Kisah Buzzer: Tulis Artikel Sendiri Dikomentari Sampai Trending

6 September 2018 9:53 WIB
comment
1
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
ADVERTISEMENT
“Saya jadi buzzer 1,5 tahun,” ucap pria berbaju kemeja biru itu saat berbincang santai dengan kumparan beberapa pekan lalu.
ADVERTISEMENT
Sebut saja namanya Rahaja, usianya baru 25 tahun. Sempat bergelut dalam dunia buzzer, Rahaja kini memilih pensiun dan beralih profesi menjadi pegawai BUMN.
Dia berbagi cerita soal pekerjaan buzzer yang dulu pernah dilakoninya. Kisah Rahaja dimulai ketika dia diajak oleh senior di kampus untuk menjadi konsultan politik, kebetulan salah satu tugasnya adalah menjadi buzzer.
lika-liku buzzer. (Foto: Aditia Noviansyah/kumparan)
Tanpa pelatihan sedikit pun, dia mulai menjalani pekerjaan sebagai buzzer dengan sepengetahuan orang tuanya. Saat itu sedang hangat-hangatnya Pilkada DKI 2017. Rahaja menjadi buzzer salah satu pasangan calon Pilkada DKI.
Menjadi buzzer politik, banyak detail pekerjaan yang harus dilakukan Rahaja. Dia harus melempar isu berdasarkan riset-riset dari berita yang ada. Pemfilteran berita pun dilakukan demi memperoleh sumber yang valid.
ADVERTISEMENT
Rahaja harus menuliskan beberapa artikel untuk diunggah ke beberapa media sosial. Artikelnya pun tak hanya sekadar ditulis lalu diunggah, tapi juga harus menjadi trending.
“Pernah waktu itu nulis di Kompasiana, lalu dikomen sendiri pakai akun-akun lain. Jadinya trending deh dan kebaca orang akhirnya,” ujar Rahaja saat berbincang dengan kumparan, Selasa (14/8).
Ilustrasi Buzzer (Foto: Aditia Noviansyah/kumparan)
Untuk mengomentari unggahannya, Rahaja menggunakan banyak akun palsu. Dia juga bekerja dalam tim. Satu tim buzzer itu berisi sebelas orang yang memegang kurang lebih sekitar 300 akun palsu.
Banyaknya akun tersebut digunakan sesuai kebutuhan, bisa untuk membantu supaya unggahan yang dibuat menjadi trending atau juga untuk menangkal berita-berita negatif yang menyerang calon yang didukung.
Aktivitas tersebut terus Rahaja lakukan selama menjadi buzzer politik. Baginya, membuat unggahan trending di Kompasiana dan Twitter bukan perkara sulit. Namun, di wadah lainnya seperti di Instagram itu merupakan hal yang sulit.
ADVERTISEMENT
Dalam menjalani setiap pekerjaannya itu, kadang Rahaja berkeluh kesah. Kecepatan adalah tuntutan utama saat menjadi buzzer politik.
“Enggak enak kerjanya ya, kerjanya enggak enak. Tiba-tiba ada kasus mesti, eh standby. Mesti kerja, ngadu, apa ngadu opinilah. Ngadu opini jadi waktunya fleksibel sebenarnya dan memang cukup panjang durasi kerjanya, benar-benar depan komputer mesti update isu, isu terbaru,” urai Rahaja.
Meski begitu, Rahaja mengaku menemukan keseruan tersendiri selama menjadi buzzer politik, khususnya saat Pilkada DKI Jakarta.
“Itu adalah peperangan buzzer paling real, paling besar, paling menyenangkan. Karena banyak banget variabel-variabel yang membuat itu semua jadi seru. Seru banget,” ungkap dia.
Ilustrasi Buzzer (Foto: Aditia Noviansyah/kumparan)
Anti-baper
Tidak semua buzzer politik berada dalam barisan yang selaras. Saling serang satu sama lain adalah hal yang biasa. Walaupun demikian, sebagai buzzer politik, Rahaja cenderung menikmatinya dan enggan mengambil hati.
ADVERTISEMENT
“Kalau gue pribadi enggak gondok karena ketika sudah mencoba profesional atau ini lo sudah enggak akan baper kasarnya akan membawa perasaan. Ini hanya politik gitu,” terang Rahaja.
Rahaja tidak menyangkal ada beberapa buzzer politik yang cenderung baper ketika terlibat saling serang. Biasanya mereka adalah buzzer dalam tingkatan grassroot (bawah) yang tidak mengerti bahwa hal tersebut hanyalah sekadar permainan.
“(Mereka) bisa baper banget bahkan sampai dendam kesumat kali ke anak 7 turunan. Ya mungkin ada seorang bapak, anaknya enggak sesuai sama pilihan dia dimarah-marahain. Itu kejadian,” sebut Rahaja.
Ilustrasi Buzzer (Foto: Aditia Noviansyah/kumparan)
Sedari awal bekerja menjadi buzzer politik, Rahaja sudah memposisikan diri bahwa ini hanyalah strategi marketing dan merupakan bagian dari sebuah bisnis.
ADVERTISEMENT
Serangan-serangan yang dia lancarkan pun ada aturan mainnya, tidak asal serang dengan sembarang isu. Rahaja menghindari betul black campaign (palsu, bohong, atau fitnah) dan terkadang hanya melontarkan negative campaign.
“Selama gue jadi buzzer gue punya prinsip, gue enggak akan fitnah. Mungkin negatif, misalnya ngasih unjuk kekurangan lawan. Tapi itu berdasarkan berita,” tegas dia.
Terlepas dari kesulitan yang dirasa Rahaja dan keteguhan prinsip di hatinya, nyatanya keberadaan buzzer politik begitu penting bagi politisi. Menurut Rahaja sudah sedari dulu para politisi menggunakan jasa buzzer dalam berbagai bentuk, semisal lewat koran atau orang-orang yang berdemo.
Buzzer representatif dari masyarakat untuk mendukung suara politikus. Itu penting banget,” ujar Rahaja.
Bagi Rahaja, buzzer tidak hanya identik dengan akun-akun palsu di media sosial. Semua yang bersuara, beropini, mendukung apa yang dipilih bisa dikategorikan sebagai buzzer. Media sosial hanyalah wadah untuk menyampaikan pendapat tersebut mengingat saat ini masyarakat tengah masuk ke era teknologi.
ADVERTISEMENT
“Kitanya doang yang kaget karena baru tahu. Sebenarnya kalau ini adalah sesuatu yang lumrah,” pungkas Rahaja.
Jadi, menurut Rahaja biarlah buzzer bersuara karena merupakan bagian dari kekayaan demokrasi yang dimiliki oleh Indonesia.
“Kan demokrasi adalah bersuara intinya. Buzzer terlalu kompleks (enggak semua sama),” katanya.
---------------------------------------------------------------
Simak pengakuan para mantan buzzer selengkapnya dalam konten spesial Lika-Liku Buzzer.