Ketakutan Rezim Iran pada Media Sosial

3 Januari 2018 11:59 WIB
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Demo di Iran (Foto: AFP/STR)
zoom-in-whitePerbesar
Demo di Iran (Foto: AFP/STR)
ADVERTISEMENT
Demo besar-besaran oleh masyarakat Iran tak kunjung berhenti. Bahkan, ketika Hassan Rouhani, Presiden Iran, mencoba menenangkan rakyatnya, ucapannya lewat begitu saja bak angin lalu di telinga para demonstran.
ADVERTISEMENT
Masyarakat Iran sudah cukup gerah, dan imbauan (sekaligus ancaman terselubung itu) tak cukup menakutkan bagi mereka.
Menanggapi sikap masyarakat yang tetap lantang turun ke jalan, Pemerintah Iran mengambil langkah yang cukup dramatis: memutus akses internet dan memblokir media sosial macam Instagram dan Telegram. Dalihnya tak lain demi menjaga keamanan publik.
"Berdasarkan keputusan Dewan Keamanan Nasional Tertinggi, aktivitas di Telegram dan Instagram akan dibatasi sementara," demikian laporan Al Jazeera yang mendapat informasi dari stasiun televisi lokal Iran, (31/12/2017).
Semenjak pernyataan itu keluar sampai saat ini, masyarakat Iran tak lagi dapat mengakses kedua media sosial tersebut. Pemerintah Iran mengatakan bahwa pembatasan ini bersifat sementara, namun tak pernah jelas sampai kapan.
ADVERTISEMENT
Sementara pihak Instagram diam saja, Telegram mengambil posisi tegas dengan menjadi berseberangan terhadap Pemerintah Iran.
Pavel Durov, CEO Telegram, menjelaskan pemblokiran oleh Pemerintah Iran dilakukan karena ia tak mau menutup beberapa channel di Telegram yang digunakan untuk mobilisasi para pengunjuk rasa. Sementara Pemerintah Iran menilai channel-channel tersebut mempromosikan kekerasan dalam unjuk rasa, Durov menilai sebaliknya: protes damai.
Apa sebenarnya yang melatarbelakangi pemblokiran media sosial oleh pemerintah Iran?
Media sosial menjadi pilihan para demonstran untuk menunjukan kepada dunia bagaimana riuh dan kacaunya suasana di negaranya. Di Instagram, tagar #IranProtest diwarnai dengan video dan foto ribuan masyarakat yang sedang berdemo dan melakukan aksi vandal.
Dalam rekaman-rekaman amatir tersebut, warga Iran yang sudah muak dengan angka pengangguran yang tinggi, rezim diktator, dan berbagai macam masalah lain di Iran, berbagi keresahannya.
ADVERTISEMENT
Namun, tak hanya sampai di situ. Unggahan di media sosial oleh demonstran Iran juga digunakan mereka untuk menunjukkan respons brutal pemerintah Iran. Sampai Selasa (2/1), sudah ada 20 demonstran tewas karena tindakan petugas keamanan Iran.
Ramainya unggahan tersebut juga menjadi bukti ketidakpercayaan masyarakat Iran pada perlakuan pemerintah terhadap media nasionalnya. Selama ini, media massa di Iran tidak pernah bebas dan imparsial. Hampir seluruh corong informasi dikendalikan oleh pemerintah.
“Tidak beda dengan Tiongkok dan Korea Utara. Mirip zaman Soeharto,” ujar Tia Mariatul Kibtiah, pakar Timur Tengah dari Universitas Binus kepada kumparan (kumparan.com), Selasa (2/1).
Selain itu, lewat media sosial pulalah --secara khusus Telegram-- masyarakat Iran melakukan koordinasi massa dan mengatur kelangsungan demonstrasi. Pemerintah Iran --yang mengetahui hal tersebut dan menilainya sebagai jalur hasutan bagi para pembangkang-- bertindak layaknya negara otoritarian lain.
