Kerasnya Dunia ‘Penguasa’ Terminal Senen

31 Januari 2019 10:38 WIB
comment
2
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Konten Spesial, Penguasa Lahan Senen. (Foto: Irfan Adi Saputra/kumparan)
zoom-in-whitePerbesar
Konten Spesial, Penguasa Lahan Senen. (Foto: Irfan Adi Saputra/kumparan)
ADVERTISEMENT
“Dari lorong-lorong yang sempit
Dalam kehidupan malam s'lalu siaga
Setiap saat selalu sigap terjang bahaya
ADVERTISEMENT
Siapapun dihadapinya
Sini preman, sana preman sedang beraksi
Wajah dingin dan seram siap menerkam
Jangan kau coba kawan cari perkara”
Sepenggal lirik lagu berjudul Preman yang dipopulerkan Ikang Fawzi itu populer di era 80-an. Kala itu hampir setiap tempat keramaian Ibu Kota dikuasai oleh orang-orang yang berjulukan preman.
Kini eksistensi preman telah meredup. Namun tak bisa dipungkiri meski zaman semakin maju, birokrasi pemerintahan terus diperbaharui, preman bukannya mati suri. Nyatanya peran mereka sebagai penguasa bayangan masih kuat meski melawan undang-undang.
Mereka berkuasa di berbagai lini. Salah satu lahan basahnya adalah area pasar dan terminal. Di antara begitu banyak terminal-terminal besar di Jakarta, terminal Senen salah satunya.
Bukan rahasia lagi bahwa kawasan ini terkenal rawan copet, jambret, penodongan, dan sebagainya. Saya tertarik untuk menemui mereka, mengobrol selayaknya pria.
Suasana di Pasar Senen. (Foto: Fanny Kusumawardhani/kumparan)
zoom-in-whitePerbesar
Suasana di Pasar Senen. (Foto: Fanny Kusumawardhani/kumparan)
Setelah keliling ke beberapa terminal di Jakarta, Sabtu (25/1), saya memutuskan ‘mendalami’ terminal Senen. Di terminal yang dibangun sejak tahun 1970-an itu, saya ngobrol santai dengan para sopir, kondektur, tukang ojek, hingga pedagang.
ADVERTISEMENT
Menjelajah satu warung kopi ke warung kopi lain untuk mendapatkan akses ke penatua (sebutan untuk orang yang dituakan dalam Bahasa Batak) setempat. Kawasan Senen memang dikenal telah ‘dikuasai’ orang-orang dari suku Batak sejak dulu. Saya pun berasal dari suku yang sama.
Menjelang petang akhirnya saya bertemu dengan penatua. Kami mengobrol dalam Bahasa Batak. Dia meminta saya kembali esok hari untuk bertemu dengan ‘penguasa’ wilayah yang masih aktif.
Minggu (27/2) sore saya kembali ke lokasi yang sama. Namun setelah berjam-jam menunggu, pria yang dimaksud tak kunjung tiba hingga akhirnya saya memutuskan untuk kembali esok hari.
Ilustrasi penangkapan preman. (Foto: Fachrul Irwinsyah/kumparan)
zoom-in-whitePerbesar
Ilustrasi penangkapan preman. (Foto: Fachrul Irwinsyah/kumparan)
Senin (28/2) saya kembali ke lokasi yang sama. Seharian kami tongkrongi kawasan itu. Banyak hal tak terduga yang saya lihat dan rasakan. Di antaranya adalah menyaksikan bagaimana para copet beraksi dengan berbagai modus dan siapa saja komplotan mereka. PKL, sopir Bajaj, tukang ojek, jelas menyaksikan aksi itu, namun tak ada yang berani bertindak. Mereka yang menyadari mata saya tak luput dari aksi itu lantas berucap, “Berani kau macam-macam!” diikuti isyarat tangan memotong leher.
ADVERTISEMENT
Meski aksi pencopetan masih marak, mereka menyebut tak ada lagi aksi premanisme di kawasan Senen. Memang selama berhari-hari nongkrong di kawasan itu saya tak melihat langsung aksi-aksi pungli atau pemalakan.
“Kalau dipalak, enggak ada lagi yang gitu-gitu. Tapi soal parkiran ada. Setiap terminal pastilah ada itu,” ujar salah seorang pedagang di terminal Senen, Marjan.
