Kisah Barend, Pengungsi yang Rintis Usaha Minyak Kayu Putih di Maluku

28 April 2018 8:54 WIB
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Barend tunjukkan menyerut daun kayu putih (Foto: Hesti Widianingtyas/kumparan)
zoom-in-whitePerbesar
Barend tunjukkan menyerut daun kayu putih (Foto: Hesti Widianingtyas/kumparan)
ADVERTISEMENT
Selain keindahan alamnya, Maluku juga terkenal akan produksi minyak kayu putih yang berkhasiat. Salah satu pengolahan yang tersohor adalah UD Sinar Kasih milik Barend Uspitany yang berada di Desa Suli, Salahutu, Maluku Tengah.
ADVERTISEMENT
UD Sinar Kasih milik Barend telah beroperasi sejak 2000. Barend merupakan pengungsi asal Pulau Hatta, Banda Neira yang pindah pada 1999 dikarenakan konflik sektarian di Kepulauan Maluku. Akibatnya, keluarganya Barend beserta 205 keluarga lain tergusur dari pulau itu.
Setibanya di Desa Suli --kerap disebut Suli Banda karena dihuni pengungsi dari Banda Neira-- Barend dan 1.000 pengungsi lainnya membangun gereja dan rumah untuk dihuni. Harus memutar otak demi penghidupan, ia memutuskan untuk mengolah pohon kayu putih yang tumbuh liar di pemukimannya.
“Tadinya saya mau ambil usaha laut tapi jauh dari laut, jadi saya usaha ini karena dekat pohon kayu putih,” tuturnya saat ditemui kumparan (kumparan.com), Jumat (27/4).
Barend tunjukkan ketel (Foto: Hesti Widianingtyas/kumparan)
zoom-in-whitePerbesar
Barend tunjukkan ketel (Foto: Hesti Widianingtyas/kumparan)
Barend tahu bahwa ia tak bisa sendiri untuk menggerakkan usaha yang ia beri nama Minyak Kayu Putih Cap Eriwakang, dari Gunung Eriwakang di Suli. Oleh karena itu, pendeta yang mengambil jurusan Wirausaha Mandiri dari Institut Agama Kristen Oikumene ini membuat kelompok kecil yang dianggotakan tetangganya.
ADVERTISEMENT
Namun begitu, mereka tak paham cara mengolah pohon kayu putih jadi minyak, lantaran di Banda Neira tidak ada tumbuhan tersebut. “Saya panggil mereka, saya buat pelatihan. Kelompoknya itu tukar-tukar, jadi seluruh masyarakat (di sini) sudah semua,” lanjut Barend.
Sebenarnya, Barend bukanlah orang pertama yang memproduksi minyak kayu putih. Ia menyebut saat tiba di Desa Suli, sudah ada yang melakukannya, akan tetapi tak bertahan lama.
“Saya lapor ke kepala desa saya mau buat. Kami bersaing sampai (usaha) saya tinggal sendiri,” kata dia.
Strategi bisnisnya tak begitu rumit. Barend hanya membayar lebih senilai Rp 150 per kilogram kepada pengumpul daun kayu putih, yang biasanya mendapat Rp 25 per kilogram. Kini, harga daun telah melambung senilai Rp 1.000 per kilogramnya.
ADVERTISEMENT
Selain itu, pria berusia 63 tahun ini mengatakan bahwa pesaingnya dulu tak lagi mendapat untung dari produksi minyak kayu putih. “Tapi buat saya, saya paling untung karena saya juga menolong orang lain, itu kan juga keuntungan,” ucap Barend.
Pegawai pengolahan kayu putih (Foto: Hesti Widianingtyas/kumparan)
zoom-in-whitePerbesar
Pegawai pengolahan kayu putih (Foto: Hesti Widianingtyas/kumparan)
Pada 2006, usaha Barend dan warga Desa Suli mulai diperhatikan pemerintah dengan direkrutnya UD Sinar Kasih oleh Badan Kependudukan dan Keluarga Berencana Nasional (BKKBN). Bahkan ia mendapatkan dua buah ketel (mesin pendidih) dari Presiden Joko Widodo pada peringatan Hari Pers Nasional 2017 lalu.
“Bila itu ketel ada gangguan, instansi pemerintah beri perhatian dan malah ganti juga dengan yang baru,” jelasnya.
Hingga sekarang, Barend yang mengolah 56 hektare lahan pohon kayu putih milik warga itu, dibantu sekitar 50 tenaga lepas untuk mengumpulkan daun. Ada pula tujuh karyawan tetap yang bertugas di pengolahan dan pemasaran produk.
ADVERTISEMENT
Hasil dari usaha Barend pun tak main-main. UD Sinar Kasih tiap bulannya dapat memproduksi sekitar 80 sampai 100 botol minyak kayu putih berukuran 600 mililiter. Turut memanfaatkan media sosial, produk yang dijual mulai kisaran harga Rp 50 ribu - Rp 200 ribu itu juga telah dipasarkan sampai 30 negara, termasuk Australia, Jepang, dan Inggris.