Kasus PLTU Riau, Bos Blackgold Dituntut 4 Tahun Penjara

26 November 2018 14:42 WIB
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Bos Blackgold Natural Resources Ltd, Johannes Budisutrisno Kotjo, usai melakukan persidangan di Pengadilan Tipikor Jakarta, Senin (26/11/2018). (Foto: Aprilandika Pratama/kumparan)
zoom-in-whitePerbesar
Bos Blackgold Natural Resources Ltd, Johannes Budisutrisno Kotjo, usai melakukan persidangan di Pengadilan Tipikor Jakarta, Senin (26/11/2018). (Foto: Aprilandika Pratama/kumparan)
ADVERTISEMENT
Pemilik saham Blackgold Natural Resources Limited, Johanes Budisutrisno Kotjo, dituntut pidana penjara selama 4 tahun. Ia juga dituntut membayar denda sebesar Rp 250 juta subsider 6 bulan kurungan.
ADVERTISEMENT
"Menuntut, agar majelis hakim yang memeriksa dan mengadili perkara ini menyatakan terdakwa Johannes Budisutrisno Kotjo telah terbukti secara sah dan meyakinkan bersalah melakukan tindak pidana korupsi," kata jaksa Ronald F Worotikan saat membacakan surat tuntutan di Pengadilan Tipikor Jakarta, Senin (26/11).
Penuntut umum menilai bahwa Kotjo telah terbukti memberikan uang kepada mantan Wakil Ketua Komisi VII, Eni Maulani Saragih, dan eks Sekjen Partai Golkar, Idrus Marham. Total uang yang diberikan Kotjo adalah sebesar Rp 4,75 miliar dalam beberapa tahap.
Suap itu diberikan agar perusahaan Kotjo mendapatkan proyek Independent Power Producer (IPP) Pembangkit Listrik Tenaga Uap Riau-1 (PLTU Riau-1). Eni dan Idrus diharapkan akan membantu perusahaan Kotjo mendapatkan proyek itu.
Terdakwa kasus dugaan suap proyek pembangunan PLTU Riau-1 Johannes Budisutrisno Kotjo (kiri) berjabat tangan dengan mantan Menteri Sosial Idrus Marham (kanan) (Foto: ANTARA FOTO/Aprillio Akbar)
zoom-in-whitePerbesar
Terdakwa kasus dugaan suap proyek pembangunan PLTU Riau-1 Johannes Budisutrisno Kotjo (kiri) berjabat tangan dengan mantan Menteri Sosial Idrus Marham (kanan) (Foto: ANTARA FOTO/Aprillio Akbar)
Perbuatannya Kotjo dinilai telah memenuhi unsur Pasal 5 ayat (1) huruf a Undang-undang RI Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi sebagaimana diubah dengan UU Nomor 20 Tahun 2001 tentang Perubahan Atas UU Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi juncto Padal 64 ayat (1) KUHP.
ADVERTISEMENT
Dalam tuntutannya, jaksa mencantumkan hal-hal yang memberatkan dan meringankan. Dalam hal yang memberatkan, perbuatan Kotjo dinilai tidak mendukung program pemerintah dalam pemberantasan tindak pidana korupsi.
“Adapun hal yang meringankan adalah terdakwa belum pernah dihukum dan terdakwa bersikap sopan selama jalannya persidangan serta bersikap kooperatif sehingga memudahkan penuntut umum," ujar jaksa.
Awal Mula Kasus
Kasus ini bermula ketika Kotjo mengetahui rencana pembangunan PLTU Riau-1. Sekitar tahun 2015, Kotjo yang memegang saham Blackgold sebesar 4,3 persen atau setara 40 juta lembar saham, berusaha mencari investor yang bersedia melaksanakan proyek PLTU Riau.
Ia lantas membuat kesepakatan dengan CHEC selaku investor. Jika proyek berjalan, Kotjo disebut telah dijanjikan akan mendapatkan imbalan atau fee. Dengan kesepakatan, Kotjo akan mendapatkan fee 2,5 persen atau sekitar USD 25 juta dari proyek senilai USD 900 juta tersebut.
ADVERTISEMENT
Dari fee itu, Johanes akan mendapatkan keuntungan sebesar 24 persen atau sekitar USD 6 juta. Sedangkan sisanya, akan dibagikan ke sejumlah petinggi Blackgold dan anak perusahaannya, PT Samantaka Batubara.
