Kesulitan TIM DVI Polri saat Identifikasi Jenazah Korban Kebakaran

29 Oktober 2017 13:49 WIB
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Ilustrasi audit forensik (Foto: Thinkstock)
zoom-in-whitePerbesar
Ilustrasi audit forensik (Foto: Thinkstock)
ADVERTISEMENT
Sebanyak 48 kantong jenazah korban kebakaran pabrik mercon di Kosambi Tangerang, dibawa ke RS Bhayangkara Polri, Kramat Jati, Jakarta Timur untuk diidentifikasi. Dari 48 jenazah, baru 3 orang yang berhasil dikenali berkat pemeriksaan portmortem, antemortem hingga DNA.
ADVERTISEMENT
Sejak awal, Tim Disaster Victim Investigation (DVI) RS Polri Kramat Jati menegaskan bahwa untuk mengidentifikasi jenazah korban, membutuhkan waktu yang cukup lama. Apalagi apabila jenazah tersebut sudah tak dapat dikenali akibat terbakar atau mengalami kecelakaan yang parah.
Koordinator Postmortem DVI RS Polri Kramat Jati, Kombes Edy Purnomo mengatakan, selama pemeriksaan jenazah, ada beberapa hal yang perlu diidentifikasi, antara lain pemeriksaan sidik jari, pemeriksaan gigi, identifikasi properti hingga DNA.
"Ini yang pertama alasan identifikasinya sulit, identifikasi lama, identifikasi memakan waktu berhari-hari, yang pertama adalah jenazahnya kita lihat. Kalau korbannya kasus kebakaran ini tentunya jenazahnya akan terbakar. Kalau kasus kebakarannya 100 persen, itu biasanya agak sulit kami mengidentifikasi," kata Edy di RS Polri, Kramat Jati, Jakarta Timur, Minggu (29/10).
Ilustrasi pemeriksaan forensik (Foto: Thinkstock)
zoom-in-whitePerbesar
Ilustrasi pemeriksaan forensik (Foto: Thinkstock)
Dalam melakukan proses identifikasi, pihak RS Polri memakai standar Interpol guideline. Untuk DVI Interpol guideline, identifikasi primer (utama) itu adalah sidik jari, namun untuk korban kebakaran, tentu sidik jarinya tidak bisa diambil semua. Penyebabnya pun beragam.
ADVERTISEMENT
"Ini ada beberapa kasus sidik jari, cuma enggak bisa diidentifikasi siapa, karena kita tahu bahwa kami mengidentifikasi itu kan saat ini sudah punya KTP, jadi kalau orangnya belum punya KTP dari mana sidik jari ini? kendalanya adalah kalau belum punya KTP. Sementara yang dari ijazah dan segala macam itu sidik jarinya asal-asalan, jadi agak sulit dinilai," jelas Edy.
Selain sidik jari, ada juga identifikasi gigi. Menurut Edy, identifikasi gigi ini sangat penting karena hampir setiap manusia susunan giginya tidak sama. Namun untuk kasus kebakaran, ada saja kendala yang dihadapi.
Korban ledakan gudang petasan Kosambi, Surnah (14) (Foto: BAY ISMOYO/AFP)
zoom-in-whitePerbesar
Korban ledakan gudang petasan Kosambi, Surnah (14) (Foto: BAY ISMOYO/AFP)
"Untuk kasus kebakaran, gigi pun bisa hilang. Gigi pertama hilang karena trauma, karena ledakan segala macam lepas, lepas dari gusinya. Kalau dia terbakarnya sangat berat, itu bisa lepas dari gusinya. Yang kedua mahkota gigi juga bisa hilang, kalau mahkota gigi bisa hilang maka tidak bisa ditentukan lagi giginya modelnya seperti apa, ukurannya seberapa. jadi gigi agak sulit kendalanya," terangnya.
ADVERTISEMENT
Apabila tim DVI tidak bisa mengidentifikasi sidik jari dan gigi, maka identifikasi dilakukan menggunakan DNA (Deoxyribo Nucleic Acid). Sayang sekali, untuk korban yang terbakar, identifikasi menggunakan DNA juga sulit diaplikasikan.
"Nah, DNA itu tidak juga menjadi dewa yang bisa mengidentifikasi 100 persen, kalau jenazahnya hangus terbakar 100 persen dan sampai dalam, seluruhnya sudah menjadi arang, DNA tidak bisa lagi ditemukan dari jaringan manapun tidak bisa ditemukan," imbuhnya.
Posko Post Mortem DVI RS Polri (Foto: Aria Pradana/kumparan)
zoom-in-whitePerbesar
Posko Post Mortem DVI RS Polri (Foto: Aria Pradana/kumparan)
Apabila ketiga proses identifikasi tersebut tidak bisa dilakukan, tim DVI dapat melakukan metode lain, yakni dengan autopsi untuk melihat tanda-tanda medis. Tanda-tanda medis yang dimaksud ialah adanya tato, pernah tidaknya operasi usus buntu.
Serta tanda medis di kedokteran forensik yang meliputi usia, tinggi badan hingga jenis kelamin. Untuk mengidentifikasi tanda-tanda itu saat autopsi, membutuhkan teknik tertentu yang nantinya akan dicocokkan dengan data antemortem.
ADVERTISEMENT
"Selain tanda medis dari autopsi, kita bisa lihat dari properti. Properti itu misalnya pakai bajunya apa, pakai cincinnya apa, pakai jam tangannya apa, walaupun sudah rusak bisanya masih bisa meninggalkan identitasnya ya. Kalau jam itu biasanya ada mereknya, jam abal-abal pun kan mereknya biasanya dari grafir atau apa gitu, yang masih bisa tidak tertinggal, yang tidak terbakar," jelasnya.
Serah terima jenazah Surnah korban Kosambi (Foto: Aprillio Akbar/Antara)
zoom-in-whitePerbesar
Serah terima jenazah Surnah korban Kosambi (Foto: Aprillio Akbar/Antara)
Setelah data postmortem dan antemortem didapatkan, maka langkah selanjutnya ialah melakukan rekonsiliasi untuk menentukan identifikasi.
"Nah jadi kendala, kesulitan kita itu biasanya sih tidak terlalu banyak, tapi yang paling banyak adalah di antemortem. Jadi kendalanya cukup banyak, beberapa kasus memang membutuhkan pendalaman-pendalaman yang lebih besar. Misalnya keluarganya di Lampung ya kita harus ke Lampung cari untuk mengambil sampel DNA-nya, foto-fotonya harus dibuka semua. Terus misalnya yang penyakit-penyakit misalkan usus buntu, pernah operasi dan operasi di mana usus buntunya untuk bukti bahwa memang pernah dioperasi usus buntu," paparnya.
ADVERTISEMENT
Edy menegaskan, tim DVI dalam tugasnya selalu menggunakan data-data yang akurat dan valid serta tidak berdasarkan ucapan dari orang yang mengaku keluarga korban. Semuanya harus ada bukti tertulis.
"Data-datanya harus lengkap, untuk data lengkap itu kalau antemortem itu korban data lapor, 'saya pelapor, nama saya ini melaporkan salah satu keluarga saya hilang atas nama ini'. Ciri-ciri yang dia ingat, tapi buktinya harus dia cari lagi itu yang membuat jadi lama, menjadi agak sulit, karena tergantung lagi kembali ke data.
"Kalau postmortem, dengan teknologi saat ini kita bisa (identifikasi) sekarang," pungkasnya.