Kasus BLBI, Eks Kepala BPPN Didakwa Rugikan Keuangan Negara Rp 4,58 T

14 Mei 2018 16:31 WIB
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Terdakwa kasus BLBI, Syafruddin Arsyad. (Foto:  Marcia Audita/ kumparan)
zoom-in-whitePerbesar
Terdakwa kasus BLBI, Syafruddin Arsyad. (Foto: Marcia Audita/ kumparan)
ADVERTISEMENT
Mantan Kepala Badan Penyehatan Perbankan Nasional (BPPN) Syafruddin Arsyad Temenggung didakwa melakukan perbuatan korupsi dalam penerbitan Surat Keterangan Lunas terkait Bantuan Likuiditas Bank Indonesia (BLBI). Perbuatan Syafruddin itu disebut merugikan keuangan negara hingga Rp 4,58 triliun.
ADVERTISEMENT
Kasus yang didakwakan kepada Syafruddin, terkait penerbitan Surat Keterangan Lunas (SKL) bagi pemilik Bank Dagang Nasional Indonesia (BDNI) penerima BLBI, Sjamsul Nursalim. Padahal, Sjamsul belum memenuhi syarat untuk mendapat SKL, karena belum menyelesaikan kewajibannya terkait piutang kepada petani tambak.
"Terdakwa selaku Kepala BPPN melakukan penghapusan piutang Bank Dagang Nasional Indonesia kepada petani tambak yang dijamin oleh PT Dipasena Citra Darmadja (DCD) dan PT Wachyuni Mandira (WM) serta menerbitkan Surat Pemenuhan Kewajiban Pemegang Saham," kata jaksa Herudin membacakan surat dakwaan Syafruddin, di Pengadilan Tipikor Jakarta, Senin (14/5).
BDNI milik Sjamsul mendapat BLBI sebesar Rp 37 triliun yang terdiri dari fasilitas surat berharga pasar uang khusus, fasilitas saldo debet dan dana talangan valas. Selain itu, BDNI juga disebut menerima BLBI sebesar Rp 5,4 triliun dalam periode setelah 29 Januari 1999 sampai dengan 30 Juni 2001 berupa saldo debet dan bunga fasilitas saldo debet.
ADVERTISEMENT
Namun kemudian BDNI melakukan penyimpangan dalam penggunaan dana puluhan triliun tersebut. BPPN kemudian menetapkan BDNI sebagai bank yang melakukan pelanggaran hukum.
"Sehingga diwajibkan mengikuti Penyelesaian Kewajiban Pemegang Saham (PKPS) dengan pola perjanjian Master Settlement Aqcusition Agreement (MSAA)," ujar jaksa.
Berdasarkan perhitungan, jumlah kewajiban yang harus dibayar BDNI adalah sebesar Rp 47,2 triliun. Jumlah itu terdiri dari BLBI sebesar Rp 30,9 triliun, simpanan nasabah dan utang sebesar Rp 7,06 trilun, serta kewajiban balance sheet berupa utang BLBI kepada BI sebesar Rp 4,7 triliun dan L/C serta utang lainnya sebesar Rp 4,59 triliun.
Total kewajiban sebesar Rp 47,2 triliun itu dikurangi oleh jumlah aset yang dimiliki sebesar Rp 18,8 triliun. Sehingga yang harus dibayarkan BDNI adalah sejumlah Rp 28,4 triliun.
Sjamsul Nursalim. (Foto: Bagus Permadi/kumparan)
zoom-in-whitePerbesar
Sjamsul Nursalim. (Foto: Bagus Permadi/kumparan)
Pada tanggal 21 September 1998, dilakukan penandatanganan penyelesaian pengambilalihan melalui MSAA, antara Kepala BPPN ketika itu, Glenn M. S. Yusuf, dengan BDNI yang diwakili oleh Sjamsul Nursalim selaku Pemegang Saham Pengendali. Disepakati bahwa BPPN mengambil alih pengelolaan BDNI dan Sjamsul akan bertanggung jawab menyelesaikan kewajibannya secara tunai mupun berupa aset dalam perjanjian MSAA.
ADVERTISEMENT
Dokumen terkait perhitungan atas kewajiban dan aset BDNI kemudian dibuat. Pada dokumen tersebut, termuat jumlah kewajiban dan juga jumlah aset BDNI. Dalam aset tersebut, juga dimuat bahwa BDNI memiliki piutang berupa pinjaman kepada petani tambak sebesar Rp 4,8 triliun.
Piutang itu disebut merupakan pinjaman dari BDNI untuk modal kerja operasi budidaya udang dan kepemilikan perumahan petambak dalam bentuk mata uang dolar AS dan rupiah. Usaha budidaya itu menggunakan Pola Kemitraan Inti Rakyat, yakni pola kerja sama antara petambak sebagai plasma dengan PT DCD dan PT WM sebagai inti. Kedua perusahaan itu juga dimiliki oleh Sjamsul.
Piutang tersebut dicantumkan seolah-olah merupakan piutang yang lancar. Namun berdasarkan pemeriksaan audit berupa Financial Due Dilligent (FDD) oleh Kantor Akuntan Publik Prasetio Utomo & CO, disimpulkan bahwa kredit petambak plasma tersebut tergolong macet.
ADVERTISEMENT
Glenn selaku Kepala BPPN menyatakan bahwa Sjamsul melakukan misrepresentasi atas keadaan kredit petambak sebesar Rp 4,8 triliun. Namun Sjamsul menolak menambah aset untuk mengganti kerugian dengan alasan utang petambak termasuk Kredit Usaha Kecil.
Setelah dilakukan penghitungan, didapatkan hak tagih utang dari para petambak plasma tersebut hanya sebesar Rp 220 miliar.
Meski demikian, sisa utang BDNI yakni sebesar Rp 4,58 triliun belum dibayarkan. Sementara Syafruddin, yang menjadi Kepala BPPN sejak 22 April 2002, kemudian menandatangani surat yang menjelaskan bahwa Sjamsul sudah menyelesaikan kewajiban PKPS.
Perbuatan Syafruddin tersebut dinilai membuat Sjamsul Nursalin mendapat keuntungan sebesar Rp 4,58 triliun. Hal tersebut pula yang kemudian dihitung sebagai besaran kerugian negara.
"Merugikan keuangan negara sejumlah Rp 4.580.000.000.000 atau setidak-tidaknya sekitar jumlah tersebut," kata jaksa.
ADVERTISEMENT
Atas perbuatannya, Syafruddin didakwa melanggar Pasal 2 ayat (1) atau Pasal 3 UU Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi sebagaimana diubah dengan UU RI Nomor 20 Tahun 2001 tentang Perubahan Atas UU Ri Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi Jo Pasal 55 ayat (1) ke-1 KUHP.