Kejaksaan Agung: Buku Diamankan Dulu, Baru Dikaji

14 Januari 2019 12:08 WIB
comment
4
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Ilustrasi Lipsus "Lagi-lagi Razia Buku". (Foto: Herun Ricky/kumparan)
zoom-in-whitePerbesar
Ilustrasi Lipsus "Lagi-lagi Razia Buku". (Foto: Herun Ricky/kumparan)
ADVERTISEMENT
Tak habis-habis buku disita. Selasa (8/1), aparat TNI dari Koramil 01 Padang Barat/Utara dan Kejaksaan Negeri Padang menyita buku di Toko Buku Nagareboshi, Kota Padang. Menurut mereka, setengah lusin buku tersebut ditengarai berisi ajaran komunisme.
ADVERTISEMENT
Pemilik toko buku, Yanto Tjahaja, kaget saat aparat TNI datang dan menunjukkan beberapa foto sampul buku yang mereka cari. Ia sempat mendebat aparat karena menganggap buku-buku itu tak memuat konten komunisme.
Penyitaan buku juga tidak diiringi surat perintah resmi dari instansi terkait. “Tidak ada pemberitahuan. Kalau seandainya ada sosialisasi, bahwa buku-buku dengan judul tertentu tidak boleh dijual, kami patuh hukum,” kata Yanto.
Pada hari yang sama, penyitaan buku juga terjadi di Gramedia Tarakan, Kalimantan Utara. Penyitaan bermula dari laporan satpam toko. Atas laporan itu, intelijen Kesbangpol Tarakan, Kodim 0907 Tarakan, dan Badan Intelijen Strategis TNI langsung melakukan pengecekan.
Dua pekan sebelum peristiwa di Padang dan Tarakan, penyitaan buku lebih dulu berlangsung di Kecamatan Pare, Kediri, Jawa Timur. Sebanyak 149 buku diangkut anggota Koramil 0809/11 Pare dari dua toko.
ADVERTISEMENT
Penyitaan buku―yang sebetulnya rutin terjadi tahun ke tahun―itu sontak memantik ragam reaksi. Sebagian mendukung, sebagian menentang. Tak sedikit yang berpendapat, razia buku berlebihan dan melanggar hukum.
Kejaksaan Agung yang memegang peran mengawasi barang cetak, memiliki penjelasan versinya terkait sita-menyita buku ini. Berikut wawancara kumparan dengan Direktur Sosial Budaya Kemasyarakatan pada Jaksa Agung Muda Bidang Intelijen Kejaksaan Agung, Muhammad Yusuf, di kantornya, Panglima Polim, Jakarta Selatan, Kamis (10/1).
Muhammad Yusuf, Direktur Sosial Budaya Kemasyarakatan pada Jaksa Agung Muda Bidang Intelijen Kejaksaan Agung. (Foto: Dwi Herlambang/kumparan)
zoom-in-whitePerbesar
Muhammad Yusuf, Direktur Sosial Budaya Kemasyarakatan pada Jaksa Agung Muda Bidang Intelijen Kejaksaan Agung. (Foto: Dwi Herlambang/kumparan)
Kenapa harus menyita buku?
Saya luruskan, bahwa yang dilakukan teman-teman dari Bakor Pacet (Badan Koordinasi Pengawasan Barang Cetakan) di daerah, baik di Kabupaten Kediri maupun Kota Padang, merupakan kegiatan oleh instansi dan stakeholder terkait dalam rangka menjaga ketertiban dan ketenteraman umum, terutama tentang lalu lintas barang cetakan.
ADVERTISEMENT
Barang cetakan ini luas. Ada gambar, reklame, iklan. Salah satunya buku. Jadi ada laporan informasi dari masyarakat, (setelah kami lakukan) pengembangan dan pengamatan dari tim terpadu, (kami menemukan) ada buku-buku yang diduga berpaham komunisme.