Preman di Terminal Senen. (Foto: Irfan Adi Saputra/kumparan)
zoom-in-whitePerbesar
Preman di Terminal Senen. (Foto: Irfan Adi Saputra/kumparan)
Setelah seharian berkutat di kawasan itu akhirnya kami bertemu si ‘penguasa’ wilayah, sebut saja namanya Rudolf. Sekilas ia tak tampak sebagai ‘penguasa’ Senen karena penampilannya yang cukup rapi.
Rudolf tiba di terminal Senen dengan motor bebek. Badannya tegap dengan tinggi sekitar 173 cm, mengenakan kemeja biru lengan pendek, jam tangan, tas selempang hitam, dan kaca mata hitam. Ada tato di lengan tangan kanannya, namun tak begitu menonjol.
ADVERTISEMENT
Saat kami mengobrol, dia melepas kaca mata hitam itu dan tampak matanya yang kemerahan. Usianya sekitar 50 tahun, bicaranya santai dan tenang dengan logat Batak yang kental. Rudolf akhirnya bersedia diwawancara pada hari berikutnya dengan berbagai syarat.
Suasana di kawasan Pasar Senen, Jakarta Pusat. (Foto:  Irfan Adi Saputra/kumparan)
zoom-in-whitePerbesar
Suasana di kawasan Pasar Senen, Jakarta Pusat. (Foto: Irfan Adi Saputra/kumparan)
Keesokan harinya, Selasa (30/1), kami mengikuti aktivitas ‘penguasa’ wilayah itu dan beberapa anak buahnya. Rudolf menguasai lahan parkir motor liar seluas 80 meter persegi di terminal Senen. Setiap motor yang parkir dipatok Rp 2.000-3.000. Area itu dulunya merupakan tempat mangkal Mikrolet yang kini jalurnya telah dihapus.
Ada 12 anak buah Rudolf yang bekerja mengelola parkir dengan tiga sif. Setiap sore mereka menyetor ke Rudolf minimal Rp 100 ribu dan ke petugas dari Dinas Perhubungan.
ADVERTISEMENT
Sementara Rudolf mengawasi anak buahnya dari warung kopi di depan area parkir sambil merokok dan menyesap kopi hitam. “Kalau saya, makan gaji buta, artinya gaji pokok lah. Misalnya saya kalau mau ambil uang masuk, ya saya dagang,” ujarnya mengawali perbincangan.
Selayaknya ‘penguasa’ wilayah, Rudolf tampak disegani orang-orang sekitar. Selama kami berbincang di warung kopi, banyak orang yang menyapanya dengan panggilan Bang atau mengangguk saat melintas di depannya. Biasanya dia membalas sapaan itu dengan lambaian tangan dan sahutan singkat.
“Ini tangan sudah patah berapa kali, perut udah ditusuk berapa kali, berkali-kali keluar-masuk sel. Tapi saya penting di sini, bukan mengganggu tapi membantu,” ujar Rudolf.
Preman di Terminal Senen. (Foto: Irfan Adi Saputra/kumparan)
zoom-in-whitePerbesar
Preman di Terminal Senen. (Foto: Irfan Adi Saputra/kumparan)
Pria asal Sumatera Utara itu bercerita, dirinya tiba di Jakarta sekitar tahun 1982 untuk menyusul sang ayah. Kala itu kondisi Pasar Senen masih berupa lapak-lapak tenda biru yang berjejer.
ADVERTISEMENT
Lulus SMP dengan pengalaman minim membuat Rudolf terjebak dalam dunia kriminal. Menodong dan menjambret menjadi aktivitas rutinnya kala itu hingga akhirnya dia tertangkap polisi pada tahun 1986. Saat itu dia berhasil lolos namun tertangkap lagi tahun 1987.
“Satu perkara kita 4 orang itu. Mereka dioper ke Tangerang, saya buron,” katanya.
Bukan satu-dua kali dia tertangkap polisi. Rudolf tak pernah jera meski aksinya itu membuat badannya babak belur.
“Saya balik lagi ke sini megang mobil saya (Kopaja) P12 tahun 1991,” tuturnya.
