Ketua PB IDI: Penyembuhan Terawan Ada yang Berhasil, Ada yang Gagal

9 April 2018 12:22 WIB
comment
2
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Ketua Umum IDI Prof. Dr. I. Oetama Marsis (Foto: Jamal Ramadhan/kumparan)
zoom-in-whitePerbesar
Ketua Umum IDI Prof. Dr. I. Oetama Marsis (Foto: Jamal Ramadhan/kumparan)
ADVERTISEMENT
Pengurus Besar Ikatan Dokter Indonesia (PB IDI) menunda pemecatan Mayjen dr Terawan Agus Putranto. Keputusan diambil melalui rapat majelis pimpinan pusat pada Minggu (8/4) kemarin.
ADVERTISEMENT
Ketua Umum PB IDI Prof. dr Ilham Oetama Marsis mengatakan, salah satu faktor penangguhan pemecatan itu adalah prestasi dr Terawan yang berhasil mengobati pasiennya. Meskipun, ia juga tak memungkiri ada banyak pasien yang tak mendapat kesembuhan dengan metode yang dilakukan dr Terawan.
"Masalah 40 ribu orang sudah diobati Terawan. Tentu kita lihat ada yang berhasil dan gagal," kata Ilham di Sekretariat PB IDI, Jalan Sam Ratulangi, Menteng, Jakarta Pusat, Senin (9/4).
Ilustrasi Dokter Terawan (Foto: Faisal Nu'man/kumparan )
zoom-in-whitePerbesar
Ilustrasi Dokter Terawan (Foto: Faisal Nu'man/kumparan )
Dia melanjutkan, IDI tak ingin gegabah soal pemecatan dr Terawan. Apalagi, surat pemecatan dari Majelis Kehormatan Etik Kedokteran (MKEK) yang bocor telah menimbulkan banyak asumsi publik.
"Saya katakan tentunya itulah yang sedang kita bahas. Makanya kita buat keputusan yang tidak gegabah," tutur Ilham.
ADVERTISEMENT
Dia melanjutkan, penangguhan pemecatan itu, akan ditindaklanjuti dengan pengujian ilmiah soal metode dr Terawan yang kontroversial tersebut. Namun, Ilham mengatakan, ia menyerahkan prosedur pengujian itu kepada Kementerian Kesehatan.
"Majelis Pimpinan Pusat (MPP) merekomendasikan penilaian tehadap tindakan terapi dengan metode DSA dilakukan oleh tim Health Technology (HTA) Kementerian Kesehatan RI," kata Ilham.
Dengan diadakannya pengujian, diharapkan dapat diketahui apakah terapi 'cuci otak' dr Terawan memang dapat diterapkan kepada pasien atau tidak. Dan pengujian ini, kata Ilham, harus dilakukan oleh tim Health Technology (HTA) Kementerian Kesehatan.
"Kalau Kementerian Kesehatan belum menetapkan sebagai syarat, layanan tentu belum boleh dilakukan. Perlu ada standar untuk diberlakukan," pungkasnya.