Mantan Ketua DPR Setya Novanto berjalan keluar usai mengikuti sidang di gedung Pengadilan Tipikor, Jakarta, Selasa (18/9). (Foto: Antara/Muhammad Adimaja)
zoom-in-whitePerbesar
Mantan Ketua DPR Setya Novanto berjalan keluar usai mengikuti sidang di gedung Pengadilan Tipikor, Jakarta, Selasa (18/9). (Foto: Antara/Muhammad Adimaja)
Kotjo disebut bertemu dengan Setya Novanto yang masih menjabat Ketua DPR sekaligus Ketua Umum Partai Golkar untuk memuluskan jalannya mendapatkan proyek. Dalam pertemuan pada awal 2016 itu, Kotjo meminta Setnov memperkenalkannya kepada pihak PT PLN (Persero) selaku pemegang proyek.
Setnov lantas mengenalkan Kotjo dengan Eni Saragih sebagai anggota Komisi VII DPR yang membidangi energi, riset, teknologi, serta lingkungan hidup. Pada kesempatan itu pula, Setnov menyampaikan kepada Eni agar membantu Kotjo dalam proyek PLTU dan untuk itu Kotjo akan memberikan fee, yang kemudian disanggupi Eni
ADVERTISEMENT
Untuk menindaklanjuti kesepakatan tersebut, Eni, Johanes, dan Setnov, kerap melakukan pertemuan. Namun, setelah Setnov ditahan KPK terkait kasus korupsi proyek e-KTP, Eni melaporkan perkembangan proyek PLTU Riau kepada Idrus Marham, yang saat itu sudah ditunjuk menjadi pelaksana tugas (Plt) Ketum Golkar. Termasuk menagih fee yang dijanjikan Kotjo untuk Eni.
Eni pun menyampaikan kepada Idrus Marham bahwa ia akan mendapatkan fee dari Kotjo untuk mengawal proyek PLTU Riau. Pada 25 November 2017, Eni, atas sepengetahuan Idrus, mengirimkan pesan melalui WhatsApp meminta uang sejumlah SGD 400 ribu kepada Kotjo.
Usai mengirimkan pesan itu, Eni pun mengajak Idrus untuk menemui Kotjo di kantornya, Graha BIP Jakarta, pada 15 Desember 2017. Jaksa menyebut, dalam pertemuan itu, Kotjo pun menyampaikan kepada Idrus persoalan fee 2,5 persen jika proyek PLTU Riau-1 berhasil terlaksana.
Mantan Wakil Ketua Komisi VII, Eni Maulani Saragih sebagai tersangka kasus suap proyek pembangunan PLTU Riau-1, usai diperiksa KPK, Rabu (26/9/2018). (Foto: Eny Immanuella Gloria)
zoom-in-whitePerbesar
Mantan Wakil Ketua Komisi VII, Eni Maulani Saragih sebagai tersangka kasus suap proyek pembangunan PLTU Riau-1, usai diperiksa KPK, Rabu (26/9/2018). (Foto: Eny Immanuella Gloria)
Untuk melancarkan pemberian, Eni beralasan bahwa fee tersebut akan digunakan untuk kegiatan musyawarah nasional luar biasa (Munaslub) Partai Golkar. Saat proyek sedang bergulir, Eni juga menjabat sebagai Bendahara Munaslub Golkar.
ADVERTISEMENT
Untuk meyakinkan Kotjo, Idrus pun juga menyampaikan kepada Kotjo 'tolong dibantu ya', selanjutnya permintaan Eni dan Idrus disanggupi oleh Kotjo.
Kotjo pun langsung memerintahkan sekretaris pribadinya, Audrey Ratna Justianty, untuk memberikan fee dalam dua tahap, yakni sebesar Rp 2 miliar pada 18 September 2017, dan Rp 2 miliar berikutnya pada 14 Maret 2018 melalui orang suruhan Eni bernama Tahta Maharaya.
Adapun, untuk Rp 750 juta sisanya, diberikan oleh Audrey kepada Eni secara terpisah. Dengan rincian, pemberian pertama sebesar Rp 250 juta, dan Rp 500 juta pada 10 Juli 2018.
Akan tetapi sesaat setelah pemberian uang Rp 500 juta dari Audrey itu, KPK melakukan operasi tangkap tangan (OTT) terhadap Eni, Tahta dan Audrey. Dalam perkembangan selanjutnya, KPK turut menjerat Idrus Marham.
ADVERTISEMENT