Kenangan Santri Al-Anwar yang Pernah Diberikan Nama oleh Mbah Moen

7 Agustus 2019 19:20 WIB
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Alumnus santri Ponpes Al Anwar Sarang Rembang sedih kehilangan Mbah Moen. Foto: Afiati Tsalitsati/kumparan
zoom-in-whitePerbesar
Alumnus santri Ponpes Al Anwar Sarang Rembang sedih kehilangan Mbah Moen. Foto: Afiati Tsalitsati/kumparan
ADVERTISEMENT
Tangis seorang pria pecah di depan kediaman pribadi Almarhum KH Maimoen Zubair atau Mbah Moen di Kompleks Pondok Pesantren Al Anwar Sarang, Rembang, Jawa Tengah.
ADVERTISEMENT
Pria yang belakangan diketahui bernama Muhammad Rabith Jazuli ini, rupanya begitu kehilangan sosok kiai itu.
“Saya dengar dari teman, pas mau ke kamar mandi pagi-pagi. Langsung berhenti. Kemudian menangis,” ujar Rabith di Rembang, Jawa Tengah, Rabu (7/8).
Rabith mengaku begitu kehilangan Mbah Moen. Dia merasa pernah cukup dekat dengan Mbah Moen ketika jadi santri di Ponpes Al Anwar, Sarang, Rembang.
“Saya sering dipanggil suruh memijat di kamar,” ucap Rabith terisak.
Mbah Moen di mata Rabith adalah ulama yang tak pernah membeda-bedakan siapa pun. Menurut Rabith, ajaran itulah yang selama ini dipegang teguh sejak ‘menetas’ dari Al Anwar.
Mbah Moen, kata Rabith, selalu menekankan pentingnya rendah hati dan tidak mudah menghakimi orang lain. Menurut Rabith, Mbah Moen menganggap semua orang sama di mata Allah, terlepas dari baik dan buruk yang disampaikan atau dinampakkan orang tersebut dalam kehidupannya.
ADVERTISEMENT
“Kita harus tahu semua adalah pemberian Allah, jangan pernah benci dengan siapa pun karena semua ciptaan Allah,” ucap Rabith mengulang pesan yang disampaikan Mbah Moen.
Rabith mondok di Ponpes Al-Anwar Sarang pada tahun 1995 dan lulus tahun 1999. Namun, saat itu oleh Mbah Moen, Rabith diminta tetap tinggal selama 4 tahun.
“Saya tidak boleh pulang, kamu jangan pulang di sini 4 tahun ya, sanggup? Insyallah. Saya enggak pulang,” kata Rabith mengenang percakapannya.
Pria kelahiran 17 Januari 1970 itu menuturkan kenangannya memijat Mbah Moen setiap sang ulama pulang berdakwah dari luar kota.
“Enggak mesti setiap minggu, biasanya pulang itu manggil saya pukul 23.30 WIB saya memijat sampai pukul 02.00 WIB. Itu banyak sekali yang disampaikan,” katanya.
ADVERTISEMENT
Rabith bahkan mengaku namanya saat ini merupakan pemberian dari Mbah Moen. Semula, namanya adalah Muhammad Hamam.
Oleh Mbah Moen, nama tersebut dianggap memiliki arti yang susah. Lantas Mbah Moen memberikannya nama yang digunakannya hingga saat ini.
“Saya ke sini untuk mengenang, melihat putranya, bertanya di mana Mbah Moen, seakan-akan (masih ada) di situ (kediaman pribadi) biasanya,” kata Rabith.
Selepas kepergian Mbah Moen, Rabith memastikan akan menyebarkan ke masyarakat maupun santri lain tentang apa yang telah disampaikan Mbah Moen kepadanya.
“Harus terus dakwah, sebesar apa pun yang terjadi, apa pun kita harus melakukan yang terbaik, yang bermanfaat, jangan pernah berhenti ketika ada badai atau cobaan,”ujar dia.
ADVERTISEMENT