filsuf Inggris Afred North Whitehead. Melalui Whitehead, problem klasik ini diselesaikan dengan pendekatan filosofis-matematis.
Monisme dan Dualisme
Argumentasi lain dari tinjauan filsafat, asal-usul kejahatan biasa diselesaikan melalui dua model jawaban. Yakni monisme dan dualisme.
Monisme berpandangan, Tuhan merupakan zat yang menciptakan kejahatan. Kejahatan itu pun harus tercipta demi perkembangan umat manusia.
Sebab, kebaikan hanya dapat dipahami melalui adanya kejahatan. Kejahatan dipandang sebagai Conditio Sine Qua Non (kondisi yang tak terelakan) dari kebaikan.
Ilustrasi Kejahatan. Foto: Shutter Stock
Sementara itu, dualisme berpandangan bahwa Tuhan tidaklah menciptakan kejahatan. Sebaliknya, kejahatan itu tercipta lantaran Tuhan memberikan kehendak bebas untuk manusia. Posisi filosofis ini yang diambil oleh filsuf semacam Agustinus.
ADVERTISEMENT
Whitehead sendiri dalam paparan filosofisnya lebih dekat pada posisi yang pertama.. Dia merujuk asal usul kejahatan dari Tuhan yang berwujud dipolar. Ini jelas berbeda dengan pemahaman Tuhan yang monopolar sebagaimana yang dipahami selama ini.
Secara sederhana, dipolar berarti dua kutub. Posisi filosofis ini memandang bahwa kesempurnaan justru lahir dari dua hal yang bertentangan. Apabila Tuhan mentakdirkan dunia ini berjalan pada hal-hal yang baik, maka manusia tak akan pernah memahami kebaikan Tuhan. Sebagaimana konsep Tuhan yang maha adil hanya dapat dipahami saat ada manusia yang dihukum karena kejahatan yang dilakukannya.
Seluruh bangunan pemikiran tentang Tuhan yang disodorkan Whitehead lantas berupa filsafat proses. Hal ini karena, Whitehead memandang Tuhan secara dipolar pula. Dia membedakan Tuhan sebagai yang berwujud fisis, serta Tuhan yang berwujud konseptual (mental). Dalam istilah lainnya, Tuhan ada sebagai yang konsekuen dan primordial.
Alfred North Whitehead. Foto: Nunki Lasmaria Pangaribuan/kumparan
Sementara itu, kejahatan tercipta dari Tuhan yang berwujud fisis. Ini karena, dalam wujud yang seperti itu, Tuhan berbaur dengan manusia dalam pengalaman relijius. Suatu pengalaman yang bisa dinafikan bahkan direnggut oleh manusia yang mengalaminya.
ADVERTISEMENT
Maka, jika itu terjadi, Tuhan tak lagi bisa berbuat banyak. Tuhan membiarkan manusia memilih kesalahan untuk kemudian belajar atas kesalahan yang terjadi di masa lalu.
Meski begitu, Tuhan tetaplah memiliki kekuasaan penuh. Itu mewujud pada Tuhan sebagai sesuatu yang konseptual. Dalam wujud ini, Tuhan yang maha baik, maha perkasa, maha pemurah, lagi maha penyayang menemukan maknanya. Tuhan adalah Dia yang menciptakan alam semesta dan menuntun manusia ke arah kebaikan.
Salah seorang murid Whitehaed, Charles Hartshorne, berkomentar bahwa posisi dipolar yang diambil Whitehead itu, sekilas terlihat kontradiktif. Meski sebetulnya justru saling melengkapi. Bahwa Whitehad menjadikan Tuhan terbatas sekaligus tidak terbatas, yang mungkin sekaligus yang tidak mungkin.
Tentu saja, Whitehead menyadari keputusannya itu penuh risiko. Yakni, ada lompatan imajinatif dalam menerapkan dua kategori itu kepada Tuhan. Namun, sejauh Tuhan tidak dapat dilihat adanya, maka pengaplikasian kategori itu dapat dilakukan sejauh melalui cara yang disiplin dan sistematis.
Afred North Whitehead. Foto: Dok. Wikimedia Commons
Bagi Whitehead, sebagaimana yang ditulis Emanuel Bria dalam Jika Ada Tuhan Mengapa Ada Kejahatan?: Percikan Filsafat Whitehead, Tuhan hanya memberikan sebuah tawaran melalui cita-cita awali (initial aim) kepada dunia untuk berkembang ke arah kreativitas. Tuhan membatasi dirinya untuk tidak ikut campur dalam proses konkresi. Pembatasan diri Tuhan merupakan wujud dari kemahabaikan Tuhan.
ADVERTISEMENT
Dengan cara demikian, pengalaman atas kejahatan bukanlah untuk dilupakan, melainkan untuk dimaknai. Sebagaimana komentar Bria terhadap Whitehead, Tuhan sebagai dasar perkembangan sekaligus prinsip kekekalan menjadi acuan bagi setiap makhluk temporal untuk lepas dari jeratan masa lalu yang kelam. Serta berupaya melangkahkan kaki untuk kehidupan yang lebih bermakna.
Oleh sebab itu, ini bukan berarti Tuhan tidak maha kuasa dengan tidak menunjukkan kekuasaannya. Tuhan tentu bisa saja menunjukkan kekuasaan-Nya dengan mencegah kejahatan. Tetapi, Dia memilih tidak melakukannya. Dia membatasi diri-Nya untuk tidak mengumbar kekuasaan-Nya.
Ilustrasi Langit Foto: Nunki Lasmaria Pangaribuan/kumparan
Sehingga, menjadi keliru jika membayangkan kemahakuasaan Tuhan seperti rezim otoriter Benito Mussolini atau bahkan Hitler yang bertindak semaunya. Kemahakuasaan ditunjukkan dengan memilih tidak melakukan sesuatu.
ADVERTISEMENT
Seperti halnya seseorang yang memilih berpuasa, bukan karena tak punya makanan, tetapi karena memang menghendakinya. Meski seseorang tersebut memiliki kemampuan untuk memakan sesuatu pada saat berpuasa itu.
Pada akhirnya, dunia yang menampakan wajah muramnya kala kejahatan tiba, bukanlah hal yang harus dirisaukan. Itu karena, kejahatan memang selalu menghampiri sejarah umat manusia. Tak peduli betapa salehnya orang-orang di sana.
Seperti pemerkosaan pembunuhan, pencurian, peperangan, serta banyak lagi lainnya. Kejahatan selalu terjadi dan kita terus belajar atas terjadinya kejahatan tersebut. Tak terkecuali pada kasus pencabulan yang diduga dilakoni AH.