Kisah Anjing Penjaga di Gerbang Pendakian Gunung Agung

26 September 2017 1:20 WIB
comment
1
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Pura Besakih (Foto: Wikimedia commons)
zoom-in-whitePerbesar
Pura Besakih (Foto: Wikimedia commons)
ADVERTISEMENT
Gunung Agung di Karangasem, Bali, saat ini berstatus awas dan terus bergejolak. Jalur pendakian ke gunung tersebut ditutup sementara hingga statusnya dinyatakan normal kembali.
ADVERTISEMENT
Jalur pendakian resmi ke Gunung Agung adalah melalui Pura Besakih, yang merupakan pura paling agung di Bali. Pendakian ke Gunung Agung juga ditutup jika masyarakat Bali atau umat Hindu sedang melaksanakan ibadah di Pura Besakih.
Gunung Agung, yang dianggap suci oleh masyarakat Bali, memiliki beberapa aturan khusus yang harus ditaati pendaki. Selain aturan umum tentang pendakian, ada satu larangan yang hanya ada di Gunung Agung, yakni tidak boleh membawa segala macam bentuk daging. Setiap barang bawaan pendaki akan dicek di kantor polisi sebelum memasuki jalur pendakian.
"Sweeping dilakukan di Polsek Karangasem. Semua yang mengandung daging, termasuk corned, dilarang dibawa ke atas," kata salah satu pendaki Gunung Agung, Fahmi (32).
Gunung Agung, Bali (Foto: Sonny Tembelaka/AFP)
zoom-in-whitePerbesar
Gunung Agung, Bali (Foto: Sonny Tembelaka/AFP)
Setelah sweeping di Polsek Karangasem, mereka berjalan kaki ke Pura Besakih. Di pura tertinggi di Bali yang sekaligus gerbang rimba menuju jalur pendakian Gunung Agung itu, mereka 'disambut' beberapa anjing penjaga.
ADVERTISEMENT
"Waktu kami tiba di pura itu, memang ada anjing di sana. Sempat berhamburan (lari) karena kaget ada anjing menggonggong," kata Fahmi yang mendaki Gunung Agung tahun 2005 ini.
Anjing tersebut juga sempat mengiringi pendakian mereka. Namun Fahmi tak ingat betul sampai mana anjing tersebut mengiringinya.
"Memang dia (anjing) itu ngikuti pendaki. Tapi sampai mananya aku lupa. Waktu itu kami jalan malam," ujar pria asal Bengkulu ini.
Hal senada juga dikatakan Oki, yang mendaki bersama Fahmi. "Anjing kampung memang banyak di Pura Besakih. Di jalur ini memang banyak (anjing)," katanya saat dikonfirmasi terpisah.
Pria asal Pati, Jawa Tengah, ini mengatakan, pengalaman pendakiannya di Gunung Agung memang terasa berbeda. Meski tidak menyebut secara spesifik, namun menurutnya nuansa mistis di gunung tertinggi di Pulau Dewata ini sangat terasa.
ADVERTISEMENT
"Mistisnya memang kuat. Ya tetap ada lah, hal-hal ngono kui," katanya.
Pendaki lainnya, Ega Saputra, juga berpendapat serupa. Ega yang mendaki Gunung Agung pada tahun 2011 ini mengakui gunung tersebut memiliki 'nuansa' yang berbeda.
"Dibanding dengan gunung yang lain, beda memang gunung sana. Dan bersih banget, orangnya tertib. Sampah juga dibawa," kata pria asal Pekalongan ini.
Kisah anjing penjaga ini juga pernah ditulis oleh salah seorang pendaki, Ni Made Taman (38), dalam akun Facebooknya. Taman yang mendaki bersama rombongannya pada Agustus 2016, mengaku ditemani anjing yang disebutnya sebagai penunggu Gunung Agung bernama Jhoni.
Jhoni bahkan memandu pendakiannya dari bawah hingga ke puncak dan turun kembali di Pura Besakih. Saat hampir tersesat, Taman mengaku diselamatkan oleh anjing berbulu hitam-putih ini. Taman yang sudah beberapa kali mendaki Gunung Agung, mengaku baru kali itu mendaki ditemani Jhoni.
ADVERTISEMENT
Mendaki Harus Ditemani Orang Suci
Sesuai namanya, Gunung Agung memang menyimpan keagungan. Menurut warga Bali, pada zaman dahulu, setiap pendakian ke Gunung Agung harus ditemani oleh 'orang suci'.
"Pendeta atau orang yang disucikan, kalau wanita tidak boleh mens," ucap salah satu warga Bali, Yusa, menjelaskan maksud 'orang suci' itu.
Untuk aturan wanita menstruasi dilarang mendaki gunung memang lumrah. Sebagian besar aturan pendakian gunung di Indonesia menerapkan hal itu. Namun, ketentuan harus ditemani 'orang suci', hanya ada di Gunung Agung.
Yusa menjelaskan, bagi warga Bali, gunung adalah tempat suci yang merupakan simbol purusa, lelaki, bapak. Sedangkan laut adalah pradhana, perempuan, ibu. Mereka mempercayai, gunung meletus bukan sebagai bencana alam, namun semacam rahmat.
ADVERTISEMENT
"Gunung meletus bagi sebagian orang Bali percaya, itu bagian dari alam yang ingin mengembalikan keseimbangan. Bukan sebagai bencana yang menghancurkan," katanya.