Keluhan Gamers di Aceh soal Fatwa Haram PUBG

22 Juni 2019 19:20 WIB
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Riza, Koordinator Komunitas Ruang Game di Banda Aceh. Foto: Zuhri Noviandi/kumparan
zoom-in-whitePerbesar
Riza, Koordinator Komunitas Ruang Game di Banda Aceh. Foto: Zuhri Noviandi/kumparan
ADVERTISEMENT
sosmed-whatsapp-green
kumparan Hadir di WhatsApp Channel
Follow
Penetapan fatwa haram game Player Unknown’s Battlegrounds (PUBG) dan sejenisnya oleh Majelis Permusyawaratan Ulama (MPU) Aceh, masih menjadi pembicaraan dan polemik di tubuh komunitas gamers di Aceh.
ADVERTISEMENT
Perkembangan dunia game di Aceh tidak hanya sebatas hiburan, namun telah menjadi mata pencaharian ekonomi anak muda yang menggeluti dunia tersebut.
Koordinator komunitas Ruang Game di Banda Aceh, Rizal, menceritakan perkembangan dunia game khususnya di Banda Aceh telah melahirkan atlet yang meraih prestasi baik tingkat nasional maupun internasional. Mereka tidak hanya menjadikan game sebatas hiburan tetapi juga sebagai sebuah profesi.
“Perkembangan gamers di Aceh telah menjadi dunia profesional dan dianggap sebuah profesi. Ada yang menjadi YouTuber, menjual item-item di dalam game, bahkan mengikuti perlombaan nasional dan internasional,” katanya saat ditemui kumparan, Sabtu (22/6), di salah satu warkop di Banda Aceh.
Peserta di Laga Final e-sport Piala Presiden di Istora Senayan. Foto: Fanny Kusumawardhani/kumparan
Rizal menceritakan, Ruang Games yang berdiri pada awal tahun 2017, kala itu berkomitmen untuk menjadikan komunitas sebagai ajang kumpul teman-teman gamers sehingga mereka tidak terjerumus ke hal-hal negatif.
ADVERTISEMENT
“Pada saat itu kami fokus menjadi atlet dan mengejar prestasi. Itu sudah kami buktikan atlet Aceh pernah mendapat salah satu mendali di kejuaran Abu Dhabi,” katanya.
Di saat dunia game mulai dilirik dan dijadikan cabang olahraga e-sport, para gamers di Aceh menjadikan peluang tersebut sebagai motivasi untuk mengembagkan diri hingga membentuk komunitas e-sport.
“Komunitas itu kami bentuk untuk membimbing teman-teman gamers, karena kami melihat banyak hal positif yang bisa dilakukan,” ujarnya.
Rizal mengungkapkan, jauh sebelum adanya PUBG, Aceh telah mengenal game online sejak beberapa tahun silam seperti Point Blank dan Counter Strike. Hanya saja ketika itu masih sebatas hobi lantaran belum mengenal turnamen. Mulai muncul dan berkumpulnya gamers di Aceh ketika populer game Pokemon-Go.
ADVERTISEMENT
“Yang tadinya hanya sebatas hobi kemudian teman-teman mulai banyak mengikuti turnamen dan menjadikan ajang profesi. Teman-teman banyak yang mengadakan hunting turnamen, dan itu dijadikan sebagai sumber pendapatan baru,” tuturnya.
Suasana Laga Final e-sport Piala Presiden di Istora Senayan. Foto: Fanny Kusumawardhani/kumparan
Menanggapi fatwa haram PUBG, Rizal mengaku, gamers Aceh yang tergabung dalam komunitas Ruang Game melihat kebijakan tersebut seperti membatasi ruang gerak mereka untuk menyalurkan sebuah profesi yang dinilai masih positif.
“Kami gamers merasa sedikit tersudutkan oleh fatwa yang dikeluarkan ulama, karena selama ini kami mainkan masih sebatas hal positif,” imbuhnya.
Perihal PUBG dinilai berdampak buruk, kata Rizal, semua permainan ada dampak buruk dan baiknya tergantung bagaimana menanggapi dan mengatasi dampak tersebut diminimalisir menjadi hal positif.
“Jika gamers dinilai menganggu di warung kopi, bagaimana dengan perokok dan lainnya yang juga tidak kalah mengganggu,” keluhnya.
ADVERTISEMENT
Oleh sebab itu, untuk mencari solusi di balik penetapan fatwa PUBG haram tersebut, Rizal mengajak pemerintah dan juga MPU untuk duduk bersama dan membahas tentang seputaran dunia game.
“Kalau bisa bertemu degan pemerintah membahas soal game, paparkan dimana mudharatnya dan kami juga akan memaparkan positifnya. Bagaimanan prestasi yang sudah kami salurkan selama ini, nanti bisa dibandingkan berapa banyak mudharat dan prestasi yang kita lahirkan dari komunitas,” pungkasnya.