Kenapa Peluru Karet Bisa Mematikan?

23 Mei 2019 16:28 WIB
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Seorang warga memperlihatkan selongsong peluru di kawasan Tanah Abang. Foto: Irfan Adi Saputra/kumparan
zoom-in-whitePerbesar
Seorang warga memperlihatkan selongsong peluru di kawasan Tanah Abang. Foto: Irfan Adi Saputra/kumparan
ADVERTISEMENT
Demonstrasi yang memprotes hasil Pemilu 2019 berujung ricuh, 21-22 Mei kemarin. Bahkan, aksi protes di sekitaran gedung Bawaslu itu pun memakan enam korban jiwa.
ADVERTISEMENT
Beberapa korban, meninggal akibat ditembus peluru. Padahal, polisi mengklaim, hanya menggunakan peluru karet saat meredam aksi ricuh tersebut.
Dalam konteks pengendalian massa, penggunaan peluru karet memang sudah cukup populer. Pertama kali digunakan di Inggris tahun 1970 hingga terus dipakai sampai saat ini.
Sejumlah massa menyerang ke arah petugas kepolisian saat terjadi bentrokan Aksi 22 Mei di kawasan Slipi Jaya, Jakarta, Rabu (22/5). Foto: ANTARA FOTO/Muhammad Adimaja
Penggunaan peluru karet dimaksudkan untuk memberikan rasa sakit tanpa berefek kematian. Caranya, dengan menembakkan peluru ke arah perusuh. Bisa juga diarahkan ke jalan agar pelurunya memantul, sehingga berkurang kecepatannya saat mengenai massa.
Namun di luar teori itu, keamanan penggunaan peluru karet disangsikan. Salah satunya, oleh para peneliti di University of California dan dokter dari organisasi Physicians for Human Rights, 2017 lalu. Mereka memperingatkan bahwa peluru karet dan plastik tidak boleh digunakan untuk pengendalian massa.
ADVERTISEMENT
“Temuan kami mengindikasikan bahwa senjata-senjata ini punya potensi yang menyebabkan luka parah dan kematian,” tulis para peneliti dalam jurnal berjudul Death, injury and disability from kinetic impact projectiles in crowd-control settings: a systematic review itu.
Petugas Brimob Mengecek Jumlah Peluru Karet Foto: Aditia Noviansyah/kumparan
Penelitian tersebut mencakup 1.984 orang yang pernah terkena tembakan peluru karet dan plastik. Hasilnya, sebanyak 51 orang (3 persen) di antaranya meninggal dan 300 orang (15 persen) mengalami cacat permanen.
Penelitian serupa juga pernah diterbitkan British Journal of Surgery pada 1975, di masa awal peluru karet digunakan. Hasilnya, dari 90 orang yang tertembak, 17 di antaranya cacat permanen dan 1 orang meninggal.
Kedua penelitian itu sepakat bahwa akurasi menjadi faktor penentu, apakah peluru karet bisa mematikan atau tidak. Dalam hal ini, mematikan jika terkena pada bagian vital seperti kepala dan leher.
ADVERTISEMENT
“Apabila kamu sangat dekat sekali dengan seorang target, kamu bisa membidiknya (lebih akurat), akan tetapi kemudian kecepatannya jadi sama dengan peluru hidup (tajam) dan bisa membahayakan,” tutur salah satu peneliti dari University of California, Rohini Haar dikutip dari The Guardian.

Jarak Aman Terkena Peluru Karet

Keterangan mengenai peluru karet. Foto: Dok. Arex
Dalam jurnal berjudul Severe facial rubber bullet injuries: Less lethal but extremely harmful weapons (2009), Roman Hossein Khonsari menjelaskan soal jarak tembak peluru karet. Dia menyebut, untuk meminimalisir risiko penetrasi (peluru karet), pengguna disarankan untuk mengikuti petunjuk jarak tembak yang aman dan jangan pernah membidik ke arah wajah.
Misalnya, produsen senjata di Slovenia, Arex, memberi petunjuk jarak aman untuk peluru karet berjenis 5.56x45 NLA rubber bullet, sejauh 20 meter. Peluru itu punya jarak tembak efektif pada 20-40 meter dan jangkauan sejauh 80 meter.
Keterangan mengenai peluru karet. Foto: Dok. Arex
Arex mengimbau, kepada para pengguna peluru karet buatannya untuk selalu membidik bagian bawah tubuh target. Yakni dari pusar hingga kaki demi menghindari cedera. Produsen ini juga melarang untuk menembak pada kepala dan leher.
ADVERTISEMENT
“Menariknya laporan berulang menunjukkan bahkan seorang profesional terlatih pun tak bisa menghormati instruksi keselamatan penggunaan peluru karet. Keadaan yang mendesak dan kekacauan di lapangan membuat bidikan ke arah bawah badan dan menjaga jarak tembak aman tidak memungkinkan,” tulis Khonsari.
Seorang warga memperlihatkan luka bekas peluru di kawasan Tanah Abang. Foto: Fadjar Hadi/kumparan