Kisah Naga Kunadi yang Memeluk Islam Usai Mimpi Melihat Kobaran Api

6 Juni 2018 17:23 WIB
comment
4
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
ADVERTISEMENT
Masjid Lautze di Sawah Besar, Jakarta Pusat, bisa dibilang menjadi masjid yang ramah mualaf. Hal itu lantaran masjid bergaya China ini kerap menjadi rujukan warga etnis Tionghoa yang ingin memeluk agama Islam.
ADVERTISEMENT
Salah satunya adalah Naga Kunadi, warga asal Tangerang. Naga merupakan jemaah aktif di Masjid Lautze yang kini bertugas sebagai salah satu pengurus masjid. Keberadaan masjid di kawasan pecinan Sawah Besar itu tidak lepas dari perjalanan spiritualnya hingga memutuskan menjadi seorang muslim.
“Saya masuk Islam tahun 2002 lalu, sewaktu umur 26 tahun. Sebelumnya, dari keluarga saya (memeluk) Konghucu,” kata Naga saat berbincang dengan kumparan di pelataran Masjid Lautze, Senin (4/6).
Masjid Lautze, Sawah Besar, Jakarta Pusat (Foto: Maulana Ramadhan/kumparan)
Naga mengenal Islam secara tidak sengaja. Rasa penasarannya terhadap Islam diawali dengan sebuah mimpi yang dialaminya saat dirinya masih duduk di bangku SMP. Lewat mimpi tersebut, Naga mengaku ketertarikannya terhadap agama Islam semakin tinggi.
“Waktu itu saya mimpi seperti ada di suatu tempat yang luas tapi banyak api-api menyala. Saya enggak melihat apa-apa lagi, dan di tengah-tengah kobaran api itu saya lihat seperti banyak paku bumi yang besar dan banyak orang-orang diikat di sana,” jelas Naga.
ADVERTISEMENT
Setelah peristiwa mimpi tersebut, dirinya sempat menggigil hingga dibawa oleh neneknya ke rumah sakit. Namun saat diperiksa tidak ditemukan gejala penyakit apa pun dalam dirinya.
Tiga hari setelahnya, tubuhnya mulai normal kembali. Bayangan tentang mimpi tersebut begitu membekas di pikirannya. Sampai akhirnya, ketika duduk di bangku SMA, lelaki kelahiran 1976 ini menemukan hal yang mengubah hidupnya.
“Ketika itu saya sedang di toko buku, kemudian melihat ada Al-Quran. Dari situ saya coba baca-baca, hanya kalau Al-Quran kan bacanya dari kanan sementara yang (buku) biasa kan dari kiri. Jadi saya bacanya dari surat An-Nas sampai akhirnya ketemu surat Al-Humazah,” cerita Naga.
Naga Kunadi, mualaf di Masjid Lautze (Foto: Maulana Ramadhan/kumparan)
Saat membaca terjemahan surat Al-Humazah itulah, Naga kembali mengingat mimpinya. Arti yang terkandung dalam surat Al-Humazah mirip dengan gambaran dalam mimpinya, seperti api yang sangat panas dan manusia yang diikat dengan tiang-tiang yang panjang.
ADVERTISEMENT
“Saya baca kok mirip sama mimpi saya. Dari situ saya putuskan untuk belajar agama Islam,” tambahnya.
Perjalanan Naga mempelajari Islam memakan waktu yang tidak sebentar. Ia mulai intens mempelajari Islam pada tahun 1996 ketika dirinya sudah bekerja. Kesulitan pun sempat ia alami di masa-masa awal mempelajari agama Islam.
Yang paling ia ingat adalah saat dirinya kesulitan mencari ustaz untuk ditanyai tentang keingintahuannya terhadap Islam. Terlebih saat itu dirinya belum menjadi seorang muslim.
“Di daerah saya dulu di Tegal Alur, dibilangin kalau yang belum sunat tidak boleh masuk masjid. Dikasih tahu seperti itu, saya sempat bingung bagaimana caranya mempelajari Islam kalau bukan di masjid,” tuturnya.
Salat berjamaah di Masjid Lautze (Foto: Maulana Ramadhan/kumparan)
Namun lelaki yang kini berusia 42 tahun itu tak kehilangan akal. Ia memilih untuk menunggu hingga pengajian di masjid selesai dan mecegat ustaz saat keluar dari masjid. Dia lakukan hal itu terus-menerus sambil terus mempelajari Islam.
ADVERTISEMENT
“Sampai akhirnya saya yakin untuk memeluk Islam. Itu tahun 2002, jadi kira-kira enam tahun saya mempelajari Islam,” kata lelaki yang lahir dengan nama Qiu Xue Long ini.
Hambatan tak berhenti di situ. Keluarganya sempat menolak keputusan Naga untuk memeluk Islam. Meski begitu hal itu dianggapnya sebagai sebuah kewajaran. Ia pun memilih untuk menghindari konflik terbuka dengan keluarganya.
“Saya anggap sebagai cambuk saja, sebagai perjalanan memeluk Islam dari dulu memang begitu. Butuh waktu lama sampai semuanya cair. Kalau dihitung-hitung sekitar 10 tahun, saat saya sudah memiliki anak dan istri,” jelasnya.
Masjid Lautze, Sawah Besar, Jakarta Pusat (Foto: Maulana Ramadhan/kumparan)
Berangkat dari pengalamannya itulah, Naga memilih aktif di Masjid Lautze. Ia berharap tidak ada lagi kesulitan yang dialami oleh warga etnis Tionghoa atau non-muslim lainnya yang memiliki keinginan untuk mempelajari agama Islam.
ADVERTISEMENT
“Jadi di sini juga saya ikut bimbing teman-teman (mualaf). Umumnya sih belajar Al-Quran sama salat. Sharing-sharing soal fikih apa yang boleh apa yang tidak. Semua di sini sambil belajar, jadi secara psikologis enggak ada ketakutan salah atau benar,” pungkasnya.