ADVERTISEMENT
"Ketakutan pemerintah Iran akan kehilangan kendali atas masyarakatnya berbanding lurus dengan berbagai macam taktik yang mereka terapkan untuk internet," kata Mahsa Alimardani, sosok yang menulis seputar kebebasan berpendapat di internet untuk Article 19, organisasi HAM di Inggris, kepada Vice.
Tak hanya Instagram dan Telegram, Mahsa juga menyebut bahwa masyarakat Iran kini tidak dapat mengakses sebagian besar situs asing. Menurutnya, hal itu dilakukan Pemerintah Iran untuk mematikan pergerakan massa.
Paling sedikit, pemerintah Iran mencegah agar negaranya tidak bernasib sama seperti Tunisia, Mesir, dan negara-negara lain repot karena media sosial dalam rangkaian fenomena Arab Spring.
Arab Spring (Foto: Wikimedia Commons)
zoom-in-whitePerbesar
Arab Spring (Foto: Wikimedia Commons)
Menghindari Mesir dan Tunisia 2.0
Mengutip jurnal yang ditulis oleh Sara Badoura dari Southern Denmark University, media sosial dan internet punya tiga peran penting dalam revolusi di Tunisia.
ADVERTISEMENT
Pertama, media sosial menawarkan alternatif bagi masyarakat Tunisia ketika media massa ditekan habis-habisan oleh pemerintah. Segala bentuk kritik ditanggapi dengan pembredelan. Oleh karena itu, masyarakat Tunisia beralih ke media sosial untuk menyerang balik pemerintah yang opresif. Tampak bahwa kedua hal tersebut juga terjadi di Iran.
Ketika protes berlangsung, pemerintah Tunisia memblokir Facebook secara berkala untuk meredam suara massa. Namun tindakan tersebut mendapat balasan yang tak kalah keras dari masyarakat, yang meretas situs pemerintah dan membagikan suasana negaranya secara sporadis.
Kedua, lewat Wikileaks --yang kemudian juga diblokir-- masyarakat Tunisia mengetahui bagaimana gaya hidup hedonistik anak laki-laki Presiden Tunisia Ben Ali dan kemewahan yang dinikmati keluarganya. Terbongkarnya fakta ini layaknya menyiram minyak ke kobaran api. Masyarakat Tunisia semakin marah dan ingin menggulingkan rezim Ben Ali.
ADVERTISEMENT
Terakhir, mengingat keterbatasan media mainstream di negaranya, masyarakat Tunisia berinisiatif untuk mengunggah video bentrokan demonstran dengan kepolisian ke media sosial. Dari sana, terlihatlah kebrutalan Pemerintah Tunisia dalam mematikan aspirasi rakyatnya.
Para demonstran juga secara proaktif memperbarui informasi soal jumlah korban yang berjatuhan. Hal ini menarik perhatian dunia internasional dan membuat tekanan terhadap Ben Ali semakin besar.
Akhirnya, pada 15 Januari 2011, Ben Ali mundur dari jabatannya setelah berkuasa selama 24 tahun.
Zine El Abidine Ben Ali (Foto: Wikimedia Commons)
zoom-in-whitePerbesar
Zine El Abidine Ben Ali (Foto: Wikimedia Commons)
Media sosial juga memegang peran besar dalam revolusi di Mesir. Masih menurut Badoura, media sosial menjadi sumber utama pemberitaan dan informasi teraktual di Mesir karena media lokal sama sekali tidak dapat diandalkan.
Lewat Facebook dan Twitter, para demonstran saling berkoordinasi sekaligus mengekspos kejamnya rezim Mubarak dalam menekan demonstran.
ADVERTISEMENT
Serupa dengan yang kini dilakukan Pemerintah Iran, Mesir waktu itu juga memblokir akses internet dan media sosial. Tindakan ini mendapat kecaman keras dari dunia internasional yang kemudian menekan Mubarak untuk mundur.
Akhirnya, Mubarak, yang namanya terus menerus diserukan oleh massa unjuk rasa, turun dari jabatannya pada 11 Februari 2011.
