Keterangan Versi Warga Soal Insiden Bentrok dengan TNI di Kebumen

11 September 2019 21:08 WIB
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Warga di lahan pertanian yang menjadi sengketa antara masyarakat dan TNI AD di Urutsewu, Kebumen. Foto: Ardhana Pragota/kumparan
zoom-in-whitePerbesar
Warga di lahan pertanian yang menjadi sengketa antara masyarakat dan TNI AD di Urutsewu, Kebumen. Foto: Ardhana Pragota/kumparan
ADVERTISEMENT
Aktivis dan warga Kecamatan Buluspesantren Kabupaten Kebumen, Sunu memiliki alasan lain mengapa warga begitu ngotot mempertahankan tanahnya. Salah satunya, soal bukti kepemilikan yang lengkap.
ADVERTISEMENT
Sunu menjelaskan, konflik yang terjadi adalah warga berusaha mempertahankan tanah miliknya yang diklaim oleh TNI. Sunu mengaku, warga tidak pernah mendapat penuturan yang jelas tentang sengketa tanah ini.
"Latar belakangnya adalah klaim tanah oleh TNI yang sebenarnya itu adalah milik warga," kata Sunu dihubungi, Rabu (11/9).
Selama ini, kata Sunu, TNI yang disebut melakukan pemagaran tidak pernah menunjukkan atas hak. Sementara warga memiliki bukti yakni sertifikat letter c.
"Dari pihak TNI sendiri sampai dengan hari ini belum pernah menunjukkan alas hak yang mereka punya dan itu kemudian ditindaklanjuti dengan pemagaran di sepanjang lahan yang diklaim itu," ujarnya.
Kejadian ricuh yang berlangsung pagi tadi, kata Sunu, merupakan rangkaian dari aksi beberapa hari sebelumnya. Diakui Sunu, pagi tadi adalah puncak dari rangkaian penolakan terhadap pemagaran.
Lahan pertanian yang menjadi sengketa antara masyarakat dan TNI AD di Urutsewu, Kebumen. Foto: Ardhana Pragota/kumparan
Bentrok antara TNI dengan warga Desa Brecong pun bukan kali pertama. Menurut Sunu, bentrokan juga sempat terjadi dua kali sejak konflik sengketa tanah ini terjadi sejak 2013.
ADVERTISEMENT
"Setiap pemagaran selalu ada bentrok, ini sudah yang ketiga," ujarnya.
Sementara, soal kronologi kejadian Sunu mengaku saat para warga mendatangi lokasi pemagaran, aparat TNI yang berjaga sudah berpakaian lengkap dengan perlengkapan huru-hara.
"Tadi pagi masyarakat ke lokasi kemudian mereka sudah siap dengan rompi anti huru-hara, sudah siap dengan tameng dan pentung. Nah masyarakat diusir suruh pergi sambil dipukuli," ujarnya.
Pasca kejadian ini, kata Sunu, sejumlah warga masih bertahan di Pendopo Kecamatan Buluspesantren. Aksi itu, sebagai upaya mendorong Bupati dan pemerintah setempat dalam mengambil keputusan.
"Sampai ada kejelasan langkah yang akan ditempuh Pak Bupati atau keputusan dari TNI itu sendiri," tegasnya.
Sebab, kata Sunu, para warga telah menginformasikan bukti-bukti kepemilikan kepada Pemda, BPN dan Pemprov termasuk kepada Gubernur. Sehingga, mestinya pemerintah tahu betul warga memiliki dasar yang kuat untuk bertahan.
ADVERTISEMENT
"Sertifikat kami jelas lengkap, dan Pemda sampai Gubernur itu sudah kami beri informasi. Tapi program pemagaran ini tetap berlanjut," tegasnya.
Sebelumnya Kapendam Diponegoro Letkol Kav Susanto menjelaskan, anggota TNI AD terpaksa melakukan tindakan represif karena warga tidak dapat dikendalikan.
"Benar, tindakan represif karena warga tidak bisa dikendalikan," kata Susanto saat dikonfirmasi.
Susanto menjelaskan, bentrokan terjadi ketika anggota TNI gabungan dari Kodim 0709/Kebumen dan Yonif 403/WP tengah mengamankan proyek pengerjaan pemagaran di Lapang Tembak Dislitbangad yang merupakan aset TNI AD. Namun ratusan warga menolak pemagaran itu.
"Pada saat yang sama datang masyarakat yang mengaku memiliki tanah tersebut. Namun tidak mempunyai surat kepemilikan yang sah," ucap Susanto.