Kasus Bule Duduki Tempat Ibadah di Bali Sudah Selesai, Kejadian 2017

16 Oktober 2019 14:46 WIB
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Foto ilustrasi: turis melakukan bersih diri di Pura Tirta Empul Tampaksiring, Gianyar, Bali, Rabu (16/10/2019). Foto: Fanny Kusumawardhani/kumparan
zoom-in-whitePerbesar
Foto ilustrasi: turis melakukan bersih diri di Pura Tirta Empul Tampaksiring, Gianyar, Bali, Rabu (16/10/2019). Foto: Fanny Kusumawardhani/kumparan
ADVERTISEMENT
Foto turis asing duduk di Pelinggih ramai diperbincangkan dan viral di media sosial, khususnya di kalangan masyarakat Bali. Padahal, peristiwa itu terjadi tahun 2017. Kasus itu juga telah diselesaikan secara adat.
ADVERTISEMENT
Bendesa Agung Majelis Adat (MDA) Bali, Ida Plingsir Agung Putra Sukahet, meminta netizen bijak bermedia sosial. Menurut dia, kembali meramaikan foto tersebut hanya memancing SARA dan semakin meresahkan masyarakat.
Meski demikian, Sukahet tak lagi mengingat lokasi kejadian dan asal turis asing itu.
“Itu kayaknya tahun 2017, itu kejadian tahun-tahun lalu tapi tempatnya lupa di mana itu. Jangan hal yang sudah selesai, jangan bikin keresahan masyarakat. Masalahnya sudah selesai, jangan diungkit-ungkit lagi, itu bikin keresahan. Jangan diviralkan, buat apa, kan masalah sudah selesai,” kata dia saat dihubungi, Rabu (16/10).
Dalam foto yang diunggah akun @denpasarviral ini tampak seorang turis asing perempuan tengah duduk di Pelinggih dengan pose dua jari. Lalu, seorang turis asing lelaki tampak memanjat Pelinggih. Akun @denpasarviral mengunggah ulang dari akun @koranbaliexpress.
ADVERTISEMENT
Sukahet mengakui memang sikap turis asing ini melecehkan simbol agama di Bali. Namun menurutnya mereka melakukannya karena tidak tahu aturan adat Bali.
“Pelecehan-pelecehan tempat suci, iya itu memang sebuah pelecehan yang sangat kita sesalkan dan cukup menampar psikologis umat Hindu Bali yah. Itu tidak boleh terjadi lagi,” imbuh Sukahet.
Sukahet meminta sejumlah pihak ikut berpartisipasi mencegah pelecehan tempat ibadah terulang lagi. Mulai dari agen perjalanan, para guide, hingga para pecalang (aparat keamanan desa). Sebab, para turis memang tak diizinkan masuk pura kecuali untuk sembahyang.
“Itu sebenarnya bukan kesalahan turisnya semata, itu tetapi juga malah lebih banyak salahnya para guide itu. Dan kemudian travel agent dan pecalang serta prajuru adat, di situ juga yang punya pura juga salah. Artinya apa, itu kan biasanya pura-pura di Bali yang sering terjadi kunjungan wisatawan kan mestinya pecalangnya ada, Krama adatnya sudah mengatur dan menjaga di situ, menjaga supaya tidak terjadi pelecehan seperti itu,” beber Sukahet.
ADVERTISEMENT
Para pejabat desa adat juga diminta memperkuat penegakan hukum turis asing yang nakal melalui peraturan desa adat atau pararem. Bagi turis yang memang sengaja melecehkan, diminta untuk bertanggung jawab dengan membiayai upacara penyucian kembali pura. Sanksi paling berat, desa adat menolak kehadiran turis asing masuk desa dan minta imigrasi mendeportasi.
Sementara itu, para agen perjalanan diminta untuk memberi edukasi kepada guide tentang tempat suci di Bali. Guide juga harus meneruskan edukasi ini kepada turis-turis asing. Bila melakukan pelanggaran dia berharap desa adat mendesak pemerintah untuk mencabut izin agen perjalanan dan guide tersebut.
Sementara itu, Kepala Dinas Pariwisata Bali Putu Astawa juga belum mendapatkan informasi lokasi kejadian. Soal aturan agen perjalanan ini, memang Bali tengah menyusun peraturan daerah tentang standarisasi pengelolaan pariwisata.
ADVERTISEMENT
Dia juga mengimbau agar para bendesa adat di Bali bisa memberikan edukasi dan sosialisasi tentang tempat suci. Misalnya, menambah papan informasi mengenai tempat ibadah suci di setiap pura-pura dalam berbagai bahasa.
“Kalau mereka dengan guide tidak mungkin begini. Dan perlu ada pengawasan oleh pengepon pura setempat agar diawasi. Bule-bule yang masuk dikontrol dan dijaga,” ujar dia.