Kisah Mahasiswa Indonesia di Jerman yang Harus Beli Indomie Online

21 Januari 2019 16:05 WIB
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Rahmi Ariani, mahasiswa Indonesia yang sedang menempuh pendidikan doktoral di Universitas Göttingen, Jerman. (Foto: Dok. Daniel Chrisendo)
zoom-in-whitePerbesar
Rahmi Ariani, mahasiswa Indonesia yang sedang menempuh pendidikan doktoral di Universitas Göttingen, Jerman. (Foto: Dok. Daniel Chrisendo)
ADVERTISEMENT
Rindu masakan rumah adalah salah satu tantangan yang harus dihadapi mahasiswa Indonesia yang sedang kuliah di luar negeri. Jenis makanan yang berbeda serta banyak bumbu yang tidak tersedia membuat makanan Indonesia tidak bisa disantap setiap hari.
ADVERTISEMENT
Rahmi Ariani yang sedang menempuh pendidikan doktoral di Universitas Göttingen, Jerman juga mengalami hal yang serupa.
Rahmi yang berasal dari keluarga Minang memang rindu sekali dengan masakan Padang. Apalagi dengan keluarganya yang memiliki rumah makan Padang di Indonesia, tiada hari tanpa masakan Padang.
Sayur Urap, dimasak dengan bahan seadanya dikarenakan sulitnya mencari bumbu-bumbu yang dibutuhkan. (Foto: Dok. Daniel Chrisendo)
zoom-in-whitePerbesar
Sayur Urap, dimasak dengan bahan seadanya dikarenakan sulitnya mencari bumbu-bumbu yang dibutuhkan. (Foto: Dok. Daniel Chrisendo)
Namun cerita berubah ketika ia pindah ke Jerman pada 2016. Rendang, telur padang, dan sambal goreng hijau hanya sekali-kali bisa ia nikmati. Alasan yang pertama adalah tidak tersedianya bumbu-bumbu yang dibutuhkan.
“Banyak bumbu-bumbu yang nggak ada,” ucap Rahmi. “Kalau ada juga mahal banget.”
Berdasarkan pantauan kumparan, di kota kecil Göttingen yang hanya berpenduduk 120 ribu orang tidak ada satu pun restoran Indonesia. Jadi satu-satunya cara jika ingin menikmati makanan Indonesia adalah dengan masak sendiri.
ADVERTISEMENT
Sementara untuk membeli bumbu-bumbu dan bahan makanan Indonesia hanya ada 3 toko kecil yang menjualnya. Hal ini berbeda dengan ibu kota Jerman, Berlin yang memiliki pasar yang lebih besar untuk menjual barang-barang dari Indonesia.
Bakso, dimasak dengan bahan seadanya dikarenakan sulitnya mencari bumbu-bumbu yang dibutuhkan. (Foto: Dok. Daniel Chrisendo)
zoom-in-whitePerbesar
Bakso, dimasak dengan bahan seadanya dikarenakan sulitnya mencari bumbu-bumbu yang dibutuhkan. (Foto: Dok. Daniel Chrisendo)
“Kunyit itu nggak ada, kemiri juga nggak ada,” kata Rahmi. “Lengkuas ada, tapi mahal. Satu biji harganya 2 Euro. Bisa dibeli di Al-Iman.”
Al-Iman adalah sebuah toko yang dikelola oleh keluarga Turki di Göttingen yang menjual makanan halal dan bahan makanan Asia. Banyak mahasiswa Indonesia yang berbelanja di toko tersebut, terutama jika ingin membeli daging.
Menurut pantauan kumparan, harga tempe satu papan di toko tersebut adalah 1,7 Euro (Rp 27.500), beras satu kilogram adalah 2,99 Euro (Rp 48.000), dan harga terong dapat mencapai 3 Euro (Rp 48.000).
ADVERTISEMENT
“Sekarang lagi kangen makan ayam penyet, tapi gak bisa buatnya,” lanjut Rahmi. “Kadang kalau ada kumpul-kumpul orang Indonesia, suka ada yang buat ayam penyet. Jadi bisa makan pas lagi ngumpul.”
Rawon, dimasak dengan bahan seadanya dikarenakan sulitnya mencari bumbu-bumbu yang dibutuhkan. (Foto: Dok. Daniel Chrisendo)
zoom-in-whitePerbesar
Rawon, dimasak dengan bahan seadanya dikarenakan sulitnya mencari bumbu-bumbu yang dibutuhkan. (Foto: Dok. Daniel Chrisendo)
Jika sedang rindu cita rasa Indonesia tapi tidak ingin yang mahal, Rahmi memilih untuk menyantap mi instan Indonesia. Tapi mi instan yang biasanya dikirimkan dari Belanda juga tidak selalu tersedia di toko.
“Indomie itu murah, cuma 50 cent (Rp 8.000) satu bungkus, tapi gak selalu ada. Pernah saking pengennya Indomie, tapi sudah berbulan-bulan nggak ada di Al-Iman, aku sampai beli lewat online. Harganya 20 Euro (Rp 323.000) satu karton isi 48 bungkus.”
Butuh beberapa hari untuk mi instan tersebut sampai di apartemen Rahmi. Ketika sampai, ia pun menjual sebagian mi instannya ke mahasiswa Indonesia lain yang juga membutuhkan.
ADVERTISEMENT