Kementerian LHK Didesak Perbaiki Standar Baku Kualitas Udara

27 Juli 2018 19:25 WIB
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Ruang terbuka hijau di Jakarta (Foto: Antara/Aprillio Akbar)
zoom-in-whitePerbesar
Ruang terbuka hijau di Jakarta (Foto: Antara/Aprillio Akbar)
ADVERTISEMENT
Koalisi Masyarakat Sipil lewat "Gerak Bersihkan Udara" menyoroti masalah kualitas udara di Jakarta yang cukup buruk. Manager Kampanye Perkotaan dan Energi Walhi, Dwi Sawung mengungkapkan, pihaknya kecewa dengan pernyataan Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) yang menyebut kualitas udara masih baik dan di ambang batas.
ADVERTISEMENT
Ia menyebut, setelah diukur berdasarkan standar WHO, kualitas udara Jakarta sangat buruk. Ambang batas normal kualitas udara yang ditetapkan KLHK, menurutnya, sengaja jauh lebih lemah dari standar internasional.
"Kenyataannya ambang batas yang ditetapkan KLHK sengaja jauh lebih lemah dibandingkan standar internasional. Kenyataannya kondisi kualitas udara kita sebenarnya sangat buruk apabila diukur dengan standar WHO yang berbasis bukti ilmiah," kata Dwi dalam keterangan tertulisnya, Jumat (27/7).
Ia menjelaskan, KLHK selama pemantauannya selalu mengacu pada aturan baku mutu yang seharusnya sudah direvisi. KLHK selama ini mengacu Baku Mutu Udara Ambien yang tercantum dalam PP Nomor 41 Tahun 1999.
Artinya, peraturan ini sudah dibuat sekitar 20 tahun yang lalu, dan selama rentang waktu itu pengetahuan medis tentang pencemaran udara bertambah.
ADVERTISEMENT
"Angka yang dulu dianggap aman sudah tidak memenuhi lagi dan parameter baru yang berbahaya pada kesehatan manusia, telah jauh di bawah baku mutu yang ditetapkan oleh Badan Kesehatan Dunia (WHO)," tuturnya.
Diketahui, ambang batas yang digunakan oleh KLHK untuk partikulat debu halus PM2.5 dalam durasi waktu 24 jam adalah 65 mikrogram/m3, di mana ambang batas aman yang digunakan oleh WHO adalah 25 mikrogram/m3. Dengan kata lain, ambang batas yang selalu diacu oleh KLHK hampir tiga kali lipat lebih lemah daripada WHO.
Begitu pula halnya dengan ambang batas polutan lainnya, seperti PM10 yang lebih lemah tiga kali lipat dalam durasi pengukuran 24 jam, polutan NO2 yang lebih lemah dua kali lipat dibandingkan standar aman WHO dalam durasi pengukuran 1 jam, dan polutan SO2 yang lebih lemah 15 kali lipat dalam durasi pengukuran 24 jam. Hal ini tentunya sangat mengkhawatirkan bagi masyarakat yang terpapar oleh polutan-polutan ini setiap harinya.
ADVERTISEMENT
Sepakat dengan pernyataan Dwi, Juru Kampanye Greenpeace Indonesia Hindun Mulaika mengatakan, KLHK selalu mempunyai pembenaran untuk mengatakan kepada masyarakat bahwa kualitas udara masih dalam kondisi baik atau sehat atau tidak berbahaya. Padahal ambang batas yang ditetapkan tidak dalam kondisi aman bagi kesehatan masyarakat sebagaimana telah dibuktikan oleh studi dan bukti empiris dari seluruh dunia yang menjadi landasan standar global WHO.
“Batas yang yang ditetapkan saat sebagai batas aman justru membahayakan kesehatan, khususnya membahayakan kelompok sensitif seperti ibu hamil, balita, dan anak-anak, serta kelompok lanjut usia,” ujar Hindun.
Margaretha Quina dari ICEL berpendapat, KLHK seharusnya sudah mulai memperketat baku mutu udara ambien yang ada dengan tujuan untuk melindungi kesehatan masyarakat. Sehingga ia mendorong KLHK untuk merevisi PP Nomor 41 Tahun 1999 tentang Pengendalian Pencemaran Udara.
ADVERTISEMENT
“Fokusnya bukan ke indeks, tapi konsentrasi. Sekarang ini momentum bagi KLHK memperketat baku mutu udara ambien yang ada dengan tujuan utama melindungi kesehatan masyarakat Indonesia. Kami dukung KLHK selesaikan revisi PP No. 41 Tahun 1999 tentang Pengendalian Pencemaran Udara,” ujar Margaretha.
Sementara Ahmad Safrudin dari KPBB menyebut, ISPU yang digunakan oleh KLHK belum memperhitungkan PM 2.5 yang menjadi salah satu polutan paling mengancam bagi kesehatan masyarakat, meningkatkan resiko berbagai penyakit, diantaranya jantung iskemik, stroke, PPOK, infeksi saluran pernapasan bawah, ISPA, kanker paru, dan asma.
“Permasalahan polusi tidak dapat diselesaikan tanpa kemauan politik yang jelas dan keberanian Kementerian LHK untuk menetapkan peraturan yang ketat terhadap seluruh sumber polusi, baik itu transportasi, industri maupun pembangkit listrik batubara yang mengelilingi ibukota,” tegas Ahmad.
ADVERTISEMENT