Kisah Bemo yang Semakin Tergerus Zaman

11 Juni 2017 14:33 WIB
comment
2
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Bemo di Jakarta (Foto: Wikimedia Commons)
zoom-in-whitePerbesar
Bemo di Jakarta (Foto: Wikimedia Commons)
ADVERTISEMENT
Surat Edaran Kadishub Nomor 84/SE/2017 membuat nasib bemo di ujung tanduk. Mobil barang buatan Jepang tersebut harus rela tempatnya diganti moda transportasi yang lebih modern.
ADVERTISEMENT
Meski bemo telah dilarang per 5 Juni 2017, masyarakat masih dapat menemui bemo, akronim dari becak motor, di beberapa titik di Ibu Kota, salah satunya di kawasan Bendungan Hilir, Jakarta Pusat. Saat disambangi kumparan (kumparan.com), Minggu (11/6) siang, masih terlihat sejumlah bemo yang membawa 3 hingga 6 orang penumpang.
Salah satu pengemudi bemo yang telaten menekuni profesi ini adalah Haerul. Sejak merantau dari Slawi, Jawa Tengah, ke Jakarta pada tahun 1980-an, Haerul (59) sudah memantapkan diri untuk menggeluti pekerjaan apa saja yang ditawarkan. Hingga akhirnya Haerul yang waktu itu masih berumur 20 tahun, ditawari untuk menjadi sopir bemo.
Bemo di kawasan Benhil (Foto: Aria Pradana/kumparan)
zoom-in-whitePerbesar
Bemo di kawasan Benhil (Foto: Aria Pradana/kumparan)
Saat itu, kenang Haerul, bemo sedang berada pada zaman keemasannya. Jumlah penumpang yang naik pun masih sangat banyak.
ADVERTISEMENT
"Bemo ini dikeluarkan dari tahun 1962 hingga saat ini masih kuat mengangkut sebanyak delapan orang," kata Haerul saat mengemudikan bemo miliknya di kawasan Benhil.
Meski tak ada di dokumentasi sejarah, namun Haerul menyebut bahwa bemo didatangkan dari Jepang sebagai hadiah ulang tahun kemerdekaan Indonesia pada tahun 1962.
"Jepang tiga kali memberikan bemo kepada Indonesia sebagai cenderamata. Yaitu pada tahun 1962, 1968 dan terakhir 1971. Dan itu tidak hanya dibagikan di Jakarta saja, tetapi ada di Medan, Malang dan beberapa tempat di Indonesia," kata Haerul bercerita.
Karena banyaknya bemo yang kala itu merajai jalanan Ibu Kota, pada sekitar tahun 1977 trayek-trayek mulai diberlakukan. Salah satu rutenya ialah Bendungan Hilir hingga Tanah Abang, tempat dirinya biasa mangkal. Sementara puncak kejayaan bemo dirasakan Haerul pada tahun 1984 hingga tahun 1990.
ADVERTISEMENT
Tak hanya suku cadang yang langka, kondisi fisik bemo pun tampak menua di banyak sisinya.  (Foto: Damianus Andreas)
zoom-in-whitePerbesar
Tak hanya suku cadang yang langka, kondisi fisik bemo pun tampak menua di banyak sisinya. (Foto: Damianus Andreas)
"Saat itu bemo bisa berada di jalanan mana pun untuk mengantarkan penumpang, seperti taksi dan bajaj sekaranglah," tambahnya.
Namun, persoalan menjadi pelik tatkala pada tahun 1990-an, beredar isu kalau bemo akan diganti dengan transportasi lain.
"Tahun 1996 bemo diganti oleh angkot, tapi bukan atas persetujuan gubernur. Kalau memang itu atas persetujuan gubenur, berarti dari 1996 sudah nggak ada bemo dong," kata dia.
Haerul juga mengatakan di tahun itu juga, Dinas Perhubungan DKI Jakarta melarang sopir bemo untuk memperpanjang izin trayek dan izin usaha. "Dishub melarang kita untuk memperpanjang trayek dan izin usaha. Sedangkan STNK masih bisa diperpanjang oleh Polda Metro Jaya," katanya.
ADVERTISEMENT
Waktu begitu cepat berlalu, hingga moda transportasi darat di Jakarta semakin banyak. Bemo makin hari semakin ditinggalkan oleh penumpangnya. Hingga para sopir yang menggantungkan hidupnya di bemo, saat ini hanya bisa menggunakan trayek jarak pendek. Itu pun di jalanan nomor tiga, seperti jalan perkampungan.
"Saat ini kita memakai trayek pendek Benhil-Pejompongan untuk melayani warga setempat dan anak sekolah (SD), karena di Tanah Abang sudah banyak kendaraan umum lain," katanya.
Bemo di kawasan Benhil (Foto: Aria Pradana/kumparan)
zoom-in-whitePerbesar
Bemo di kawasan Benhil (Foto: Aria Pradana/kumparan)
Haerul juga mengaku setiap menjelang Lebaran, isu tentang penghapusan bemo di DKI Jakarta kerap muncul. "Setiap mau Lebaran ada isu akan menghapus bemo, dan tempat parkir bemo akan diganti dengan lahan parkir oleh orang luar Benhil," imbuhnya.
Haerul mengaku hingga saat ini para sopir bemo masih rutin membayar pajak yang nilainya mencapai 200 hingga 300 ribu rupiah per tahun. "Kalau tahun 90-an itu pajak bemo Rp 40 ribu," kenangnya.
ADVERTISEMENT
Haerul dan rekan sesama sopir demo lain mengaku pasrah dengan adanya surat edaran pelarangan bemo. Namun mereka masih memiliki setitik harapan agar bemo dibiarkan punah dengan sendirinya, seiring perkembangan zaman.
Saat ini Haerul dkk optimistis jasa bemo masih dibutuhkan masyarakat, meski hanya di jalanan kecil.
"Biarkan ada bemo dan biarkan hilang dengan alami. Hilang alami itu artinya tidak ada peminatnya, tapi saat ini masih banyak peminatnya," tutup Haerul sambil menyeka peluhnya di terik matahari siang ini.