Kesuksesan People Power di Hong Kong Gagalkan RUU Ekstradisi

9 Juli 2019 11:51 WIB
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Salah seorang demonstran membawa topeng saat melakukan demo menolak Undang-undang Ekstradisi di Nathan Road dekat Mongkok, Hong Kong, China (7/7). Foto: REUTERS/Tyrone Siu
zoom-in-whitePerbesar
Salah seorang demonstran membawa topeng saat melakukan demo menolak Undang-undang Ekstradisi di Nathan Road dekat Mongkok, Hong Kong, China (7/7). Foto: REUTERS/Tyrone Siu
ADVERTISEMENT
Pada Selasa (9/7), Pemimpin Eksekutif Hong Kong Carrie Lam menyampaikan RUU ekstradisi telah mati. RUU tersebut merupakan pemicu aksi people power yang pada puncaknya diikuti oleh dua juta orang.
ADVERTISEMENT
"Masih ada keraguan tentang ketulusan pemerintah atau kekhawatiran apakah pemerintah akan memulai kembali pembahasan dengan Dewan Legislatif (mengenai RUU ekstradisi)," sebut Lam seperti dikutip dari Reuters, Selasa (9/7).
"Saya tegaskan kembali di sini, rencana tersebut sama sekali tidak ada. RUU itu sudah mati," sambung dia.
Ribuan demonstran yang melakukan demo menolak Undang-undang Ekstradisi di Nathan Road dekat Mongkok, Hong Kong, China (7/7). Foto: REUTERS/Tyrone Siu
Semenjak masuk pembahasan di legislatif, RUU ekstradisi menjadi kontroversi di hampir seluruh lapisan masyarakat Hong Kong. Sebab, bila RUU untuk resmi berubah menjadi UU maka kebebasan dan sistem satu negara dua sistem akan terus terkikis.
Memang betul, Hong Kong bagian kedaulatan Republik Rakyat China. Namun, sebagai Wilayah Administrasi Khusus Hong Kong punya yurisdiksi berbeda dan keistimewaan yang tidak bisa dirasakan di China daratan.
Di wilayah semi-otonom Hong Kong, rakyat punya kebebasan lebih banyak dalam menggelar aksi protes, mengkritik pemerintah, hingga kebebasan media.
Ribuan demonstran yang melakukan demo menolak Undang-undang Ekstradisi di Nathan Road dekat Mongkok, Hong Kong, China (7/7). Foto: REUTERS/Thomas Peter
Di bawah kebijakan satu negara dua sistem, aparat keamanan China, seperti polisi dan tentara, juga tidak bisa beroperasi di Hong Kong.
ADVERTISEMENT
Kebebasan-kebebasan seperti itu, ditakutkan luntur bila RUU ekstradisi disahkan. Perwakilan pengunjuk rasa beragumen, RUU ekstradisi ini akan digunakan pemerintah China untuk mengincar musuh-musuh politik mereka di Hong Kong.
Dalam beberapa tahun belakangan, warga Hong Kong menilai China China perlahan mulai merasuki sendi kehidupan mereka. Salah satunya soal pemilihan pemimpin. Carrie Lam terpilih pada 2017 oleh komisi berisikan 1.200 pejabat pro-Beijing. Setengah anggota parlemen Hong Kong juga tidak dipilih lewat pemilihan umum.
Pembunuhan di Taiwan
Polisi anti huru hara membubarkan para demonstran yang melakukan demo di distrik pariwisata Hong Kong, Nathan Road dekat Mongkok, China (7/7). Foto: REUTERS/Thomas Peter
RUU ekstradisi sendiri muncul setelah kasus pembunuhan seorang wanita hamil oleh kekasihnya berkewarganegaraan Hong Kong mencuat. Insiden berdarah itu terjadi di Taiwan awal 2019.
Pelaku yang merupakan warga Hong Kong menghabisi nyawa kekasihnya ketika mereka sedang berlibur di Taiwan. Kejadian itu membuat Taiwan geram, mereka meminta pelaku yang sudah kabur ke Hong Kong untuk diekstradisi ke negaranya.
ADVERTISEMENT
Namun, permintaan itu tidak bisa dikabulkan. Sebab, Hong Kong tidak memiliki perjanjian ekstradisi dengan Taiwan. Selain Hong Kong juga tak terikat perjanjian dengan China dan Makau.
Sebuah karikatur pemimpin Hong Kong Carrie Lam terlihat di pilar Dewan Legislatif. Foto: REUTERS / Jorge Silva
Kejadian ini dijadikan dalil oleh Lam dan beberapa anggota parlemen untuk membuat RUU ekstradisi. Mereka beralasan saat ini Hong Kong telah menjadi wilayah pelarian pelaku kejahatan di China, Makau dan Taiwan. Lam telah lama dikenal pro-Beijing.
Lewat RUU ekstradisi pelaku kejahatan yang berada di Hong Kong dapat diekstradisi ke tiga wilayah tersebut.
Demo Berhasil Gagalkan RUU
Pengunjuk rasa mengibarkan bendera British Hong Kong di gedung parlemen Hong Kong. Foto: AFP/Viviek Prakash
Saat ini, warga Hong Kong bisa bernapas lega. RUU ekstradisi yang menghantui mereka sudah resmi dihentikan.
Sampai ke titik ini, bukan perkara mudah. Tetes keringat hingga darah warga Hong Kong harus terlebih dulu jatuh ke tanah.
ADVERTISEMENT
Sejak (9/6) warga Hong Kong mulai turun ke jalan meneriakkan protes. Awalnya jumlah demonstran hanya sekitar 500 ribu.
Pengunjuk rasa memasang bendera British Hong Kong di gedung parlemen Hong Kong. Foto: AFP/Viviek Prakash
Mereka berdiam diri di jalanan utama Hong Kong selama beberapa hari. Sejak itu, jumlah demonstran terus bertambah, puncaknya lebih dua juta warga Hong Kong ikut serta dalam demo.
Dua juta tentunya jumlah yang begitu besar di Hong Kong. Wilayah ini berpenduduk 7,3 juta, artinya demo besar diikuti hampir setengah populasi mereka.
Unjuk rasa besar tak sepenuhnya mulus. Bentrokan dengan aparat penegak keamanan sudah menjadi santapan sehari-sehari. Tidak ada korban jiwa jatuh, hanya saja sejumlah demonstran menderita luka.
Polisi berjaga disekitar lokasi demonstran yang melakukan demo menolak Undang-undang Ekstradisi di Nathan Road dekat Mongkok, Hong Kong, China (7/7). Foto: REUTERS/Tyrone Siu
Pada Minggu (30/6) unjuk rasa besar di Hong Kong mencapai klimaks. Ribuan pendemo berhasil merangsek masuk ke gedung legislatif. Di dalam ruang rapat paripurna tindakan vandalistis dilakukan massa.
ADVERTISEMENT
Kaca dan jendela dipecahkan. Sementara dinding gedung ruang rapat paripurna dicoret seruan anti-Beijing. Sejumlah massa juga mengibarkan bendera British-Hong Kong yang sudah lama dilarang dikibarkan.
Aksi massa memang dikecam keras Pemerintah Hong Kong. Akan tetapi, beberapa pejabat pemerintahan menyatakan, mereka berjanji akan lebih sensitif atas permintaan rakyat.