Kisah Korban Tsunami Palu Lebaran di Tenda Pengungsian

5 Juni 2019 16:53 WIB
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Sejumlah korban bencana melaksanakan shalat Id di masjid darurat  Munazalan Mubarakah di Kamp Pengungsian Balaroa, Palu, Sulawesi Tengah, Rabu (5/6). Foto: ANTARA FOTO/Basri Marzuki
zoom-in-whitePerbesar
Sejumlah korban bencana melaksanakan shalat Id di masjid darurat Munazalan Mubarakah di Kamp Pengungsian Balaroa, Palu, Sulawesi Tengah, Rabu (5/6). Foto: ANTARA FOTO/Basri Marzuki
ADVERTISEMENT
Para korban bencana gempa, tsunami, dan likuefaksi di Kota Palu, Sulawesi Tengah, tidak bisa menyembunyikan kesedihannya merayakan Hari Raya Idul Fitri 1440 H di tenda-tenda pengungsian.
ADVERTISEMENT
Akibat bencana pada 28 September 2018 itu, mereka kehilangan tempat tinggal, harta benda, dan bahkan keluarganya. Mereka pun terpaksa tinggal di pengungsian hingga 9 bulan lamanya.
Usai mengikuti salat Id di kawasan pengungsian halaman Masjid Agung Darussalam, Palu, para pengungsi tampak berderai air mata saat berjabat saling memaafkan.
"Sedih pasti. Kalau tahun kemarin lebaran di rumah. Sekarang berlebaran di sini (tenda pengungsian)," kata salah satu pengungsi, Fitri, seperti dilansir Antara.
Meski begitu, Fitri mengaku tetap tabah dan sabar menghadapi kenyataan pahit yang juga dirasakan ratusan kepala keluarga (KK) yang tinggal di sana.
"Semoga kami bisa segera pindah di huntara (hunian sementara). Sebagian sudah pindah. Sisanya kurang tahu bagaimana. Katanya habis lebaran ini," ujarnya.
Sejumlah korban bencana melaksanakan shalat Id di masjid darurat Munazalan Mubarakah di Kamp Pengungsian Balaroa, Palu, Sulawesi Tengah, Rabu (5/6). Foto: ANTARA FOTO/Basri Marzuki
Dia berharap janji-janji yang disampaikan baik oleh pemerintah pusat dan pemerintah daerah mengenai huntara bukan hanya isapan jempol belaka.
ADVERTISEMENT
Tak hanya Fitri, pengungsi korban likuefaksi Balaroa juga berharap demikian.
"Saya dengan keluarga sudah capek dan bosan tinggal di tenda pengungsian ini. Mana belum ada kejelasan dari pemerintah soal kapan kami pindah ke huntara," keluh salah satu pengungsi, Yulista.
Dia dan keluarga yang kehilangan tempat tinggal akibat likuefaksi di kawasan Perumnas Balaroa, tidak bisa menyembunyikan kesedihannya merayakan lebaran di tenda pengungsian.
"Kalau bapak ibu mau tahu bagaimana rasanya tinggal sembilan bulan lamanya di tenda pengungsi. Kemari saja. Rasakan sendiri tidur tidak lelap, malam kedinginan dan kalau siang hari panasnya minta ampun," katanya.
Meski demikian, dia bersyukur masih dapat merayakan lebaran dengan keluarga sekalipun duka pada 28 September 2018 belum bisa hilang dari ingatannya.
ADVERTISEMENT