Hal semacam itulah yang kurang lebih tengah dikejar oleh para demonstran di Iran sekarang ini. Berbeda dengan demonstrasi 2009 yang mengunggulkan kelompok Hossein Mousavi yang reformis dan menolak Ahmadinejad, saat ini mereka menilai Pemerintahan Iran secara umum sudah bobrok dan perlu perubahan.
Namun tentu, seperti sekarang, pemerintah Iran tidak akan tinggal diam. Berbagai macam usaha telah dilakukan untuk melucuti dan membubarkan massa. Mulai dari ancaman sampai pemblokiran media sosial dan internet.
ADVERTISEMENT
Akankah Iran bernasib sama seperti Mesir dan Tunisia? Tia Mariatul pesimistis akan terjadi revolusi.
“Ini memang demonstrasi yang diadakan tiap 30 Desember untuk memperingati revolusi Iran,” ujar Tia. Revolusi yang dia maksud adalah Green Movement, momen ketika para pembela Mousavi turun ke jalan dan terang-terangan menentang Ahmadinejad di 2009. Peristiwa tersebut kemudian diperingati tiap tahun, di kalender, masyarakat Iran menandainya dengan nama 9'Dey.
Tia menjelaskan, tahun lalu pun juga ada demonstrasi yang sama. Dia beranggapan, demonstrasi tahun lalu pada tanggal yang sama justru lebih besar dan juga memakan korban.
Tia memandang kejadian sekarang dapat menjadi besar karena murni alasan politis. Dia menerangkan, Iran adalah pemasok utama Hamas, yang menjadi duri bagi Israel dan AS untuk menguasai Yerusalem sepenuhnya.
ADVERTISEMENT
Kebetulan ada momentum, AS mengeksploitasi fakta bahwa sekarang terjadi demonstrasi di Iran. Padahal, demonstrasi saat ini bukan merupakan hal yang patut dibesar-besarkan.
Di lain sisi, keadaan ekonomi Iran yang sedang tidak bagus juga menjadi faktor utama pecahnya demonstrasi selama berhari-hari. Menurut Tia, keadaan ekonomi Iran buruk karena (1) Trump menyalahi kesepakatan nuklir untuk mencabut embargo Iran, (2) harga minyak mentah dunia yang tengah turun, dan (3) Mullah atau dewan ulama yang memerintah Iran terlalu mendominasi sistem pemerintahan sehingga rentan korupsi.
Meski demikian, Tia membenarkan adanya ketakutan pemerintah Iran akan kehilangan kuasa atas masyarakatnya. Maka dari itu, mereka memblokir akses internet dan media sosial.
Hal itu dinilai wajar oleh Tia, karena memang Iran adalah negara yang sangat membatasi hubungan masyarakatnya dengan dunia internasional. Hal yang sama dengan apa yang dilakukan oleh China dan Korea Utara.
ADVERTISEMENT
Terakhir, Tia menyatakan ini mungkin bukan momen keruntuhan rezim yang tengah berkuasa di Iran. Pasalnya, beda dengan Mesir dan Tunisia yang menganut paham demokrasi sepenuhnya, Iran punya struktur negara yang berbeda.
Ilustrasi Mullah (Foto: Wikimedia Commons)
zoom-in-whitePerbesar
Ilustrasi Mullah (Foto: Wikimedia Commons)
“Iran itu berpaham demokrasi rasa teokrasi,” imbuh Tia. Hal itu disebabkan karena meskipun punya presiden, kekuasaan tertinggi di Iran sebetulnya dipegang oleh mullah atau para ulama.
Menurut Tia, ulama sangat dihormati di negeri tersebut. Apa kata mereka, masyarakat (seharusnya) tidak boleh membantah.
Perbedaan struktur pemerintahan inilah yang membuat Iran tidak akan mudah digoncang. Hal ini pulalah yang menjadi sebab mengapa dunia internasional kesulitan mengintervensi politik Iran selama ini.
“Bahkan sampai sekarang AS belum pernah tembus,” kata Tia.
ADVERTISEMENT
===================
Simak ulasan mendalam lainnya dengan mengikuti topik Outline!