Kisah Jelilova, Muslim Uighur yang Pernah Ditahan di Xinjiang China

12 Januari 2019 20:59 WIB
Mantan tahanan Uighur di Kamp Re-edukasi, Xinjiang, Gulbahar Jelilova (ketiga kanan). (Foto: Adhim Mugni Mubaroq/kumparan)
zoom-in-whitePerbesar
Mantan tahanan Uighur di Kamp Re-edukasi, Xinjiang, Gulbahar Jelilova (ketiga kanan). (Foto: Adhim Mugni Mubaroq/kumparan)
ADVERTISEMENT
sosmed-whatsapp-green
kumparan Hadir di WhatsApp Channel
Follow
Gulbahar Jelilova, seorang mantan tahanan Uighur di Provinsi Xinjiang, China, berbagi pengalaman pahitnya saat ditahan Pemerintah China. Jelilova sebenarnya berasal dari Kazakhstan, tapi beretnis Uighur.
ADVERTISEMENT
Sudah sejak lama ia berbisnis di perbatasan China-Kazahstan. Ia ditangkap aparat Pemerintah China di Kota Urumqi, dengan tuduhan telah mentransfer sejumlah uang secara ilegal. Ia pun membagikan kisahnya pada saat ditahan di Xinjiang bersama Muslim Uighur lainnya selama satu tahun tiga bulan 10 hari.
"Saya diancam dihukum 10 tahun," kata Jelilova menceritakan kisahnya dalam diskusi 'Kesaksian dari Balik Tembok Penjara Uighur' di Restoran Bebek Bengil, Menteng, Jakarta Pusat, Sabtu (12/1).
Di dalam penjara itu, cerita Jelilova, terdapat sejumlah orang dengan beragam usia, mulai dari 14 tahun sampai 80 tahun. Menurutnya, di sana, Muslim Uighur menggunakan pakaian serba hitam dari ujung kepala hingga kaki, serta diborgol tangan dan borgol kaki yang beratnya mencapai 5 kg.
ADVERTISEMENT
"Selain penyiksaan, mereka juga medapat pelecehan seksual. Saya sering melihat orang dengan siksaan. Darah mengalir dari kepalanya. Saya pernah tiga kali jatuh pingsan karena saking pedihnya pengalaman yang dirasakan," ungkapnya.
Selama hidup di dalam tahanan, ia tinggal di dalam ruangan yang berukuran 7x3 meter, dengan tinggi 6 meter, tanpa jendela dan satu pintu. Menurutnya, dari jam 5 sore hingga jam 10 malam waktu setempat, para tahanan diwajibkan menatap lurus ke sebuah dinding dan terkadang menonton TV tentang pemerintah China.
Perwakilan masyarkat Uighur sumbang korban bencana Selat Sunda sebesar USD 20 ribu melalui ACT. (Foto: Adhim Mugni Mubaroq/kumparan)
zoom-in-whitePerbesar
Perwakilan masyarkat Uighur sumbang korban bencana Selat Sunda sebesar USD 20 ribu melalui ACT. (Foto: Adhim Mugni Mubaroq/kumparan)
"TV program China, propaganda komunis China untuk mereka tonton setiap hari. Di sini mereka diwajibkan bersumpah, mengatakan terima kasih, berharap dan hanya memohon kepda Presiden China, dan jika tidak menuruti apa yang disuruh mereka, maka akan mendapat siksaan," imbuhnya.
ADVERTISEMENT
Kepedihan lainnya yang diceritakan Jelilova adalah ketika tidur harus bergantian. Karena, di sana ruang tahanan yang sempit hanya bisa diisi oleh 40-45 orang. Sehingga, para tahanan hanya diberi jatah tidur 2 jam karena bergiliran dengan tahanan yang lain.
"Ketika tidur mereka harus berjaga malam, untuk tidur 2 jam, 2 jam bergantian. Karena ruangan yang sempit dan diisi 40-45 orang. Jadi tidurnya 2 jam 20 orang, 2 jam 25 orang yang lain, begitu terus bergantian. Total peorangan hanya bisa tidur 4 jam," sambungnya.
Untuk makan, Jelilova menyebut menunya adalah kuah sayur seukuran gelas belimbing dengan roti yang besarnya hanya sekepal tangan, sebanyak tiga kali sehari.
"Berat badan saya langsung turun 20 kg," ujarnya.
Anggota keluarga pedagang Uighur yang terbunuh mencari keadilan dengan memprotes petisi di luar gedung pemerintah Xinjiang di ibukota Urumqi. (Foto: AFP)
zoom-in-whitePerbesar
Anggota keluarga pedagang Uighur yang terbunuh mencari keadilan dengan memprotes petisi di luar gedung pemerintah Xinjiang di ibukota Urumqi. (Foto: AFP)
Jelilova mengaku akhirnya bisa keluar dari tahanan itu karena ada bantuan dari pemerintah Kazahstan. Sebelum keluar, Jelilova diminta untuk tidak mengungkap kejadian yang dialaminya.
ADVERTISEMENT
"Tiga hari sebelum keluar dari tahanan, dimanjakan, diinapkan di hotel, badannya dipakaikan krim agar tidak terlihat adanya penyiksaan, rambutnya yang sudah memutih diwarnai kembali, didandani supaya lebih segar dan tampak muda, supaya tidak terlihat penyiksaan dan kezaliman," jelasnya.
Sebelumnya, Dubes China untuk Indonesia Xiao Xien membantah terkait adanya penyiksaan terhadap Muslim Uighur. Pemerintah China memberikan jaminan kebebasan beragama dan berpendapat kepada seluruh masyarakat muslim di sana. Hal itu juga berlaku untuk suku Uighur di Xinjiang.
"Mengenai isu camp, ada satu hal yang saya titikberatkan. China adalah negara multisuku dan agama, hal ini mirip dengan Indonesia. Komunikasi pun kami menghormati hak kebebasan beragama yang dilindungi oleh undang-undang di China, masyarakat di sana bisa terbuka menikmati kebebasan," kata Xien dalam kujungannya di kantor PP Muhammadiyah, Menteng, Jakarta Pusat, Jumat (28/12).
ADVERTISEMENT