Suasana di kawasan Pasar Senen, Jakarta Pusat. (Foto:  Irfan Adi Saputra/kumparan)
zoom-in-whitePerbesar
Suasana di kawasan Pasar Senen, Jakarta Pusat. (Foto: Irfan Adi Saputra/kumparan)
Kala itu Rudolf melihat banyak orang baru di terminal Senen. Merasa gerah, dia menantang mereka satu-satu hingga akhirnya mampu menguasai 4 trayek di salah satu terminal paling ramai di Jakarta itu.
ADVERTISEMENT
“Empat lah saya pegang waktu itu (Mikrolet) 02, Metro Mini, (Mikrolet) 03, (Kopaja) P20 juga dikasih sama saya itu. Ambil dulu surat ke pengadilan. Sistem saya kalau mau baik, baik. kalau mau jahat, jahat,” bebernya.
Rudolf juga memperkenalkan beberapa anak buahnya. Ada Max (34) yang juga sudah keluar-masuk bui lantaran sering menodong dan menjambret warga. Tahun 2001-2005 adalah masa-masa Max rajin memalak para pengendara mobil yang melintas di kawasan Senen.
“Kalau ada orang datang dari Jawa gitu kan kita bawa mutar-mutar, kita ambil hartanya kan gitu-gitu dulu,” ujar Max.
Suasana di Pasar Senen. (Foto: Helmi Afandi/kumparan)
zoom-in-whitePerbesar
Suasana di Pasar Senen. (Foto: Helmi Afandi/kumparan)
Terakhir Max mendekam di balik jeruji Polsek Senen pada tahun 2009. Kini dia mengaku insaf. Max akhirnya belajar menyetir dan saat ini aktif sebagai pengemudi taksi online.
ADVERTISEMENT
“Enggak pernah lagi malak gitu, sekarang kan sudah tua sudah malu,” tuturnya.
Lain lagi dengan Erik. Sahabat Rudolf yang kini berusia 73 tahun itu juga mantan ‘penguasa’ jalanan.
Erik berjalan dipapah beberapa anak buah Rudolf. Langkah kakinya sudah tak seimbang karena pernah luka parah saat melawan polisi. Bekas luka sobek panjang di wajah, bekas timah peluru yang tembus di kaki, bekas luka tikam di perut menjadi saksi bisu keganasan pertarungan kehidupannya di masa lalu.
“Waktu itu ketahuan saya di (Jalan) Gunung Sahari 11, ditembaklah, pas saya lagi apa (beraksi),” ujar Erik menjelaskan kondisi kakinya.
Luka bacok di wajah preman di Terminal Senen. (Foto: Irfan Adi Saputra/kumparan)
zoom-in-whitePerbesar
Luka bacok di wajah preman di Terminal Senen. (Foto: Irfan Adi Saputra/kumparan)
Dia menyebut, penjara dan pertarungan-pertarungan yang melelahkan membuatnya bertobat. Selain itu kehadiran empat cucu dari seorang anaknya membuatnya merasa lebih berarti dan ingin memaknai hidup dengan lebih baik.
ADVERTISEMENT
“Mulailah saya jarang (bertindak kriminal). Lama-lama saya semakin jijik dengan pekerjaan saya,” ujarnya.
Erik mengaku kini dirinya sudah benar-benar meninggalkan dunia kelamnya di masa lalu.
Preman di Terminal Senen. (Foto: Irfan Adi Saputra/kumparan)
zoom-in-whitePerbesar
Preman di Terminal Senen. (Foto: Irfan Adi Saputra/kumparan)
Terlepas dari kelamnya dunia mereka, bukan berarti seluruh peran merugikan. Para ‘penguasa-penguasa’ jalanan ini justru jadi mitra polisi dalam hal tertentu, salah satunya sebagai penyuplai informasi. Kapolsek Senen Kompol Muhammad Syafi’i mengamini hal ini, meski membantah ada penguasa bayangan di terminal Senen. Dia menyebut mereka sudah insaf, alias pensiun sebagai preman.
“Mereka memberikan semacam jaringan kemudian modus-modus kejahatan yang sering dilakukan, terus kemudian bagaimana menjual hasil kejahatannya, di mana, nah itu mereka biasanya sampaikan," ujar Syafi’i.
Simak selengkapnya konten spesial dalam topik Penguasa Lahan Senen.
ADVERTISEMENT