Ketika Bunga-bunga Menjelma Badai

7 Desember 2017 13:54 WIB
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
ADVERTISEMENT
Cempaka dan Dahlia. Dua nama yang ramai diperbincangkan akhir-akhir ini. Bukan karena keindahan warna-warni bunga bernama Cempaka dan Dahlia, namun karena nama tersebut datang sebagai angin ribut bernama siklon tropis.
ADVERTISEMENT
Siklon tropis Cempaka dan Dahlia datang hampir bersamaan. Mereka tumbuh dan terbentuk dalam selang waktu tiga hari saja di perairan selatan Jawa dan Bali, yakni 22 dan 25 November.
Badan Meteorologi, Klimatologi, dan Geofisika pada Senin (27/11) kemudian mengumumkan bahwa Siklon tropis Cempaka akan datang membawa angin kencang, hujan lebat, dan gelombang laut yang tinggi. Seluruh warga pun diminta waspada.
Namun apa daya, bencana tak dapat dihalau. Badai yang menyebabkan longsor dan banjir di Situbondo, Sidoarjo, Pacitan, Wonogiri, Ponorogo, Magetan, Serang, Cilacap, Sragen, Boyolali, Trenggalek, Sukabumi, Purworejo, Magelang, Tulungagung, Semarang, Klaten, Malang, Wonosobo, Klungkung, Kota Yogyakarta, Gunung Kidul, Kulon Progo, Sleman, Bantul, Kudus, dan Sukoharjo, menelan korban tewas 41 jiwa.
Rumah terkena longsor akibat siklon (Foto: Ardhana Pragota/kumparan)
"Jumlah pengungsi mencapai 28.190 orang, dan mereka ini masih di pengungsian," papar Sutopo Purwo Nugroho di Kantor BNPB, Jakarta, Selasa (5/12).
ADVERTISEMENT
Tak hanya manusia, Siklon tropis Cempaka itu merusak 4.888 rumah dan merendam 3.212 lainnya, meremukkan 36 unit jembatan dan 21 fasilitas pendidikan, juga empat fasilitas peribadatan, dan dua unit fasilitas kesehatan. Total kerugian materiil pun diperkirakan mencapai triliunan rupiah.
Sederet kerugian itu, baik jiwa atau raga, membuat Siklon tropis Cempaka tercatat sebagai siklon dengan dampak terburuk yang pernah terjadi di Indonesia. Situasi bencana bertambah buruk, ketika datang Siklon tropis Dahlia di hari ketika Siklon tropis Cempaka melemah dan menjauh.
Siklon tropis Dahlia, yang datang dari arah berlawanan dengan Siklon tropis Cempaka, membawa dampak cuaca ekstrem dan gelombang laut tinggi dari wilayah Bengkulu, menuju Banten dan Jawa Barat. Meski Siklon Dahlia tak sehebat Cempaka, namun duet keduanya membuahkan rekor baru: dua siklon di Indonesia dalam selang waktu sepekan saja.
ADVERTISEMENT
Hal tersebut merupakan catatan sejarah bagi Indonesia yang berada di sekitar khatulistiwa. Daerah di sekitar ekuator atau di bawah 10 derajat lintang selatan memiliki kemungkinan sebesar 0,62 persen saja untuk terjadinya siklon.
Pergerakan siklon tropis Cempaka. (Foto: Antara/Rivan Awal Lingga)
Bencana yang begitu hebat dan rekor sejarah yang tercatat ini lah yang membuat nama Cempaka dan Dahlia mencuat di berbagai percakapan. Sejumlah tanya menyeruak: apakah bayang akan keindahan nama bunga ini akan tersapu dengan badai dan bencana yang tercipta? Mengapa nama-nama bunga yang dipilih menjadi nama badai?
Tropical Cyclone Warning Centre Jakarta
Pusat peringatan dini siklon tropis atau Tropical Cyclone Warning Centre Jakarta masih berusia muda. Meski Indonesia telah menjadi anggota World Meteorological Organization (WMO) Regional Association V Tropical Cyclone Committee (WMO RA V TCC) sejak 1986, namun baru pada 2008 pemantauan siklon tropis benar-benar dilakukan Indonesia.