Paham komunisme itu merupakan salah satu kriteria mengganggu ketertiban umum. Yang dimaksud dengan ketenteraman dan ketertiban umum yaitu: bertentangan dengan Pancasila, bertentangan dengan UUD 1945, bertentangan dengan budaya, termasuk HAM, komunisme, radikalisme, dan terorisme.
Ini salah satu kegiatan dari Bakor Pacet.
Lembaga mana saja yang masuk dalam Bakor Pacet itu?
Kejaksaan Agung sebagai leading sector, kemudian intansi terkait seperti Dinas Agama, Dinas Kebudayaan, intelijen, BAIS, BIN, Polri, badan kurikulum dan pembukuan, Kominfo. Semua yang terkait dengan barang cetakan, baik barang cetakan maupun elektronik, kami lakukan pengawasan.
ADVERTISEMENT
Mekanismenya seperti apa?
Jadi kegiatan Bakor Pacet ini preventif, edukatif, koordinatif, dan persuasif dalam rangka pembinaan. Jadi belum represif, belum ada penyitaan, makanya diamankan dan dibikin berita acaranya. Nah kemudian di Kediri dan Padang dilakukan rapat koordinasi. Bukunya sementara diamankan dan diserahkan ke Kejaksaan untuk dilakukan penelitian lebih lanjut.
Kemudian kami di Kejaksaan Agung mengambil kebijakan. Dasarnya UU Nomor 3 Tahun 2017 tentang Sistem Perbukuan, UU Intelijen, UU Kejaksaan, dan Keputusan Jaksa Agung 132 yang merupakan SOP terhadap tata laksana barang cetakan. Karena menyangkut lebih dari satu wilayah, untuk percepatan proses penanganannya kita ambil di Bakor Pacet pusat.
Pusatnya ada di Kejagung, khususnya di bidang intelijen. Nanti buku itu sampelnya disampaikan kepada kami dan kami rapatkan. (Setelah itu) kontennya akan kami serahkan kepada pihak yang memiliki kapasitas untuk (mengkaji) itu, apakah bertentangan (dengan ketertiban) atau tidak.
Ilustrasi Lipsus "Lagi-lagi Razia Buku". (Foto: Herun Ricky/kumparan)
zoom-in-whitePerbesar
Ilustrasi Lipsus "Lagi-lagi Razia Buku". (Foto: Herun Ricky/kumparan)
Penyitaan buku baru-baru ini apakah dilakukan berdasarkan mekanisme?
ADVERTISEMENT
Sudah benar. Sudah sesuai dengan aturan dan tahapan SOP (standar operasional prosedur)-nya. Yang enggak benar itu istilah-istilahnya, padahal penanganannya sudah benar. Kalau ada laporan kan dicek.
Yang ngecek siapa saja? Bukan otoritas instansi tertentu, tapi antarlembaga dan antarinstansi terkait. Pandangannya sesuai dengan kapasitas dan otoritasnya masing-masing.
Razia Buku dari Masa ke Masa (Foto: Basith Subastian/kumparan)
zoom-in-whitePerbesar
Razia Buku dari Masa ke Masa (Foto: Basith Subastian/kumparan)
Apakah penyitaan buku oleh TNI didahului rekomendasi dari Kejaksaan Agung?
Enggak perlu (rekomendasi), karena dia (TNI) bagian dari anggota kami (di Bakor Pacet). Kan satu kesatuan. Kalau di Bakor itu kan setara. Cuma kami (Kejagung) jadi ketua untuk mengkoordinir. Nah, kalau ada laporan, baru kami rapat.
Selanjutnya?
Fungsi Bakor Pacet adalah fungsi koordinatif, bukan fungsi sebagai aparat eksekutorial. Misalnya polisi ada (laporan masuk dari masyarakat), ya diambil tapi harus diserahkan dulu ke Kejaksaan sebagai leading sector. (Baru kemudian) rapat, bagaimana pandangan dari segi tindak pidananya, baru dikaji.
ADVERTISEMENT
Kalau bertentangan, itu bukan kata Bakor Pacet, tapi kata ahlinya. Nanti setelahnya, konten itu kami minta untuk diteliti oleh pihak yang memiliki kewenangan dan kapasitas, misalnya bagaimana dari segi Pancasila, bertentangan enggak dengan Pancasila.
