Kisah Kasih Tak Sampai Bung Karno pada Gadis Tionghoa

6 Februari 2019 20:53 WIB
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Presiden Sukarno Foto: belajar.kemendikbud.go.id
zoom-in-whitePerbesar
Presiden Sukarno Foto: belajar.kemendikbud.go.id
ADVERTISEMENT
"Aku menyukai gadis-gadis yang menarik di sekelilingku, karena gadis-gadis ini bagiku tak ubahnya seperti kembang yang sedang mekar dan aku senang memandangi kembang,” kata Sukarno dalam Bung Karno, Penjambung Lidah Rakjat Indonesia (1966) karya Cindy Adams. Sederet perempuan yang bukan hanya cantik tapi juga pintar memang diketahui dekat dengan sang Proklamator Indonesia itu. Sukarno menjalin hubungan dengan Inggit Garnasih, hingga Ratna Sari Dewi yang merupakan keturunan Jepang. Inggit Garnasih, Fatmawati, hingga Ratna Sari Dewi yang punya darah Jepang.
ADVERTISEMENT
Namun, tahukah kamu, kalau Bung Karno juga pernah memiliki kedekatan khusus dengan perempuan Tionghoa? Rahasia itu terungkap saat Bung Karno berpidato di Kongres Nasional ke-VIII Baperki (Badan Permusyawaratan Kewarganegaraan Indonesia) di Gelora Bung Karno pada 14 Maret 1963. Baperki merupakan salah satu partai peserta Pemilu 1955 yang anggota mayoritasnya beretnis Tionghoa. Sebelum Bung Karno pidato, perwakilan Baperki melantunkan lagu ciptaan mereka sendiri yang berjudul 'Hiduplah Bung Karno'. Lagu itu diaransemen oleh Siauw Giok Tjhan yang merupakan Ketua Baperki. Liriknya menceritakan perjuangan Bung Karno dan kaum Tionghoa dalam memperjuangkan akses minoritas. "Lebih dahulu saya menyatakan terima kasih serta rasa haru saya berhubung dengan dibuatnya dan dinyanyikannya lagu 'Hiduplah Bung Karno'." kata Sukarno seperti dikutip dari buku Sukarno dan China (2008) karya Nurani Suryomukti.
Presiden Sukarno. Foto: perpusnas.go.id
Setelahnya, Bung Karno sedikit intermezo dengan membicarakan rasa tidak sregnya karena harus dikawal voorijder ke manapun ia pergi. Dia tak suka suara sirene voorijder yang menurutnya mengganggu. Namun, pada akhirnya ia mengerti bahwa voorijder melekat kepadanya demi kepentingan negara. Tapi, Bung Karno tetap tak enak hati kepada rakyat yang juga tengah menggunakan jalan yang sama. Apalagi soal suara bising sirene yang dikeluarkan voorijder itu. "Sering saya berkata, mbok ya zonder voorijder tidak perlu pakai sirine meraung-raung. Tapi menurut keterangan pegawai Istana harus begitu. Jadi ya saya ikut saja,” kata Bung Karno. Setelahnya, Bung Karno bicara soal peran vital Baperki dalam mempertahankan integritas bangsa di awal kemerdekaan. Menurut dia, Baperki adalah organisasi yang sangat menjunjung tinggi Pancasila. Tak cuma itu, Baperki merupakan organisasi yang mengedepankan prinsip ‘Bhinneka Tunggal Ika’ dengan cara yang sangat baik. Bagi Sukarno, datang di Kongres Baperki adalah suatu kehormatan. “Ketika saya ditanya, sudikah presiden datang ke kongres Baperki. Saya menjawab dengan tegas, ‘Mau’. Baperki adalah satu perkumpulan yang baik. Baperki adalah salah satu bagian dari revolusi Indonesia,” ujar Bung Karno berapi-api. Bung Karno juga mengingatkan, agar orang Tionghoa tidak lagi minder untuk menunjukkan rasa cintanya kepada Indonesia. Sebab, mereka pun diperlakukan sama dengan warga negara lainnya. Dia menegaskan, darah murni Indonesia atau blasteran tidak penting. Lebih dari itu, semua yang tinggal dan hidup di Indonesia harus berjuang dan mendapat hak yang sama. “Saya sendiri tidak tahu saya asli atau tidak asli itu. Saya sendiri tidak mengadakan perbedaan antara asli dengan tidak asli. Tidak,” tegasnya. Suasana di Gelora Bung Karno menjadi semakin riuh. Terlihat guratan-guratan wajah penuh semangat dari orang-orang keturunan Tionghoa yang duduk dan berdiri di sana.
Seruan Presiden Sukarno Foto: Nederlands Instituut voor Beeld en Geluid
Di saat itulah, Bung Karno mengungkapkan rahasia yang disebutnya belum pernah diungkapkan. Da mengaku, sewaktu muda pernah menjalin hubungan khusus dengan gadis Tionghoa. “Saya mau cerita satu rahasia tatkala saya masih muda. Hampir-hampir saya kawin dengan orang Nio (sebutan untuk nyonya Tionghoa),” ungkap Bung Karno. Saat itu Siauw Giok Tjhan hanya tersenyum simpul. Sementara Ruslan Abdul Ghani yang menjabat Menteri Hubungan Rakyat tak bisa menyembunyikan tawanya.
Siauw Giok Tjhan. Foto: Sabryna Putri Muviola/kumparan
Sayangnya Bung Karno tak mau begitu terbuka soal mantan pujaan hatinya itu. Dia hanya menyebut sang gadis dengan ‘Thiam Nio’. “Saya cuma sebut sebagian nama, she-nya tidak disebutkan. Saya tidak sebutkan she-nya, ada she lantas Thiam Nio. Hampir-hampir saja,” tutur Bung Karno. Namun, kasih Bung Karno ke Thiam Nio tak pernah sampai. Mereka tak jadi menikah. Bung Karno tak mendetilkan, apakah Thiam Nio sebagai cinta pertamanya. Sebab, sewaktu muda, Bung Karno juga pernah dekat dengan putri HOS Tjokroaminoto, Oetari. Namun yang pasti, Bung Karno gagal mempersunting Thiam Nio. Sebab, saat masa kolonial hubungan antara Pribumi dan Tionghoa masih sangat terbatas. Hubungan Bung Karno dan Thiam Nio pun tak direstui oleh kedua orang tua masing-masing.
ADVERTISEMENT
“Pada waktu itu, masih berjalan alam kolonial, alam pramerdeka. Orang tuanya Thiam Nio tidak setuju. Dia berkata,’masak kawin sama orang Jawa! Orang tua saya berkata ‘masak kawin sama orang Tionghoa, peranakan Tionghoa!” ujarnya. Bung Karno melihat, hal ini merupakan bukti warisan kolonial yang harus disingkirkan. Dari zaman saat Jan Pieterzoen Coen memimpin Hindia Belanda di abad ke-17 orang-orang Tionghoa memang dipisahkan dari kaum mayoritas. “Dan ini merembes terus-menerus sampai zaman yang akhir-akhir ini, rasa tidak senang antara mayoritas dan minoritas. Sampai-sampai, Thiam Nio tidak bisa kawin dengan Bung Karno,” ucapnya. Bung Karno memang tidak pernah menggambarkan seperti apa sosok Thiam Nio. Bagaimana warna rambutnya, secantik apa dia, dan ciri-ciri fisik lainnya.
Sukarno Foto: abc.net.au
ADVERTISEMENT