ADVERTISEMENT
Pada 1998, karena tugas pemantauan siklon tropis oleh Indonesia dinilai belum terlaksana secara optimal, maka tanggung jawab tersebut diambil alih sementara oleh Bureau of Meteorology, Australia. Baru pada 2006, Indonesia kemudian menyatakan kesiapannya memantau siklon tropis di Samudera Hindia bagian tenggara, tepatnya pada 90–125 BT dan 0–10 LS.
Area responsibility TCWC Jakarta (Foto: wmo.int)
Dalam rentang waktu 1998-2006 itu terdapat dua siklon tropis yang tumbuh di sekitar wilayah Indonesia yakni Siklon Tropis Vamei (26–31 Desember 2001) dan Siklon Tropis Inigo (30 Maret–9 April 2003).
Di awal tahun 2008 Badan Meteorologi Dunia memberi kewenangan kepada BMKG untuk menamai siklon yang terbentuk perairan Indonesia.
Wilayah wewenangnya berada di region Pasifik mulai dari ekuator sampai 10 derajat lintang selatan dan 90 derajat bujur timur hingga 125 derajat bujur timur.
ADVERTISEMENT
Wilayah tersebut dimulai dari Laut Sumatera sampai Sulawesi, sedangkan dari sebelah timur Laut Sulawesi sampai Irian sudah merupakan wilayah wewenang Darwin.
Sedangkan batas dari mulai ekuator ke utara termasuk bagian utara laut sumatera dan laut utara kalimantan sudah memasuki wilayah tanggung jawab RSMC New Delhi dan Tokyo.
Dari Wayang Menjadi Bunga
Pada April 2008, TCWC Jakarta pun resmi beroperasi. Di bulan yang sama, siklon tropis terjadi. Pada saat itu TCWC mengajukan 4 nama yaitu Rahwana, Togog, Durna, dan Durga. Keempat nama tersebut diambil dari tokoh pewayangan yang dinilai dekat dengan budaya Indonesia.
Pemberian wewenang kepada setiap negara untuk memberikan nama pada siklon yang terbentuk di wilayah pantauannya ini bertujuan untuk membantu mempermudah identifikasi.
ADVERTISEMENT
Keunggulan ini sangat penting dalam pertukaran informasi badai yang terperinci antara ratusan stasiun yang tersebar, pangkalan pantai, dan kapal laut.
Pergerakan siklon tropis Cempaka. (Foto: Antara/Rivan Awal Lingga)
Menurut Badan Meteorologi Dunia (WMO), pengalaman membuktikan bahwa identifikasi menggunakan lintang dan bujur malah memperumit penyebaran informasi. Memberikan nama sesuai dengan karakter wilayah terbentuknya siklon akan mempermudah media dalam memberitakan, meningkatkan kepedulian terhadap peringatan, dan meningkatkan kesiapsiagaan masyarakat.
Nama Durga pun dipilih untuk menjadi nama siklon tropis yang terjadi di barat daya perairan Bengkulu pada 22-25 April 2008.
Nama Durga yang sangat khas dengan budaya pewayangan di Indonesia ternyata menimbulkan protes karena Durga juga lekat dengan umat Hindu India.
Dalam agama Hindu, Durga adalah sosok mahadewi yang memiliki sifat tangguh sekaligus keibuan. Durga adalah nama seorang dewi dalam kepercayaan umat Hindu. Dikutip dari mantrahindu.com, Durga melambangkan kekuatan maha tinggi yang mempertahankan tatanan moral dan kebenaran di alam semesta.
Durga (Foto: AFP/Sanjay Kanojia)
India pun melayangkan protes untuk tidak menggunakan nama dari negara mereka.
ADVERTISEMENT
“Semacam mengambil patennya India,” kata kepala BMKG Dwikorita Karnawati saat berbincang dengan kumparan (3/12) di rumahnya di Yogyakarta.
Untuk menghindari konflik, akhirnya TCWC memutuskan untuk menggati dan menggunakan nama-nama bunga.
Kepala Pusat Data dan Informasi Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB) Sutopo Purwo Nugroho mengatakan bahwa penggunaan nama bunga ini memiliki beragam alasan. Salah satunya adalah mengurangi rasa ketakutan akan datangnya bencana.
“Dipilih nama bunga itu agar memberi kesan menyejukkan,” kata Sutopo.