Kontennya nanti diperiksa, diteliti. Kalau itu buku agama, ya ke Departemen Agama, kalau agama Islam ke MUI, kalau Kristen ke persekutuan gereja. Ada lembaga-lembaga yang meneliti. Nanti rekomendasi dari mereka.
Anggota TNI merazia buku-buku. (Foto: Langkan/Irwan Saputra)
zoom-in-whitePerbesar
Anggota TNI merazia buku-buku. (Foto: Langkan/Irwan Saputra)
Jadi setelah diambil, buku dikaji?
Iya, diamankan dulu baru dikaji. Untuk mengkaji, kami kasih ke ahlinya, baru buku dikembalikan lagi.
Pengamanan dulu, baru kami menggelar rakor (rapat koordinasi). Nah, yang mengkaji bukan kami, tapi kami merekomendasikan ke pihak terkait.
ADVERTISEMENT
Misalnya Kejaksaan sebagai Ketua Bakor Pacet merekomendasikan kepada Kementerian Kominfo, minta buku ini dibatasi karena bertentangan dengan apa berdasarkan hasil Bakor Pacet tanggal sekian dengan notulen terlampir.
Kalau rekomendasi ahli menyebut buku ini bertentangan dengan Pancasila, kami mencari siapa yang membuat. Kalau enggak ada, ya bukunya tarik saja. Masa nyari orang yang enggak ada. Kalau ada orangnya, ya tugas kepolisian nanti (menindaklanjuti). Kami serahkan kepada penyidik untuk disidik karena diduga melanggar ketentuan, misalnya Pasal berapa.
Itu ultimum remedium, ya. Artinya tindakan atau upaya terakhir untuk pelaksanaan pidana. Kalau perdatanya ke JPN (Jaksa Pengacara Negara) terhadap badan hukumnya, baik yayasan maupun persero.
Buku sejarah berjudul "Sukarno, Orang Kiri, Revolusi, dan G30S" ikut disita tentara. (Foto: Ulfa Rahayu/kumparan)
zoom-in-whitePerbesar
Buku sejarah berjudul "Sukarno, Orang Kiri, Revolusi, dan G30S" ikut disita tentara. (Foto: Ulfa Rahayu/kumparan)
Berapa lama proses pengkajian buku yang diambil itu?
ADVERTISEMENT
Itu tergantung mereka. Semakin simpel, semakin cepat. Kami kan hanya menyurati, kami lampirkan bukunya. Kan Jaksa Agung nggak boleh meneliti sendiri karena bukan ahlinya. Nanti setelah diteliti, dikembalikan lagi ke kami.
Kalau setelah dikaji tidak ditemukan pelanggaran, bagaimana?
Dikembalikan.
Kalau melanggar aturan?
Terhadap penerbit dan pengarang, ada tindakan hukumnya. Itu namanya yustisial, tindakan ke penyidikan. Akan dibina, diperingatkan. (Kalau) dia enggak mau menarik dan tetep mengedarkan akan diserahkan ke kepolisian. Cuma perlakuannya melalui Bakor dulu. Jadi sangat preventif, sudah itu orangnya juga kan nanti dipanggil.
Fobia Kiri Era Jokowi (Foto: Basith Subastian/kumparan)
zoom-in-whitePerbesar
Fobia Kiri Era Jokowi (Foto: Basith Subastian/kumparan)
Kejaksaan Agung punya daftar buku yang tidak boleh beredar?
Kami kan sudah ada (daftar buku) yang dilarang sesuai dengan ketentuan. Semua yang bertentangan akan ditarik, dibatasi, atau dimusnahkan.
ADVERTISEMENT
Semua yang bertentangan dengan ketenteraman dan ketertiban umum itu enggak boleh beredar dan diawasi sama kami. Kalau dilarang, nanti bertentangan lagi dengan ketentuan hak berpikir.