Kasus BLBI, Hukuman Eks Kepala BPPN Diperberat Jadi 15 Tahun Penjara

4 Januari 2019 15:46 WIB
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Mantan Kepala Badan Penyehatan Perbankan Nasional (BPPN), Syafruddin Arsyad Temenggung di Pengadilan Tipikor, Jakarta. (Foto: Nugroho Sejati/kumparan)
zoom-in-whitePerbesar
Mantan Kepala Badan Penyehatan Perbankan Nasional (BPPN), Syafruddin Arsyad Temenggung di Pengadilan Tipikor, Jakarta. (Foto: Nugroho Sejati/kumparan)
ADVERTISEMENT
sosmed-whatsapp-green
kumparan Hadir di WhatsApp Channel
Follow
Pengadilan Tinggi DKI Jakarta memperberat hukuman mantan Kepala Badan Penyehatan Perbankan Nasional (BPPN) Syafruddin Arsyad Temenggung. Pada tahap banding tersebut, hukuman Syafruddin diperberat menjadi 15 tahun penjara.
ADVERTISEMENT
"Betul," kata Kepala Humas Pengadilan Tinggi Jakarta Johanes Suhadi saat dikonfirmasi, Jumat (4/1).
Syafruddin dinilai terbukti melakukan korupsi dalam penerbitan Surat Keterangan Lunas (SKL) terkait Bantuan Likuiditas Bank Indonesia (BLBI) untuk pemilik Bank Dagang Nasional Indonesia (BDNI), Sjamsul Nursalim.
Ia sebelumnya dihukum 13 tahun penjara oleh Pengadilan Tipikor Jakarta. Kini vonis banding terhadap Syafruddin itu sudah sesuai dengan tuntutan dari penuntut umum KPK yakni 15 tahun penjara.
Putusan banding tersebut dibacakan pada 2 Januari 2019. Majelis banding diketuai oleh hakim Elang Prakoso Wibowo, dengan hakim anggota Mohammad Zubaidi Rahmat, I Nyoman Adi Juliasa, Reny Halida Ilham Malik, dan Lafat Akbar.
Terdakwa kasus dugaan korupsi Syafruddin Arsyad Temenggung menjalani sidang pembacaan putusan di Pengadilan Tipikor, Jakarta Pusat, Senin (24/9). (Foto: ANTARA FOTO/Indrianto Eko Suwarso)
zoom-in-whitePerbesar
Terdakwa kasus dugaan korupsi Syafruddin Arsyad Temenggung menjalani sidang pembacaan putusan di Pengadilan Tipikor, Jakarta Pusat, Senin (24/9). (Foto: ANTARA FOTO/Indrianto Eko Suwarso)
Kasus ini bermula pada saat BDNI milik Sjamsul mendapat BLBI sebesar Rp 37 triliun yang terdiri dari fasilitas surat berharga pasar uang khusus, fasilitas saldo debet dan dana talangan valas. Selain itu, BDNI juga disebut menerima BLBI sebesar Rp 5,4 triliun dalam periode setelah 29 Januari 1999 sampai dengan 30 Juni 2001 berupa saldo debet dan bunga fasilitas saldo debet.
ADVERTISEMENT
Namun kemudian BDNI melakukan penyimpangan dalam penggunaan dana puluhan triliun tersebut. BPPN kemudian menetapkan BDNI sebagai bank yang melakukan pelanggaran hukum.
Untuk menyelesaikan persoalan hukum tersebut BDNI diwajibkan mengikuti Penyelesaian Kewajiban Pemegang Saham (PKPS) dengan pola perjanjian Master Settlement Aqcusition Agreement (MSAA).
BDNI yang mengikuti MSAA itu menjaminkan aset berupa piutang petambak sebesar Rp 4,8 triliun. Utang itu ternyata dijamin oleh dua perusahaan yang juga milik Sjamsul, PT Dipasena Citra Darmadja dan PT Wachyuni Mandira. Sjamsul menjaminkan hal tersebut sebagai piutang lancar. Namun belakangan diketahui bahwa piutang itu merupakan kredit macet.
Syafruddin dinilai terbukti menghapus piutang BDNI kepada petani tambak yang dijamin oleh PT Dipasena Citra Darmadja dan PT Wachyuni Mandira. Kedua perusahaan tersebut merupakan perusahaan Sjamsul Nursalim.
Sjamsul Nursalim (kanan) saat berjabat tangan dengan Indra Wijaya (Kiri), Eka Tjipta Wijaya, dan Sukamdani Gitosarjono. (Foto: AFP/KEMAL JUFRI )
zoom-in-whitePerbesar
Sjamsul Nursalim (kanan) saat berjabat tangan dengan Indra Wijaya (Kiri), Eka Tjipta Wijaya, dan Sukamdani Gitosarjono. (Foto: AFP/KEMAL JUFRI )
Setelah dilakukan penghitungan, didapatkan hak tagih utang dari para petambak plasma tersebut hanya sebesar Rp 220 miliar. Meski demikian, sisa utang BDNI yakni sebesar Rp 4,58 triliun belum dibayarkan. Sementara Syafruddin, yang menjadi Kepala BPPN sejak 22 April 2002, kemudian menandatangani surat yang menjelaskan bahwa Sjamsul sudah menyelesaikan kewajiban PKPS.
ADVERTISEMENT
Perbuatan Syafruddin tersebut dinilai membuat Sjamsul Nursalim mendapat keuntungan sebesar Rp 4,58 triliun. Hal tersebut pula yang kemudian dihitung sebagai besaran kerugian negara.