Nama bunga ini diharapkan tidak menambah ketakutan dan kepanikan warga atas ancaman bahaya siklon tropis. Sehingga mitigasi bisa dilakukan dengan baik.
Rita bercerita, saat ada hujan di lereng yang berpotensi longsor maka petugas akan keliling mengimbau warga untuk turun. Petugas yang menaiki motor trail akan berteriak “Turun! Turun! Longsor!”
ADVERTISEMENT
“Coba kalau ditambahkan ‘awas siklon Drakula sudah mau datang!’ itu kan turunnya jadi kepontal-pontal. Kalau waktu (Cempaka atau Dahlia) itu kan turunnya agak tenang,” tutur Rita.
Rasa panik memiliki pengaruh yang signifikan pada kemampuan seseorang dalam merespons risiko bencana.
Dampak Siklon Tropis Cempaka dan Dahlia. (Foto: Antara)
“Ada aspek-aspek yang membuat kita jangan memberi nama-nama sadis atau horor, jadi beban mental dan hati, sudah susah kok tambah susah lagi,” ujar mantan Rektor UGM ini selanjutnya.
Selain itu, Koordinator TCWC Jakarta 2008-2014 A. Fachri Radjab menulis, “sesuai dengan karateristik bunga yang memiliki aroma yang wangi, diharapkan kehadiran siklon tropis sudah dapat terdeteksi dari jauh, seperti halnya kita dapat mencium aroma bunga walau dari jauh”.
Maka dipilihlah nama bunga asli Indonesia agar mudah dikenal dan diingat oleh masyarakat, juga membawa semangat bahwa terjadinya siklon harus bisa terdeteksi sedini mungkin seperti aroma bunga yang tercium dari jauh.
ADVERTISEMENT
Ada dua daftar nama yang sudah disiapkan oleh TCWC Jakarta dan diurut sesuai abjad.
Daftar pertama diambil dari nama bunga, terdiri dari Anggrek (2010), Bakung (2014), Cempaka (2017), Dahlia (2017), kemudian Flamboyan, Kenanga, Lili, Mangga, Seroja, Teratai.
Jika daftar tersebut telah terpakai, TCWC Jakarta telah menyiapkan daftar nama lain yang diambil dari nama buah, yaitu Anggur, Belimbing, Duku, Jambu, Lengkeng, Melati, Nangka, Pisang, Rambutan, dan Sawo.
Siklon Tropis (Foto: AFP)
Menamai Badai
Awalnya, badai dinamakan sewenang-wenang. Sebagai contoh, badai di perairan Atlantik pada 1842 yang merobek tiang kapal bernama Antje kemudian dikenal dengan Badai Antje.
Penamaan badai juga pernah menggunakan nama-nama santo sesuai tanggal terjadinya peristiwa. Sebagai contoh, pada 13 September 1876 terjadi angin ribut yang menerjang Puerto Rico, lalu diberi nama Topan San Felipe. Ketika badai kembali terjadi pada 13 September 52 tahun kemudian, badai itu diberi nama Topan San Felipe II.
ADVERTISEMENT
Posisi latitude dan longitude terjadinya badai pun pernah digunakan sebagai nama badai. Namun metode itu membingungkan dan menyulitkan komunikasi serta penyebaran informasi.
Untuk membuat sistem penamaan yang lebih teratur dan efisien, WMO kemudian memutuskan untuk mengidentifikasi badai dengan menggunakan nama yang disusun secara alfabet. Dengan demikian, badai dengan nama yang dimulai dengan A, seperti Anne, akan menjadi badai pertama yang terjadi.
Nama-nama yang telah digunakan bisa dipakai kembali di masa depan atau diganti dengan nama-nama baru yang diajukan.
Untuk nama-nama badai, topan, atau siklon yang mematikan dan menghancurkan tidak akan digunakan kembali di masa depan karena khawatir akan menimbulkan trauma dan sentimen tertentu. Seperti Taifun Haiyan yang menyerang Filipina di tahun 2013, Topan Sandy pada 2012, dan Katrina yang menyerang Amerika Serikat pada 2005 adalah contoh nama yang telah masuk daftar hitam atau blacklist di WMO.
ADVERTISEMENT
Penamaan yang tak diulang seperti menegaskan harapan untuk menutup lembaran pahit masa lalu.
Siklon tropis di Indonesia (Foto: Bagus Permadi/kumparan)